Pengaruh selebriti di politikPengaruh selebritas dalam politik, yang juga dikenal sebagai politics celebrity atau politik selebritas mengacu pada fenomena di mana publik figur atau selebritas, dalam hal ini orang-orang berpengaruh yang dianggap sebagai selebritas dapat berupa siapa saja yang memiliki pengikut besar, seperti aktor atau aktris, musisi, atlet profesional, atau influencer media sosial, menggunakan popularitas mereka untuk menarik perhatian masyarakat pada isu-isu politik tertentu.[1][2] Fenomena selebritas dalam politik praktis muncul sebagai vote getter atau alat pengumpul suara dalam kampanye politik dengan cara memanfaatkan daya tarik selebriti melalui media dan performa publik mereka.[3] PeranMenurut Anthony Elliott, selebritas merupakan titik struktural yang penting dalam pembentukan identitas diri dan sosial. Selebritas memainkan peran yang semakin penting dalam beberapa aspek, seperti:
Secara keseluruhan, Elliott menyatakan bahwa selebritas tidak hanya memengaruhi cara kita melihat orang lain, tetapi juga bagaimana kita membentuk dan merefleksikan identitas diri kita dalam konteks sosial yang lebih luas. Selebritas menjadi referensi atau simbol yang menginspirasi banyak orang dalam mengembangkan citra diri mereka.[4] Selebritas dikenal karena popularitas mereka yang besar dan pengaruh luas terhadap masyarakat. Popularitas ini memungkinkan mereka untuk membawa perhatian publik ke masalah-masalah tertentu yang mungkin sebelumnya kurang diperhatikan. Selain itu, selebritas memiliki kemampuan untuk meyakinkan pengikut mereka, memengaruhi opini, sikap, atau bahkan tindakan penggemar, seperti mendukung kampanye tertentu atau memilih kandidat politik yang mereka dukung. Kombinasi kedua kekuatan ini membuat selebritas menjadi pihak yang signifikan dalam ranah sosial dan politik.[5] SejarahPeriode Orde Baru: Keterbatasan Kebebasan Politik dan Pengaruh SelebritasPada masa Orde Baru (1966-1998), sistem politik Indonesia sangat terpusat dan otoriter di bawah pemerintahan Presiden Soeharto. Meskipun masa ini ditandai oleh keterbatasan kebebasan politik, selebritas tetap memainkan peran penting dalam budaya populer. Namun, keterlibatan mereka dalam politik lebih bersifat sebagai alat legitimasi atau simbol pemerintahan. Beberapa selebritas terlibat dalam kegiatan politik, namun lebih banyak yang berperan dalam mendukung pemerintah atau menjadi bagian dari proyek-proyek kebudayaan yang dipromosikan oleh negara. Pada masa ini, tokoh-tokoh hiburan seperti artis dan musisi sering kali tampil di acara-acara yang disponsori oleh pemerintah, mendukung program-program pemerintah. Selebritas pada masa ini lebih banyak digunakan oleh pemerintah sebagai simbol stabilitas dan kemajuan, meski tidak terlibat langsung dalam arena politik.[6][7] Reformasi 1998: Transisi ke Demokrasi dan Kebebasan PolitikIndonesia memasuki era reformasi yang membawa perubahan besar dalam sistem politik, termasuk penguatan demokrasi, kebebasan pers, dan pluralisme politik. Perubahan ini memberi ruang bagi selebritas untuk lebih aktif dalam politik praktis. Mulai muncul selebritas yang memilih untuk terjun langsung ke dunia politik, baik sebagai calon legislatif maupun eksekutif.[8] Setelah runtuhnya Orde Baru pada 1998, banyak selebriti yang mulai terlibat dalam dunia politik, didorong oleh kebebasan demokrasi yang lebih besar. Mereka tidak lagi takut akan kriminalisasi atau pembatasan ekspresi jika memiliki pandangan yang berbeda dengan pemerintah. Namun, pada pemilu 1999, sebagian besar masih berperan sebagai juru kampanye atau celebrity endorser, yang digunakan oleh partai politik untuk menarik perhatian pemilih, bukan sebagai aktor politik yang terlibat langsung. Keikutsertaan selebritas dalam politik ini menandai awal dari fenomena politics celebrity yang lebih luas di Indonesia.[3][6] Pemilu 2004 dan 2009: Peningkatan Peran Selebritas dalam Politik PraktisPada pemilu 2004 dan 2009, fenomena selebritas dalam politik semakin berkembang. Selebritas tidak hanya menjadi simbol atau alat kampanye, tetapi mulai terlibat langsung dalam pencalonan diri mereka sebagai calon legislatif atau eksekutif. Pada periode ini, media sosial dan televisi mulai memainkan peran besar dalam meningkatkan popularitas selebritas, yang memudahkan mereka untuk meraih dukungan publik. Pada pemilu 2004, terdapat 38 calon legislatif dari kalangan seniman yang ikut berkompetisi. Jumlah ini terus meningkat dengan 61 calon legislatif berlatar belakang seniman pada tahun 2009. Beberapa di antaranya berhasil memperoleh kursi di legislatif. Pada 2004, tujuh seniman berhasil terpilih menjadi anggota DPR, sementara pada 2009, jumlah seniman yang menduduki kursi DPR meningkat menjadi 18 orang dari berbagai partai.[6][9] Era Media Sosial: Selebritas sebagai Influencer PolitikDengan perkembangan pesat media sosial, selebritas semakin memanfaatkan platform digital untuk terlibat dalam dunia politik dan memengaruhi opini publik. Selebritas, yang sebelumnya terbatas pada pengaruhnya melalui media tradisional seperti televisi dan majalah, kini memiliki cara langsung untuk menjangkau jutaan pengikut melalui media sosial seperti Instagram, Twitter (sekarang X), dan YouTube. Selebritas di era media sosial berperan sebagai influencer politik yang tidak hanya mendukung calon atau partai politik tertentu, tetapi juga mengajak pengikut mereka untuk lebih aktif dalam politik, seperti mengikuti kampanye atau bahkan memilih dalam pemilu. Mereka memanfaatkan popularitas mereka untuk menyebarkan pesan politik, mengedukasi pengikut, dan mendorong mereka untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi.[10][11] Dampak Terhadap PublikSelebritas memainkan peran yang penting sebagai bagian dari strategi baru untuk advokasi politik. Munculnya strategi advokasi ini dipicu oleh kesulitan yang dihadapi oleh banyak kelompok dalam mendapatkan perhatian media yang didorong oleh evolusi teknologi dan membaiknya akses ruang publik. Strategi ini merupakan salah satu aspek dari pergeseran yang lebih luas dalam politik sebagian negara di dunia yang tidak lepas dipengaruhi oleh era digital. Selebritas memiliki kemampuan untuk menciptakan hubungan parasosial (perasaan keterikatan pribadi meskipun tanpa kontak langsung dengan konsumen).[12] Menurut Brian Loader warga muda umumnya memiliki pandangan yang hati-hati namun positif terhadap politisi dan selebritas yang menggunakan media sosial, namun mereka merasa bahwa selebritas dan politisi harus belajar untuk menggunakan media sosial dengan tepat jika mereka ingin membangun kembali kepercayaan dan kredibilitas.[13] Meski fenomena politics celebrity berkembang pesat, ada juga kritik terhadap keterlibatan selebritas dalam politik. Kritik utama biasanya berkisar pada apakah selebritas memiliki kapasitas dan pemahaman yang cukup tentang isu-isu politik yang kompleks atau apakah mereka hanya memanfaatkan ketenaran mereka untuk meraih keuntungan politik. Banyak yang berpendapat bahwa popularitas selebritas tidak selalu sebanding dengan kemampuan mereka untuk membuat kebijakan yang baik.[14][15] Selain itu, kehadiran selebritas dalam politik juga mengarah pada komodifikasi politik, di mana politik dipandang lebih sebagai produk hiburan daripada sebuah kegiatan yang serius untuk memperbaiki keadaan negara. Ini menciptakan tantangan bagi partai politik dan masyarakat untuk menilai kualitas dan komitmen kandidat berdasarkan substansi dan kompetensi mereka, bukan hanya ketenaran.[16][17][18] Referensi
|