Perempuan di Titik Nol adalah novel yang ditulis oleh Nawal El Saadawi dan terbit pertama kali dalam bahasa Arab yang berjudul Emra'a enda noktas el sifr pada tahun 1975. Novel ini ditulis berdasarkan pengalaman perempuan yang ditemui oleh Saadawi di Penjara Qanatir. Tokoh dalam novel ini bernama Firdaus, seorang pembunuh yang akan dijatuhi hukuman mati. Novel ini mengeksplorasi tema-tema perempuan dalam masyarakat patriarkal.[1]
Ada pun judul lain dari novel ini, yaitu ”Firdaus”, nama seorang perempuan terpidana mati di penjara Qanatir Mesir yang ditemui pengarang pada tahun 1973. Ia dieksekusi di penghujung tahun 1974 pada era pemerintahan Anwar al Sadat yang patrimonial.
Latar belakang
Naawal El Saadawi
Saadawi dikeluarkan dalam posisinya sebagai Direktur Pendidikan dan Kesehatan Pemimpin Redaksi majalah kesehatan karena menerbitkan buku yang berjudul Women and Sex pada tahun 1972. Pasca pemberhentian, Saadawi seorang psikiater kemudian memulai penelitan mengenai neurosis pada wanita Mesir.[2] Dalam penelitiannya ia bertugas di Penjara Qanatir. Di sana ia bertemta tahanan wanita, termasuk salah seorang diataranya Firdarus. Seorang mantan pelacur yang akan dijatuhi hukuman gantung. Saadawi kemudian bertemu dan bercerita dengan perempuan tersebut, ia melakukan penelitian di Penjara Qanatir pada tahun 1974.[3]
Saadawi menemui banyak perempuan di dalam sel dan klinik mental, ia melalukan 21 studi kasus mendalam untuk publikasi. Publikasi tersebut berjudul Woman and Neurosis in egypth pada tahun 1976. Akan tetapi, Firdaus tidak termasuk dalam publikasi tersebut, Firdaus menjadi kisah terpisah. Firdaus mulai dituliskan Saadawi pada tahun 1974, perempuan itu meninggalkan sesuatu pada Saadawi. Peninggalan tersebut kemudian membuat Saadawi mampu menuliskan novel tersebut hanya dalam waktu seminggu saja. Bagi Saadawi "Hanya sedikit orang yang siap dengan kematian demi sebuah prinsip". Terpisah, Saadawi merasakan pengalaman di penjara karean pelanggalan politik, ia mencoba untuk mereflesikan dirinya sebagai Firdaus.
Riwayat penerbitan
Novel Perempuan di Titik Nol sempat ditolak oleh beberapa penerbit di Mesir. Akhirnya Saadawi menerbitkan buku ini di sebuah penerbit di Lebanon pada tahun 1975. Sementara itu novel ini diterbitkan dalam bahasa Inggiris pada tahun 1983 oleh penerbit Zed Books Ltd dan Room 400 di New York. Kini Perempuan di Titik Nol telah terbit dalam berbagai bahasa di dunia. Di Indonesia novel ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Amir Sutaarga kemudian diterbitkan oleh Yayasan Pendidikan Obor Indonesia.
Alur
Novel ini menceritakan seorang wanita yang bernama Firdaus. Ayahnya seorang petani miskin yang buta huruf dan kasar. Firdaus sering membantu orang tuanya di ladang. Dari kecil Firdaus hidup dalam tekanan dan sudah mendapatkan perlakuan asusila dari temannya bernama Muhammadain dan pamannya. Setelah orang tuanya meninggal, Firdaus tinggal bersama pamannya yang seorang syeikh di Kairo. Namun, justru Firdaus semakin mendapatkan tindak asusila dari pamannya. Disana Firdaus disekolahkan sampai SMP, Firdaus adalah anak yang pandai, dia mendapat peringkat ke-2 disekolahnya dan ke-7 di seluruh negeri. Alih-alih memasukkan Firdaus ke perguruan Tinggi, Pamannya justru menikahkan Firdaus dengan seorang lelaki yang pantas ia panggil ayah. Lelaki itu bernama Syekh Mahmoud. Dia seorang yang kaya, memiliki penyakit bisul yang berbau busuk dan dia sangat perhitungan.[4]
Awalnya rumah tangga Firdaus berjalan dengan baik, namun lama-lama kekerasan pun dilakukan oleh suaminya. Firdaus pernah melarikan diri ke rumah pamannya tapi tak lama ia kembali ke rumah suaminya lagi. Di rumah suaminya Firdaus mendapatkan kekerasan fisik dan dia memutuskan meninggalkan rumah dengan wajah memar dan membawa ijazah SD dan SMPnya. Dia berpikir akan mendapatkan pekerjaan dengan ijazah yang dia miliki. Di suatu cafe dia bertemu dengan Bayoumi dan akhirnya tinggal serumah dengannya. Awalnya Bayoumi adalah lelaki yang baik, perhatian dan sopan tetapi dia sama seperti ayah dan suaminya yang suka memukul dan berbuat asusila. Bahkan Bayoumi mengundang teman-temannya untuk berbuat asusila dengan Firdaus.
Karena merasa tidak tahan Firdaus melarikan diri dari rumah Bayoumi dan bertemu dengan seorang wanita cantik yang bernama Sharifa Salah el Dine. Disinilah Firdaus mulai memasuki dunia pelacuran. Dia melayani setiap tamu yang sudah dijadwalkan oleh Sharifa tanpa mendapatkan uang. Sampai pada suatu hari, ada seorang Germo laki-laki yang meminta Firdaus menikahinya. Awalnya Firdaus enggan menikahi Germo tersebut namun dengan berat hati ia menyetujuinya. Karena Firdaus merasa tidak menyukai keadaannya saat itu, ia memutuskan untuk pergi. Namun lelaki germo itu sudah berada di depan pintu. Percekcokan pun tak terhindarkan, mereka saling beradu mulut. Karena merasa geram, lelaki Germo pun mengambil pisau yang ada di dalam kantungnya, tetapi Firdaus dengan cepat menangkis dan menancapkan ke leher, dada dan perut si Germo. Lalu Firdaus meninggalkan tempat kejadian.
Oleh karena tindakannya, polisi memasukkan Firdaus ke penjara. Mereka menghukum Firdaus seumur hidup karena mereka takut jika Firdaus bebas semua kedok dan kehidupan mereka tidak akan aman. Sebenarnya Firdaus bisa bebas dengan meminta pengampunan ke Presiden namun Firdaus menolak dan barkata: “jika saya keluar lagi dan memasuki kehidupan yang menjadi milikmu, saya tidak akan berhenti membunuh.” Dan akhirnya mereka memutuskan menghukum gantung Firdaus.[4]
Gaya bahasa dan penokohan
Cerita dari novel terfokus pada ”biografi” hidup Firdaus yang diceritakan secara monolog, dan dengan alur kilas balik (flash back). Firdaus adalah pelacur paling terkenal dan paling mahal bayarannya. Profesi pelacur mengantarkan kesadaran pada dirinya tentang otoritas dan harga dirinya secara harafiah. Firdaus menuturkan kisahnya dari penjara ketika ia menunggu hukuman gantung karena telah membunuh seorang laki-laki. Kisah Firdaus melukiskan apa artinya menjadi perempuan di tengah masyarakat patriarki, menjadi perempuan berarti harus selalu mengalami kekerasan sepanjang hidupnya.[4]
Tanggapan
Melalui novel ini Saadawi menerengkan tentang pertentangan kelas antara laki-laki dan perempuan dalam budaya patriarki yang melahirkan relasi gender yang timpang melalui penokohan diri Firdaus. Oleh sebab itu, novel ini menimbulkan pro dan kontra. Pemerintah dan ulama konservatif serta golongan fundamentalis keagamaan baik Kristen maupun Islam menganggap novel ” Perempuan di Titik Nol” telah menodai wilayah agama yang suci. Karena itu, novel ini sempat menjadi sastra ”exile” karena dilarang terbit dan beredar di negara Mesir. Sebaliknya, sambutan hangat datang dari kalangan feminis di berbagai negara. Karyanya dikritisi, didiskusikan, dipentaskan bahkan menjadi kiblat tersendiri bagi kalangan feminis pada umumnya.[5] Sementara itu, Wen-Chin mencatat bahwa karya Saadawi terkenal di negara-negara Barat. Namun kemudian dianggap oleh kritikus Arab menjadi legitimasi atas stereotip negatif Barat tentang Arab dan Islam mangenai kekerasan akan dominasi laki-laki. Akan tetapi pendapat ini kemudian dicurigai karena terbatasnya Sastra Arab.[6]
Isu perempuan sebagai warga kelas dua
Dalam novel Perempuan di Titik Nol, diungkapkan ketidakadilan yang diterima oleh perempuan. Hal ini karena identitas perempuan dalam budaya patriartki ditempatkan sebagai warga kelas dua. Istilah nomor dua merujuk kepada tidak samanya perlakuan masyarakat terhadap perempuan berbeda. Individu nomor satu lebih mempunyai kedudukan dibandingkan dengan nomor dua. Hal ini diungkapkan ketika Firdaus tidak diperbolehkan sekolah hanya karena jenis kelaminnya sebagai perempuan. Sebab pada masa itu perguruan tinggi di Kairo hanya menerima laki-laki sebagai muridnya. Negeri Arab terkenal dengan kondisi perempuan yang terbelakang. Nawal El Saadawi menuliskan novel ini untuk menunjukkan perjuangan perempuan untuk mendapatkan perubahan nilai serta sikap laki-laki Mesir terhadap perempuan yang sepenuhnya belum tercapai.[7]