Kota cerdas berusaha menerapkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) demi memperbaiki efisiensi dan keberlanjutan ruang kota sekaligus mengurangi biaya dan konsumsi sumber daya.[1] Terkait pengintaian, kota cerdas mengawasi warganya menggunakan sensor-sensor strategis di lansekap kota. Sensor tersebut mengumpulkan data yang berhubungan dengan kehidupan kota. Lewat sensor ini, data dikirim, disatukan, dan dianalisis oleh pemerintah dan pihak berwenang setempat untuk mengetahui persoalan-persoalan yang dihadapi kota, misalnya pencegahan kejahatan,[2][3][4] penanganan lalu lintas,[5][6] pemanfaatan energi,[6] dan pengurangan limbah. Teknologi ini bermanfaat untuk penataan kota yang lebih baik[7] dan memungkinkan pemerintah menyesuaikan pelayanan publiknya dengan masyarakat setempat.[8][9]
Teknologi semacam ini sudah diterapkan di beberapa kota di dunia, termasuk Santa Cruz, Barcelona, Amsterdam, dan Stockholm. Teknologi kota cerdas memberi hasil nyata seperti menciptakan penegakan hukum yang efektif, mengoptimalkan layanan transportasi,[10] memutakhirkan infrastruktur penting,[10] dan menyediakan jasa kepada pemerintah setempat lewat sistem e-government (pemerintahan elektronik).[11]
Arus data yang tetap dan selalu berjalan[7] dari sumber-sumber terpisah ke satu badan pemerintahan saja memunculkan kekhawatiran akan adanya 'penjara elektronik’,[1] artinya pemerintah memanfaatkan teknologi berbasis data untuk memaksimalkan pengintaian terhadap warganya sendiri. Kritik seperti ini didasarkan pada asas privasi[10] karena arus informasi berpindah secara vertikal antara warga dan pemerintah sampai-sampai mengaburkan konsep anonimitas kota.[10]
Referensi