Perjanjian Aljazair 1975 (umumnya dikenal sebagai Perjanjian Aljazair, terkadang sebagai Deklarasi Aljazair) adalah sebuah perjanjian antara Iran dan Irak untuk menyelesaikan persengketaan dan konflik perbatasan mereka (seperti Shatt al-Arab, yang dikenal sebagai Arvand Rud di Iran), dan perjanjian tersebut menjadi dasar bagi traktat-traktat bilateral yang ditandatangani pada 13 Juni dan 26 Desember 1975. Perjanjian tersebut dibuat untuk mengakhiri persengketaan antara Irak dan Iran di perbatasan mereka di Shatt al-Arab dan Khuzestan, namun alasan utama bagi Irak adalah untuk mengakhiri pemberontakan Kurdi. Kurang dari enam tahun setelah penandatanganan traktat tersebut, pada 17 September 1980, Irak mencabut traktat tersebut namun di bawah hukum internasional, suatu negara tidak boleh secara tidak unilateral menolak traktat yang diratifikasi sebelumnya
Pada 1963, setelah Revolusi Ramadan, Partai Ba'ath yang memimpin pemerintahan yang dikepalai oleh Ahmad Hassan al-Bakr, meluncurkan sebuah kampanye melawan pemberontakan Kurdi, yang memperjuangkan kemerdekaan dari Irak. Ba'ath yang memimpin pemerintahan lengser setelah Kudeta November 1963 yang dipimpin oleh Abdul Salam Arif. Hubungan antara pemerintah dan bangsa Kurdi tidak meraih keputusan akhir. Pada 1968, Partai Ba'ath memulai revolusi lainnya, Revolusi 17 Juli/ Hubungan antara bangsa Irak dan Kurdi menjadi tegang, dengan Pasukan Bersenjata Irak mengejutkan gerakan Kurdi. Pemerontak Kurdi menyebabkan penurunan ekonomi masif pada pemerintahan Irak. Pada 11 Maret 1970, sebuah traktat ditandatangani antara Wakil Ketuag Dewan Komando Revolusioner (Irak), Saddam Hussein, yang disebut "Manifesto Maret" dan pemimpin pemerontakan Kurdi, Mustafa al-Barzani, di Tikrit, untuk mengakhiri konflik tersebut.[1] Traktat tersebut menyatakan bahwa militan Kurdi bergabung dengan Angkatan Darat Itak, memutus hubungan antara Iran dan Kurdi dan mengakhiri pemberontakan tersebut. Dalam kepulangan, pemerintah Irak menjanjikan otonomi Kurdi, dengan orang-orang Kurdi dimasukkan dalam pemerintahan Irak.[2] Pemerintah melakukan "Arabisasi" terhadap kawasan-kawasan Kurdi yang kaya minyak.[3] Pada 1974, muncul permasalahan antara pemerintah dan bangsa Kurdi mengenai Minyak Irak. Menteri-menteri Kurdi meninggalkan pemerintah, karyawan-karyawan Kurdi meninggalkan pekerjaan mereka dan prajurit-prajurit dan polisi Kurdi meninggalkan angkatasn darat. Pemerintah Irak meminta bangsa Kurdi untuk mematuhi traktat tersebut, namun mereka menolak. Pada 11 Maret 1974, manifesto tersebut menjadi sebuah hukum dalam konstitusi Irak.[4] Setelah itu, pertarungan antara angkatan darat Irak dan pasukan Kurdi berlanjut, dengan Iran mendukung Kurdi.[5]