Peradilan Islam di Malaysia

Peradilan adalah suatu proses yang dijalankan di pengadilan yang berhubungan dengan tugas memeriksa, memutus dan mengadili perkara. Sedangkan pengadilan adalah badan atau instansi resmi yang melaksanakan sistem peradilan berupa memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Peradilan atau dalam bahasa arab diungkapkan dengan kata qadā’ berarti memutuskan, memberi keputusan, menyelesaikan. Menurut istilah adalah suatu lembaga pemerintahan/negara yang ditugaskan untuk menyelesaikan/menetapkan keputusan atas setiap perkara dengan adil berdasarkan hukum yang berlaku. Dengan demikian kalau peradilan Islam, maka yang dijadikan dasar adalah hukum Islam. Sedangkan pengadilan adalah tempat untuk mengadili suatu perkara dan orang yang bertugas mengadili suatu perkara disebut qāḍi atau hakim.

Sebagai lembaga negara yang ditugasi untuk menyelesaikan dan memutuskan setiap perkara dengan adil, maka peradilan berfungsi untuk menciptakan ketertiban dan ketentraman masyarakat yang dibina melalui tegaknya hukum. Peradilan Islam bertujuan pokok untuk menciptakan kemaslahatan umat dengan tegaknya hukum Islam. Untuk terwujudnya hal tersebut di atas, peradilan Islam mempunyai tugas pokok yaitu; mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa, menetapkan sangsi dan menerapkannya kepada para pelaku perbuatan yang melanggar hukum, terciptanya amar ma’ruf nahi munkar, dapat melindungi jiwa, harta dan kehormatan masyarakat, serta menciptakan kemaslahatan umat dengan tetap tegak berdirinya hukum Islam.

Sejarah Peradilan Islam di Malaysia

Malaysia adalah bekas jajahan Inggris, bekas jajahan Inggris. Malaysia mempertahankan tradisi common law dari English Common Law System. Namun Malaysia sebenarnya tidak menghapuskan hukum asli yaitu hukum Islam dan hukum adat yang sudah ada jauh sebelum hukum Inggris masuk ke dalam sistem hukum Malaysia. Hal ini dikarenakan Malaysia ingin menjaga hukum sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakatnya sendiri. Dengan demikian, membangun kesadaran hukum selalu lebih mudah daripada merombak seluruh budaya hukum dengan budaya baru dan hukum adat di berbagai kelompok masyarakat adat. Mengingat masyarakat Malaysia terdiri dari berbagai culture, budaya, tradisi dan agama, baik secara internal dari komunitas Melayu itu sendiri maupun interaksi dari komunitas luar, seperti etnis Cina, Pakistan, India dan Arab.

Di era Kesultanan Melayu Melaka (1400-1511), sistem peradilan Islam dijalankan oleh seorang sultan yang memegang monarki kerajaan. Posisi seorang sultan memainkan peran penting dalam kekuasaan legislatif, eksekutif, dan Mahkamah. Peradilan pada saat itu dikenal sebagai Pengadilan Balai terdiri dari ulama kadi sebagai penyelenggara yang berorientasi administrasi di Timur Tengah, sedangkan keputusan akhir masih dipegang oleh seorang sultan. Pada era ini, pengaruh kolonial Inggris di Tanah Melayu mulai merambah pada tahun 1786 oleh Sir Francis Light di Pulau Pinang dan Sir Stamford Raffles di Singapura. Dimasa Kesultanan Melayu lama (1511-1800), struktur istana Islam tidak jauh berbeda dengan Kesultanan Islam Melayu Melaka. Peran penasehat yang dilakukan oleh kadi (Hakim setempat) tidak lagi menonjol. Para ulama saat itu juga bisa menjadi penasehat dalam urusan syariah, karena itu wadah lembaga pada cara ini disebut sebagai "Mahkamah Masjid yang menyelesaikan perkara di surau-surau atau masjid."

Pada masa penjajahan Inggris (1800-1900). Sistem peradilan Islam di Malaysia dikenal dengan nama Kehakiman Kesultanan Melayu Abad Pertengahan. Di zaman ini, Posisi Mahkamah balai dihapuskan oleh kolonial Inggris. Namun, posisi sultan tetap dipertahankan dalam menentukan putusan pengadilan. Baru setelah itu fungsi penasehatan dilakukan oleh seorang mufti atau syekh yang memiliki kewenangan untuk menfatwakan dan merekomendasikan kebijakan suatu perkara. Finalisasinya tetap disampaikan oleh seorang sultan sebagai penguasa. Pada masa inilah fungsi pengadilan adat mulai dijalankan dan diketuai oleh hakim yang ditunjuk oleh kesultanan. Baru pada tahun 1948, hierarki pengadilan di Malaysia sangat dipengaruhi oleh sistem peradilan kolonial Inggris. Pada tanggal 1 Februari 1948, Perintah Pengadilan tahun 1948 mulai berlaku dengan pembentukan negara-negara bagian Malaysia. Kedudukan Pengadilan Syari'ah juga merupakan institusi tingkat rendah dalam sistem hukum yang diberlakukan oleh pihak kolonial di Malaysia. Posisi pengadilan Syariah juga diberlakukan khusus hanya bagi warga negara Malaysia yang beragama Islam. Jabatan tertinggi tidak lagi ditempati oleh sultan, tetapi oleh Mahkamah Agung sebagai lembaga otoritas kolonial.

Sesudah Malaysia merdeka dari kolonialisme pada tahun 1957, sistem pemerintahan berubah dari monarki menjadi negara federal, monarki konstitusional dan demokrasi parlementer ketentuan tersebut juga menyatakan Islam sebagai agama negara dengan tetap menghormati kebebasan beragama. Konstitusi ini menyediakan kerangka kerja bagi cabang pemerintahan eksekutif, parlementer, dan yudikatif. Dalam hukum negara Malaysia, sistem peradilan terbagi dan disesuaikan dengan nilai-nilai yang ada di masyarakatnya. Sistem hukum Malaysia mengacu pada empat sumber, yaitu: hukum tertulis, hukum adat, hukum Islam dan hukum kebiasaan. Hukum kebiasaam mencakup hukum kebiasaan Inggris dan aturan kesetaraan yang ditetapkan oleh pengadilan Malaysia, yang berpotensi bertentangan dengan hukum tertulis serta penyusuaian kualifikasi dan keadaan setempat.

Dalam sistem hukum di Malaysia pasca kemerdekaan, keberadaan Mahkamah syari'ah telah diubah menjadi mahkamah negeri-negeri (federal). Sistem pengadilan pada dasarnya federal. Baik hukum federal dan negara bagian berlaku di pengadilan federal. Hanya pengadilan syari'ah yang menggunakan sistem hukum Islam, bersama dengan pengadilan pribumi di Sabah dan Sarawak, yang berurusan dengan hukum adat. Pada 1980-an, pengadilan Syariah dipisahkan dari Mejelis Agama Islam, dan kekuasaan pengadilan Islam dibagi menjadi tiga tingkatan: Mahkamah rayuan Syariah, Mahkamah tinggi Syariah, dan Mahkamah rendah Syariah.

Reformasi hukum di Malaysia secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok gagasan, tradisional dan modern. Ciri utama pemikiran fikih tradisional di Malaysia adalah mengikuti mazhab Syafi'i. Merujuk pada kitab Ushul Fiqh yang ditulis oleh para ulama tradisional, terdapat tekanan yang jelas untuk berpegang pada empat mazhab pemikiran, khususnya mazhab Syafi'i. Terkait hukum Muamalah, kasus yang dibahas adalah pertunangan, perkawinan, hak dan kewajiban suami-istri serta perceraian dan rekonsiliasi. Adapun bidang muamalah berkaitan dengan masalah sosial ekonomi, seperti riba, khiyar, penjualan, penjualan saham, mufis, hutang, gadai, suih, hiwalah, dan lain-lain termasuk dalam persoalan faraid. Ranah Jinayah atau 'uqubat membahas tiga macam hukum, yaitu hudud, qiyas dan ta'zir. Hudud adalah hukuman yang telah ditetapkan dalam hukum Syariah, seperti perzinahan, pencurian, pengkhianatan dan ketidaktaatan. Qiyas adalah hukum yang membalas bunuh diri karena membunuh atau membayar diyat sebagai kompensasi. Hukum syariah tidak secara jelas mengatur hukuman lain untuk Ta'zir, tetapi kebijaksanaan hakim-lah yang akan memutuskan. Meskipun fiqh islam melingkupi Munakat, Muamalah, jinayah, dan lainya, masalah yang mendominasi pemikiran reformis biasanya berkisar pada masalah ibadah. Jika bisa dikatakan, ijtihad mereka hanya terfokus pada aspek-aspek yang tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan sosial dan ekonomi Islam pada umumnya.

Hukum-hukum yang ditetapkan di peradilan agama Malaysia

Malaysia adalah sebuah negara federal yang terdiri dari 13 negara bagian, dan beribukota yang terletka di Kuala Lumpur.[5] Pada dasarnya hukum islam di Malaysia menyangkut persoalan perdata dan persoalan pidana, hukum perdata membahas mengenai :

  • Pertunangan, nikah, cerai, membatalkan nikah atau perceraian.
  • Memberi harta benda atau tuntutan terhadap harta akibat perkara nikah atau perceraian.
  • Nafkah orang dibawah tanggungan, anak yang sah, penjagaan dan pemeliharaan anak.
  • Memberri harta wakaf.
  • Perkara lain yang dibahas di dalam undang-undang.

Sedangkan hukum pidana di dalam nya membahas menganai:

  • Penganiayaan terhadap istri dan tidak patuh terhadap suami.
  • Melakukan hubungan seks yang tidak normal.
  • Penyalahgunaan minuman keras.
  • Kesalahan terhadap anak angkat.
  • Dan kesalahan lain yag diatur lebih dalam di dalam undang-undang.

Sebelum masuk masa penjajahan negara Malaysia menganut hukum Islam yang bercampur dengan adat namun setelah masuk masa penjajahan negara Malaysia menjadi menganut hukum yang diterapkan oleh negara inggris pada sebagian besar legislasi dan yurispundensi. Sebagai wujud dari perhatian pemerintah saat itu terhadap hukum Islam maka dibentuk beberapa komite pada masa itu, komite tersebut bertujuan untuk menelaah struktur, yuridiksi, dan wewenang pengadilan syariah serta merekomendasikan pemberi wewenang dan kedudukan yang lebih besar kepada hakim pengadilan syariah, mempertimbangkan suatu kitab hukum keluarga Islam yang baru guna menggantikan yang lama sebagai bentuk penyeragaman undang-undang dinegara bagian.

Disini komite juga mempertimbangkan proposal adaptasi hukum acara pidana dan perdata bagi pengadilan syariah dan hasil dari pertimbangan tersebut ialah dtetapkannya beberaa undang-undang sebagai berikut :

Administrasi Hukum islam

  • UU Administrasi Pengadilan Syariah Kelatan tahun 1982.
  • UU Mahkamah Syariah Kedah tahun 198.
  • UU Administrasi Hukum Islam Wilayah Federal tahun 1985.
  • Hukum Keluarga :
  1. UU Hukum Keluarga Islam Kelantan tahun 1983.
  2. UU Hukum Keluarga Islam Negeri Sembilan tahun 1983.
  3. UU Hukum Keluarga Islam Malaka tahun 1983.
  4. UU Hukum Keluarga Islam Selangor tahun 1984.
  5. UU Hukum Keluarga Islam Perak tahun 1984.
  6. UU Hukum Keluarga Islam Kedah 1984.
  7. UU Hukum Keluarga Islam Wilayah Federal tahun 1984.
  8. UU Hukum Keluarga Islam Penang tahun 1985.
  9. UU Hukum Keluarga Islam Trengganu tahun 1985.
  • Acara Pidana :
  1. UU Acara Pidana Islam Kelantan tahun 1983.
  2. UU Hukum Acara Pidana Islam Wilayah Federal.
  • Acara Perdata :
  1. UU Hukum Acara Perdata Kelantan Tahun 1984.
  2. UU Hukum Acara Perdata Islam Kedah Tahun 1984.[7]

Penyelenggaraan peradilan di Malaysia

  • Lembaga peradilan sebagai penegak hukum

Peradilan berasal dari kata adil yang mendapat imbuhan “pe” dan “an”. Adil berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya, dengan tambahan “pe” dan “an”, berarti tempat atau lembaga yang menempatkan sesuatu pada tempat-nya. Istilah peradilan dalam Bahasa Arab digunakan kata qadha‟ jamaknya aqdhiya‟ yang berarti memutuskan perkara/perselisihan antara dua orang atau lebih berdasarkan hukum Allah. Penegakan peradilan berarti memerintahkan kebaikan dan mencegah bahaya kezaliman, menyampaikan hak kepada yang punya, mencegah terjadinya kezaliman dan mengusahakan islah di antara manusia guna menyelamatkan dari kesewenang-wenangan (Basiq Djalil, 2012: 9).

Menurut Hasbi AshShiddieqy (1994: 30), bahwa kata peradilan menurut istilah fiqh adalah:

  1. lembaga hukum (tempat dimana seseorang mengajukan permohonan keadilan).
  2. Perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah hukum atau menerangkan hukum agama atas dasar harus mengikutinya.

Studi Komparatif Pelaksanaan Peradilan Islam Badan peradilan merupakan suatu lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan semua sengketa hukum sesuai dengan bidang tugasnya masingmasing, sebagaimana yang dikemukakan Scholten yang dikutip H. Rochmat Soemitro (1976: 4), dikatakan bahwa pengadilan merupakan sub-sumptie aparaat, yaitu suatu badan yang menetapkan peraturan umum yang abstrak yang terdapat dalam undang-undang pada kasus tertentu. Di Indonesia, badan peradilan yang menjalankan kekuasaan kehakiman adalah Mahkamah Agung, yang membawahi badan peradilan umum, badan peradilan agama, badan peradilan militer, dan badan peradilan tata usaha negara. Badan peradilan agama, badan peradilan militer, dan badan peradilan tata usaha negara merupakan peradilan khusus. Badan peradilan umum merupakan badan peradilan bagi rakyat pada umumnya, sedangkan badan peradilan khusus, memeriksa dan mengadili perkara di bidang hukum tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu (Bagir Manan, 1998: 33).

Menurut Oyo Sunaryo Mukhlas (2011: 7) dikatakan bahwa peradilan yang merupakan institusi masyarakat memiliki beberapa pilar yang bersifat integral, antara pilar yang satu dengan pilar yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Pilar-pilar yang dimaksud, yaitu lembaga (badan) yang terorganisir berdasarkan kekuatan undang-undang, organ pelaksana sebagai penegak hukum (hakim), dan sarana hukum sebagai rujukan (hukum material).

Basiq Djalil (2006: 25), menjelaskan bahwa penyebutan peradilan khusus tidaklah dimaksudkan untuk mengistimewakan warga negara yang diadili atau mencari keadilan melalui lembaga peradilan, karena menurut Bagir Manan (1998: 10), bahwa hal penting dari kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah untuk menjamin sikap tidak memihak, adil, jujur, atau netral (impartiality). Apabila kebebasan tidak dimiliki oleh kekuasan kehakiman, dapat dipastikan akan bersikap tidak netral, terutama apabila terjadi sengketa antar penguasa dan rakyat.

  • Sistem peradilan Islam di Malaysia

Pada dekade 80-an telah diupayakan perbaikan hukum Islam di berbagai negara bagian di Malaysia, dan konferensi nasional telah diadakan di Kedah untuk membicarakan hukum Islam, khususnya yang berkaitan dengan masalah hukum pidana, yang dalam konferensi diputuskan untuk membentuk sebuah komite yang Studi Komparatif Pelaksanaan Peradilan Islam terdiri dari ahli hukum Islam dan anggota bantuan hukum, yang kemudian dikirim ke berbagai negara Islam untuk mempelajari hukum Islam dan penerapannya. Sebagai wujud perhatian pemerintah federal kepada hukum Islam, maka pada saat yang sama dibentuk beberapa komite yang bertujuan untuk menelaah struktur, yuridiksi, dan wewenang Pengadilan Syari‟ah dan merekomendasikan pemberian wewenang dan kedudukan yang lebih besar kepada hakim Pengadilan Syaria‟ah, mempertimbangkan suatu kitab hukum keluarga Islam yang baru guna mengantikan yang lama sebagai penyeragaman undang-undang di negara bagian. Menurut Basiq Djalil (2006: 103-105), bahwa komite juga mempertimbangkan proposal adaptasi hukum acara pidana dan perdata bagi Pengadilan Syari‟ah, dan sebagai hasilnya.

Pada dasarnya hukum Islam di Malaysia, ada yang menyangkut persoalan perdata dan ada yang menyangkut persoalan pidana. Dalam bidang perdata meliputi: (a) pertunangan, nikah, cerai, membatalkan nikah atau perceraian; (b) memberi harta benda atau tuntutan terhadap harta akibat perkara nikah atau perceraian; (c) nafkah orang di bawah tanggungan, anak yang sah, penjagaan dan pemeliharaan anak; (d) pemberian harta wakaf; dan (e) perkara lain yang diberikan kuasa berdasarkan undangundang. Dalam persoalan pidana mengatur: (a) penganiayaan terhadap istri dan tidak patuh terhadap suami; (b) melakukan hubungan seks yang tidak normal; (c) penyalahgunaan minuman keras; (d) kesalahan terhadap anak angkat; dan (e) kesalahan-kesalahan lain yang diatur lebih jauh dalam undang-undang.

Beberapa masalah telah diatur dalam hukum Islam di Malaysia, tetapi hukum peninggalan Inggris tetap diberlakukan pada sebagian besar legislasi dan yudisprudensi. Undang-undang Hukum Perdata 1956 menyebutkan bahwa jika tidak didapatkan hukum tertulis di Malaysia, Pengadilan Perdata harus mengikuti hukum adat Inggris atau aturan lain yang sesuai. Dengan demikian, hukum Islam hanya berlaku pada wilayah yang terbatas, yaitu yang berhubungan dengan keluarga dan pelanggaran agama. Dalam hukum keluarga, pengadilan perdata tetap memiliki yuridiksi, seperti dalam kasus hak milik, warisan, serta pemeliharan anak, dan apabila terdapat pertentangan antara pengadilan perdata dan syari‟ah, maka kewenangan peradilan perdata lebih diutamakan.

Federasi Malaysia adalah suatu negara yang mencantumkan dengan resmi Islam sebagai Agama Negara. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 3 ayat (1) Konstitusi Malaysia yang menentuan bahwa: “Islam ialah agama bagi Persekutuan; tetapi bagi agama-agama lain boleh diamalkan dengan aman dan damai dimana-mana bahagian Persekutuan”. Konsekuensi logis dari ketentuan itu, adanya hubungan antara Federasi Malaysia sebagai negara dengan agama Islam, sehingga Malaysia tidak dapat dinamakan negara sekuler.

Malaysia memiliki sistem federal yang membagi kekuasaan pemerintahan menjadi pemerintahan federal dan pemerintahan negara bagian. Pembagian kekuasaan ini tercantum dalam undang-undang dasar federal, dan walaupun undang-undang dasar menggunakan sistem federal, tetapi sistem ini berjalan dengan kekuasaan yang besar dari pemerintahan pusat. Beberapa kewenangan dari pemerintahan federal adalah urusan luar negeri, pertahanan, keamanan nasional, polisi, hukum perdata dan pidana sekaligus prosedur dan administrasi keadilan, kewarganegaraan, keuangan, perdagangan, perniagaan dan industri, perkapalan, navigasi dan perikanan, komunikasi dan transportasi, kinerja dan kekuasaan federal, pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan keamanan sosial.

Malaysia merupakan salah satu dari sekian banyak negara Coomonwealth Country atau negara-negara persemakmuran Inggris. Semua negara-negara persemakmuran mengadopsi sistem hukum Inggris yang biasa disebut dengan sistem hukum Anglo Saxon atau juga Common Law. Prinsip aturan hukum yang dipraktikkan di Malaysia secara umum mengikuti hukum administratif Inggris sebagaimana dikembangkan dalam pengadilan Malaysia, sehingga sistem pengadilan secara mendasar bersifat federal. Hukum federal maupun negara bagian dilaksanakan di pengadilan federal. Hanya Pengadilan Syari‟ah yang terdapat pada negara bagian dan menggunakan sistem Hukum Islam, bersama dengan pengadilan pribumi di Sabah dan Sarawak, khususnya yang berurusan dengan hukum adat. Selain itu juga terdapat Sessions Courts (pengadilan sessi) dan Magistrate’s Courts (Pengadilan Majistret). Pengadilan Tinggi dan tingkat pengadilan di bawahnya memiliki yurisdiksi dan kewenangan yang diatur oleh hukum federal, dan tidak memiliki yurisdiksi dalam segala hal yang berkaitan dengan yurisdiksi Pengadilan Syari‟ah.

Struktur kehakiman di Malaysia terdiri dari Mahkamah Persekutuan (Federal Court) dan di bawah itu Mahkamah Banding atau Mahkamah Rayuan (Appeal Court). Kemudian di bawah kedua Mahkamah tersebut Mahkamah Tinggi Malaya (High Court of Malaya), yang berada di Kuala Lumpur dan Mahkamah Tinggi Sabah dan Serawak (High Court of Sabah and Serawak), yang berada di tempat kedudukan oleh Raja (Yang Dipertuan Agung). Selanjutnya di bawah Mahkamah Tinggi tersebut ada Mahkamah Rendah (Session court), Mahkamah Mejistret dan Mahkamah Juvenile (Magistrate’s Court/Juvenile Court), serta Mahkamah Penghulu, seperti dijelaskan oleh Jayum Ajawan (2006: 133), bahwa:

The present structure of the Malaysian Judiciary is presented in Appendix 2. It comprises at its apex the Federal Court and below that the Appeal Court. Below these are the High Court of Malaya and the High Court of Sabah and Sarawak. Together, these three courts formed the superior court. The subordinate court comprises the Sessions Court, the Magistrate Court and the Juvenile Court while at the lowest level is the Penghulu’s Court.

Tujuan Mahkamah Syari’ah Malaysia

  • Mahkamah Syari’ah

Setiap derah yang berada di Malaysia pasti terdapat lemabaga yang bermanam Mahkamah Syari’ah, yang didirikan bukan tanpa alasan melainkan atas dasar enakmen atau Dewan Undang-Undang di Malaysia yang terkait dengan Agama Islam. Menurut Ibrahim dan Ahilemah Joned menjelaskan bahwa, secara hierarki Mahmkamah Syari’ah terdiri dari Mahkmah Kadi, Mahkamah Kadi Besar dan Lemabaga Rayuan. Mahkamah ini memiliki bidang kuasa dalam kes-kes sipil dan jenayah. Bidang kuasa sipil meliputi tuntutan-tuntutan perceraian, nafkah, dan tuntutan-tuntutan harta sepencarian serta harta pusaka. Bidang kuasa jenayah meliputi pembicaraan semua kesalahan yang diperuntukan oleh enakmen yang berkenaan. Lazimnya kesalahan yang membawa hukuman ringan dibicarakan oleh Mahkamah Kadi, sementara kesalahan-kesalahan yang membawa hukuman berat oleh Mahkamah Kadi Besar. Rayuan daripada kedua-dua mahkamah ini akan didengar oleh Lembaga Rayuan.[9]

Jika melihat sejarah terbentuknya Mahkamah Syari’ah ini berawal dari adanya proses pentadbiran atau administrasi Majlis Ugama Islam (MUIS) yang asalnya dikenal dengan Mahkamah Qadhi. Selain Mahkamah Qadhi, di bawah naungan MUIS ada pejabat Agama Islam yang di In donesia mirip dengan KUA, serta ada unit kemuftian atau di Indonesia MUI. Adanya pemisahana Mahkamah Syari’ah berlaku sejak pembentukan jabatan Mahkamah Syari’ah di Negeri Sabah pada tahun 1996. Mahkamah Syari’ah Malaysia merupakan lembaga peradilan yang membicarakan dan menjatuhkan hukuman terhadap orang Islam yang melakukan tindak sipil dan kriminal agama sesuai dengan yuridis yang berlaku.

  • Tujuan Mahkamah Syari’ah

Mahkamah Syari’ah Malaysia memiliki peranan dan tujuan sebagai berikut:

  • Menjaga hukum Islam yang ditetapkan dalam pengadilan dengen tujuan menjamin semua umat muslim patuh dan tidak melanggar perintah Allah yang didasarkan pada al-Qur’an dan al-Hadits.
  • Melakukan administrasi agama Islam al-Qur’an dan al-Hadist sebagai penjaminan kesejahteraan orang Islam.
  • Menciptakan keluarga Islam yang teguh dan patuh terhadap ajaran-ajaran Islam dan mengawasi mereka dalam menjalankan kehidupan mereka sesuai dengan syariat Islam.
  • Menyelamatkan umat Islam dari perpecahan den keruntuhan rumah tangga.
  • Sebagai tempat konsultasi dalam menyelesaikan masalah rumah tangga.
  • Memberikan bimbingan dan konseling kepada mereka yang ingin menikah agar dapat membangun rumah tangga sakinah, mawaddah, dan warahmah.
  • Sebagai tempat pembuatan rayuan isttri untuk mendapatkan nafkah dari suaminya setelah bercerai.
  • Tempat dalam menyelesaikan permasalahan keluarga seperti nikah, perceraian, talak, dan sebagainya.
  • Tempat dalam memecahkan permasalahan sosial yang ada dalam masyarakat seperti judi, khamar, riba, dan sebagainya.
  • Sebagai tempat bantuan masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan harta pusakan dan wasiat.
  • Sebagai penasihat pemerintah jika diminta.
  • Sebagai lembaga yang ditunjuk pemerintah yang bertanggung jawab dalam memberikan penjelasan mengenai keagamaan, kekeluargaan, dan berdakwah kepada masyarakat.
  • Menerapkan nilai-nilai Islam agar umat Islam dapat menerapkan dalam sistem kehidupan secara menyeluruh.

Mahkamah Syari’ah berwenang dalam menjalankan peraturan Hukum Administrasi Agama Islam secara menyeluruh negeri-negeri di Malaysia. Yuridis yang dinberikan berupa pernikshsn, perceraian, kekeluargaan, serta pemecah masalah harta pusaka kecil. Berbeda dengan Kantor Agama yang menjalankan pemerintahannya dalam memcahkan permasalahan yang bersangkutan dengan masyarakat Islam seperti Zakat, baitulmal, dakwah, pendidikan, manajemen masjid, dan sebagainya yang sama-sama berlalku disemua negeri di Malaysia.

Mahkamah Syari’ah Malaysia memiliki cabang yaitu Mahkamah Rendah Syari’ah, Mahkamah Tinggi Syari’ah, dan Mahkamah Rayuan Syari’ah. Setiap mahkamah memiliki wewenang masing masing, diantaranya:

  • Mahkamah Rendah Syari’ah
  1. Membicarakan kasus-kasus yang telah ditetapkan oleh enakmen negeri.
  2. Membicarakan dan memutuskan kasus.
  3. Menyediakan arsip alporan tentang pengadilan.
  4. Membicarakan kasus-kasus tingkat daerah.
  • Mahkamah Tinggi Syari’ah
  1. Mmebicarakan kasus-kasus yang dialokasikan kepadanya.
  2. Mengeluarkan perintah terhadap kasus-kasus sipil dan kriminal.
  3. Memecahkan dan mengkonfirmasi kasus yang berhubungan dengan waris atau faraid.
  4. Mengelola kasus banding.
  5. Menyediakan jurnal pengadilan untuk diterbitkan.
  • Mahkamah Rayuan Syari’ah
  1. Mendengar kasus-kasus banding.
  2. Memiliki wewenanng dalam membatalakan penjatuhan hukm.
  3. Mengurangi hukuman.
  4. Memerintah agar dianakan pembicaraan kembali.
  5. Menerima banding dari pihal yang bersangkutan yang dihukum penjara dan denda tidak kurang RM 25.00, serta membuata prosedur banding yang telah ditetapkan.
  6. Setiap banding akan didengar oleh tiga orang hakim, yaitu Hakim dari tingkat rendah, Diatulaiha, dan Sultan

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Trying to get property of non-object

Filename: wikipedia/wikipediareadmore.php

Line Number: 5

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Trying to get property of non-object

Filename: wikipedia/wikipediareadmore.php

Line Number: 70

 

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Undefined index: HTTP_REFERER

Filename: controllers/ensiklopedia.php

Line Number: 41