Perjanjian Cirebon 1685

Pada tanggal 4 Desember 1685 dibuatlah sebuah perjanjian antara para penguasa Cirebon yaitu Sultan Sepuh I Syamsuddin (Pangeran Martawijaya), Sultan Anom I Badruddin (Pangeran Kartawijaya) dan Pangeran Wangsakerta (Pangeran Depati Tohpati[1], yang kelak pada tahun 1688 dinobatkan sebagai Gusti Panembahan Cirebon I Nasiruddin) dengan Vereenigde Oostindische Compagnie yang diwakili oleh pejabat penghubungnya yang bernama François de Tack[2] (pada masa itu yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal adalah Gubernur Jenderal Johannes Camphuys)

Perjanjian Cirebon 1685 dilakukan guna menghindari konflik yang terjadi diantara ketiga penguasa tersebut akibat keinginan untuk menjadi penguasa tunggal di Cirebon[3]

Lukisan tentang François dr Tack di Kartasura karya Tirto

Isi perjanjian[3]

Ingkang karihin saprakara ratu katiga sanak kang sampun kocap, ayun patut, urip ing asasanak, dipun mupakat, sarĕng-sareng ing asasanak, karana patut sampun dados cawĕnga ing nagara puniki.

Yang pertama, Raja Tiga Bersaudara (Ratu Katiga Sanak) sama-sama harus berjanji, mesti hidup bersama, dengan saling bermufakat (di antara) masing-masing saudara, sebab (perselisihan) telah menjadi biang kebimbangan di negara (Cirebon) ini.

Kali prakawis karana puniku Ratu anom, kalayan pangeran Topati, sanake ingkang tuwa, Sultan sĕpuh igi puniku putra panémbahan Girilaya ingkang sĕpuh, prayoga asung ormat uga.

Yang kedua, mengingat Ratu Anom dan Pangeran Tohpati, saudaranya yang tertua yakni Sultan Sepuh yang merupakan putra Panembahan Girilaya yang tertua, maka keduanya layak atau patut menghaturkan hormat (kepada Sultan Sepuh) juga.

Tigang prakawis Sultan amangsuli ormat saprayogane kang patut ing sanake anom kali, Ratu anom, pangeran Topati, karana sanake karo iku, dados rencang sarĕng-sarĕng amaretahi nagari Carĕbon.

Pasal yang ketiga, Sultan yang paling tua bersama dengan dua saudara mudanya, yaitu Ratu Anom dan Pangeran Tohpati, berdasarkan (hubungan) persaudaraan itu, menjadikan mereka harus bersama-sama dalam memerintah Negeri Cirebon.

Kawan prakawis boya kĕni adodolan saptu amung ing alun-alun ing yunan karaton Sultan sĕpuh, ing ĕgon iku mantri katiga sanak, akumpul ing ĕgon iku, sinaosakén paluguane Ratu kali karihin, Ratu anom kalayan pangeran Topati, angatos tuwan Prasois Tak, sabangsule saking Mataram tĕka ing nagara Carĕbon, pinali tiga, mangka patutah kalayan, sukane ratu katiga sanak, akardi prakara ingkang anyar, utawi prakara liyan.

Pasal yang keempat, diperbolehkan untuk berjualan pada hari sabtu di alun-alun depan Kraton Sultan Sepuh. Di tempat itu, mantri dari Ketiga Raja Bersaudara berkumpul. Meskipun kedudukan Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Pangeran Tohpati penting, namun mesti menunggu Tuan François de Tack pulang dari Mataram dan datang ke negara Cirebon (jika mereka akan memutuskan sesuatu). Jika telah lengkap semua maka bisa dilakukan pembahasan bersama Tiga Raja Bersaudara, baik untuk membuat pasal yang baru, ataupun pasal yang lain.

Gangsal prakawis supaya aja katingal nagari Carĕbon pinalih tiga mangka patut sakehe orana liyan mung sabandar saking aran ratu katiga, ingkang anglarapakĕn salwir ingkang tĕka saking nagari liyan . . . nulunge adatĕngakĕn, amicarakakĕn, angaturakĕn, ratu katiga sanak.

Pasal yang kelima, supaya negeri Cirebon tidak terlihat terbagi ke dalam tiga kekuasaan oleh pihak hanya memiliki satu Syahbandar, yang mengemban tugas untuk menyambut pihak yang datang dari negeri lain … membantu mendatangkan, membicarakan, (dan) menghaturkan (para tamu atau pedagang asing), untuk Ketiga Raja Bersaudara. atau bangsa lain, maka sebaiknya ketiga pangeran hanya memiliki satu Syahbandar, yang mengemban tugas untuk menyambut pihak yang datang dari negeri lain … membantu mendatangkan, membicarakan, (dan) menghaturkan (para tamu atau pedagang asing), untuk Ketiga Raja Bersaudara.

Ing nĕm prakara lunggu sabadar iku, ginaduhakĕn, ratu katiga sanak kang kocap tumĕnggung Raksanagara, pracaya kadi wong kang bĕnĕr sarta patut, lunggu sabandar.

Pasal yang keenam, kedudukan Syahbandar dianugerahkan oleh Ketiga Raja Bersaudara berdasarkan sabdanya kepada Tumenggung Raksanagara, yang dipercaya sebagai orang yang baik serta pantas, dan cocok untuk menduduki jabatan sebagai seorang Syahbandar.

Kang pitung prakara, ora kena, tumĕnggung Raksanagara, saking cuke, beya bandar lĕwih kaya mangko karana tumĕnggung iku mupu babagen, iku Sultan sĕpuh, kang kaya ana mangko wontĕn, dening kapitan Cina, amupu babagen, ratu anom kalayan babagen pangeran Topati, babagen, beya cuke, tĕtĕp kados makin, satĕka Kumpeni bali amutusakĕn, karana tiningalan, make puniki ratu katiga sanak weten ing dalem santosa.

Pasal yang ketujuh, tidak diperkenankan bagi Tumenggung Raksanagara (mengambil keuntungan) dari (pajak) cuke, dan bea pelabuhan (sehingga ia menjadi) lebih kaya karena tumenggung itu (tugasnya hanya) mengumpulkan pembagian, yaitu kepada Sultan Sepuh, yang banyaknya setengah pendapatan yang didapatkan. Dari Kapiten Cina, dikumpulkan bagian untuk Sultan Anom dengan bagian Pangeran Tohpati. Pengelolaan lebih lanjut tentang pajak bea cukai ini menjadi (urusan) yang diputuskan oleh Kompeni karena dengan cara seperti ini, maka Tiga Raja Bersaudara dapat hidup damai sentausa.

Kawolung prakara, supaya aja papadon, kalayan pitĕna ing prakara sawiji-wiji, ayun agawe pareta sewang-sewangan, dipun patut, ratu katiga sanak, boya kĕna dewek, angukumakĕn, kalayan tani karana iku patut, agawe wicara, maring mantri katiga sanak.

Pasal yang kedelapan, supaya tidak terjadi perselisihan, terkait setiap pasal (atau perkara lain) yang ada, maka dibuat instruksi atau ketetapan hukum yang pantas bagi setiap pangeran dari Ketiga Raja Bersaudara untuk lingkungan hukum istana dan rakyat masing-masing pangeran. Dalam menjalankan hukum dan (pengelolaan) petani, para pangeran harus berunding dengan para mantri dari Ketiga Raja.

Kasangang prakara, ing kale kang lungguh ing dalem bicara iku wong pipitu, saking Sultan sĕpu titigah saking Ratu anom kakali, saking pangeran Topati kakalih.

Yang kesembilan, bahwa yang duduk mengelola dewan humas (hukum) itu adalah orang tujuh (Jaksa Pepitu), yang terdiri dari (orang) Sultan Sepuh (yang berjumlah) tiga orang, dari (orang) Sultan Anom (yang jumlahnya) dua orang, dan dari (orang) Pangeran Tohpati (yang juga berjumlah) dua orang.

Sapulu prakara wicara iku, pingkalih sajumangat, amicarakakĕn, ing dina Rĕbo sapisan dina Angad sapisan, ing ayun-ayunan masigit agung iku la ĕnggoning kuna-kuna, amicarakakĕn, sakatahing prakawis.

Yang kesepuluh, sidang atau pembicaraan dewan itu, dibicarakan dua kali pada jumat, sedangkan pada hari Rabu dan Ahad (hanya) dibicarakan sekali. (Tempatnya) di alun-alun Mesjid Agung yang dipakai sebagai tempat pertemuan sejak masa lalu untuk membicarakan pelbagai macam keperluan.

Kasawĕlas prakara, ĕgon iku amicarakakĕn sarta amĕgat pamicara pradata sahrat Cirĕbon ora kĕna mperekal (?) maning.

Perkara yang kesebelas, tempat untuk pengadilan serta memutuskan hukum perdata dan syariat Cirebon tidak boleh berpindah lagi.

Rolas prakara yen wontĕn sadalĕming wicara iku prakara ingkang awrat, ora kĕnapinĕgat maka matur sewang-sewangan, ing gustine mantri pipitu, iku kang matur ing gustine.

Pasal yang kedua belas, jika ada kasus yang tidak juga dapat diputuskan secara bulat, maka dikembalikan kepada masing-masing gusti dari mantri pepitu (Jaksa Pepitu), yaitu mantri yang telah ditentukan oleh gusti-nya.

Tigawĕlas prakara, ing prakawis puniku, mangka Sultan sĕpu angaturi kang rayih karo Ratu anom, kalayan pangeran Topati, maka katuran kang rayi karo ing dalĕme sanake sĕpu kali saking prakara iku, kang ora kĕna pinĕgat, dening mantri pipitu iku kalayan malih saliring kal, kang awrat kadi adangdani abarĕsihi kali, utawi lulurung, ayun mupakat, sarta amĕgat katiga sanak.

Pasal yang ketiga belas, tentang persoalan (kebuntuan putusan perkara) itu maka Sultan Sepuh bertemu dengan Sultan Anom, juga Pangeran Tohpati, baik yang muda ataupun yang tua akan mendiskusikan persoalan yang tidak dapat diputuskan oleh para mantri (Jaksa) pepitu itu, serta menangani semuanya dengan serius sehingga dapat ditemukan solusi yang disepakati dan diputuskan oleh Ketiga Raja (Ratu Katiga Sanak).

Wontĕn dening salwir prakara ing surat puniki, manira Sultan sĕpuh, Ratu anom, pangeran Topati ajangji anurut, sarta anĕtĕpakĕn lan mali rayat-manira sewang-sewangan, ayun la anurut pareta iku sarta anarima angestokakĕn mangka iku la dados satosa, kalayan mupakat ratu katiga sanak utawi rayat Cirĕbon karana prakara kang kaucapakĕn iku, maka manira ing arĕpan patusan, Pransois Tak angĕcapi sadalĕming surat puniki.

Jika ada (perkara penting lain) di luar pasal dalam surat ini, maka Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Pangeran Tohpati berjanji untuk menuruti (Kompeni) serta akan menetapkan (putusan lanjutan) demi rakyatnya masing-masing. Karena jika menuruti serta menerima perintah tersebut, maka para Raja Cirebon akan menjadi sentosa. Kesepakatan Ketiga Raja Bersaudara atau rakyat Cirebon terhadap pasal yang ditulis itu, akan didahului oleh putusan François Tack sebagaimana yang ada di dalam surat ini.

Reaksi terhadap perjanjian

Perjanjian 4 Desember 1685 tidak berhasil memadamkan perselisihan antara keluarga besar kesultanan Cirebon, hal tersebut dikarenakan François de Tack dianggap lebih memihak Sultan Anom pada penyeleseian perjanjian tersebut,[4]

Perjanjian ini menuntut agar para mantri kesultanan untuk berdialog dengan François de Tack berkenaan dengan persoalan hukum dan pemberlakuan pasal-pasal dalam perjanjian ini, namun hal tersebut belum terlaksana karena François de Tack kemudian terbunuh dalam pertempuran antara pasukannya dengan pasukan Bali yang dipimpin oleh Surapati di Kartasura[3]

Referensi

  1. ^ Ekajati, Edi Suherdi. 2005. Polemik naskah Pangeran Wangsakerta. Bandung: Pustaka Jaya
  2. ^ Hoadley, Mason Claude. 2018. Selective Judicial Competence: The Cirebon-Priangan Legal Administration, 1680–1792. New York : Cornell University Press
  3. ^ a b c Tendy. 2021. Surat Janji Dan Mufakat 4 Desember 1685 : Bukti Peran VOC dalam Memelihara Perdamaian Cirebon. Cirebon : Universitas Islam Negeri (UIN) Syekh Nurjati
  4. ^ "Iswara, Prana Dwija. 2009. Sejarah Kerajaan Cirebon. [[kota Bandung|Bandung]]: Universitas Pendidikan Indonesia". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-12-25. Diakses tanggal 2016-06-04.