Pemotongan kelamin perempuan di Sudan
Mutilasi Alat Kelamin Wanita (FGM) atau sunat sangat umum terjadi di Somalia dan Sudan. lebih 90% anak perempuan di Somalia dan di Sudan Utara menjadi sasaran utama mutilasi kelamin, seperti infibulasi. Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi ini adalah agama, tradisi dan nafsu seksual digunakan untuk membenarkan praktik mutilasi alat kelamin. Kampanye untuk menyadarkan dan mencegah praktik ini di Sudan sudah dilakukan, namun perkembangannya sangat lambat. Fenomena mutilasi alat kelamin di Sudan merupakan tradisi turun-temurun dari zaman dahulu. Semenjak tahun 1960-an hingga 1970-an, dokter di Sudan telah melakukan penelitian dan studi untuk mempelajari sumber praktik ini. Menjelang akhir 1970-an, Asosiasi Keluarga Berencana Sudan dan Masyarakat Kebidanan dan Ginekologi Sudan mencoba mengadopsi adanya pemberian rekomendasi pada warga Sudan sebagai bentuk pandangan dari golongan kedokteran, dengan tujuan untuk menghapuskan mutilasi alat kelamin wanita. Pemerintah dan organisasi relawan menjadi bagian program edukasi penghapusan mutilasi alat kelamin wanita di Sudan. Namun, karena pengaruh dari budaya yang turun-temurun, praktik ini masih terus berlangsung. Pengaruh dari edukasi kepada masyarakat Sudan menciptakan perubahan positif, dimana adanya transisi perlakuan dari infibulasi menjadi klitorilektomi.[1] Jumlah dan Asal UsulAda sekitar 87% wanita di Sudan dengan usia 15-49 tahun yang mengalami mutilasi alat kelamin.[2] Survei demografis dan kesehatan yang dilakukan pada 5.860 wanita di Sudan antara 1996 dan 2000 oleh Save the Children di Swedia dan Komite Nasional Sudan mengenai Praktek Tradisional menunjukkan bahwa 91% perempuan pedesaan dan 89% perempuan perkotaan telah menjadi sasaran mutilasi genital. Menurut koordinator jaringan di Sudan yang menentang mutilasi alat kelamin, Dr. Nahid Jabrallah, strategi nasional melawan mutilasi kelamin telah disusun. Mulai tahun 2008, strategi yang direncanakan berlangsung selama sepuluh tahun ini mencoba mencapai hilangnya praktik ini di tengah masyarakat Sudan. Praktik infibulasi merupakan yang paling sering dilakukan dengan angka mencapai 74% pada wanita Sudan. Praktik ini meliputi pengambilan secara parsial bahkan penuh seluruh organ seksual di bagian luar, dan menutup lubang vagina yang dilakukan secara medis.[2][3] Sekitar 22 persen dari populasi wanita tunduk pada prosedur yang kurang luas yang disebut "sunna" (gata albazr adalah istilah Sudan-Arab), sementara diperkirakan 2 persen dikenakan prosedur di mana elemen dari kedua prosedur tersebut diterapkan.[2] Pengaruh agama merupakan salah satu faktor yang menentukan terjadinya mutilasi kelamin. Jenis mutilasi kelamin yang paling sering terjadi adalah, infibulasi dengan persentase paling banyak terjadi pada wanita Muslim 83% dibandingkan dengan 27% wanita beragama Kristen.[2] Praktek mutilasi kelamin yang mendapat pengaruh agama atau etnis, yang biasanya terjadi pada wanita Arab di Sudan Utara dan khususnya di lembah Nil di utara Khartoum telah menyebar ke etnis Sudan lainnya, di mana kelompok Sudan lain sebelumnya tidak pernah memiliki tradisi tersebut. Hal ini disebabkan oleh pengaruh budaya yang menyebar dari berbagai segmen.[4] Hal ini memicu migran dan pengungsi Sudan Selatan di Sudan Utara, untuk mempraktekkan mutilasi alat kelamin, dan secara perlahan kebiasaan tersebut menyebar ke berbagai kelompok etnis di bagian barat dan selatan Sudan. Selain itu, migran dan pengungsi dari Sudan Selatan yang tinggal di utara pun mulai mengadopsi budaya lain seperti gaun, pengubahan warna kulit dna karakteristik budaya lainnya. Sedangkan, faktor persilangan antar etnis melalui pernikahan antara perempuan dari selatan dan utara Sudan hanya memiliki pengaruh kecil pada munculnya praktek mutilasi alat kelamin.[1] Pembenaran Mutilasi KelaminMenurut para peneliti dan pengamat, pernikahan dan seksualitas ada beberapa alasan yang mempengaruhi praktik mutilasi kelamin terus berlangsung, yaitu pernikahan, atau pernikahan di masa depan, dan seksualitas merupakan kunci dalam konteks mutilasi kelamin, di mana perempuan yang melalui praktek ini dianggap sebagai simbol wanita yang sopan, bermartabat dan subur. Hal ini memicu fakta di mana wanita dewasa Sudan dapat berulang kali menjadi sasaran pemotongan alat kelamin.[5] Kapan Pemotongan Kelamin DilakukanStudi yang dilakukan di Sudan menunjukkan bahwa 86% populasi perempuan mengalami mutilasi alat kelamin sebelum usia 10 tahun. Ada 74% yang berusia 5 dan 9 tahun ketika prosedur dilakukan.[6] Prosedur pemotongan kelamin biasanya dilakukan sepanjang bulan April hingga Juli, atau selama liburan sekolah. Kadang-kadang, wanita yang belum mengalami mutilasi alat kelamin ditekan agar dilakukan sebelum memasuki pernikahan.[7] Ada sangat sedikit laporan mutilasi genital yang dilakukan pada bayi, hal ini terjadi pada Suku Beja di Sudan Timur. Pemotongan kelamin dilakukan pada bayi sampai mereka berusia dua hingga tiga bulan.[7] ReinfabulasiWanita Sudan yang difibulasi biasanya mengalami reinfibulasi setelah melahirkan.[4][5] Studi dari awal 1980-an menunjukkan bahwa 50-80% responden perempuan telah diinfibulasi ulang. Pada tahun 2002/2003, wawancara mendalam terhadap 12 wanita dan 10 pria, yang berasal dari Distrik Khartoum. Responden memiliki latar belakang etnis dan sosial yang berbeda. Wawancara dilakukan untuk mengetahui tingkat edukasi serta alasan melakukan praktek pemotongan kelamin.[4] Diketahui bahwa, pembersihan dan mempersempit lubang vagina setelah proses kelahiran merupakan alasan utama bagi responden perempuan, di manahal ini juga berfungsi meningkatkan estetika dari organ seksual . Selain itu, survei juga menunjukkan bahwa para laki-laki yang menentukan apakah wanita akan di direinfabulasi, di mana wanita hanya memiliki pengaruh yang sangat kecil terhadap keputusan tersebut. Tekanan antar sesama wanita secara psikologis baik dari kerabat dan ibu perempuan, dan tetangga di komunitas lokal menjadi faktor kedua. Sebaliknya, para laki-laki menyatakan bahwa reinfabulasi memiliki kemungkinan yang membahayakan bagi wanita, namun tetap memutuskan untuk melaksanakannya karena pengaruh tekanan sosial.[4] Subjek yang ditunjuk untuk pemotongan kelamin60% asisten bidan tradisional menjadi orang yang melakukan pemotongan kelamin dan 35% merupakan bidan, sedangkan dokter menyumbang kurang dari 1%. Asisten bidan dalam konteks ini adalah masyarakat yang belajar keterampilan memotong kelamin dari ibu maupun kerabat perempuan lainnya, yang telah sering melakukan praktek yang sama.[7] Prosedur praktek ini pada sebelum waktu operasi, ibu atau nenek dari perempuan yang melahirkan menentukan bentuk pemotongan seperti apa yang harus dilakukan pada vagina. Pembayaran layanan praktek tersebut dapat dilakukan sebelum, selama, dan setelah praktek dilakukan.[7] Sanksi Sosial Menolak Pemotongan Kelamin WanitaPenolakan bahkan wanita yang belum melakukan pemotongan kelamin akan mengalami tekanan sosial, baik dari teman sebaya maupun kerabat. Tekanan sosial yang didapat dapat berupa ejekan, di mana korban akan disebut "ghalfa" yang berarti "tidak disunat" atau "nigisha" yang berarti "tidak murni".[7] Selain itu, perempuan yang tidak disunat akan dianggap hiperseksual,[4] di mana budaya Sudan mengganggap hiperseksual pada wanita membuat perempuan tersebut tidak menarik untuk dijadikan pasangan suami istri. Dalam budaya Sudan, pernikahan dan keluarga adalah landasan utama dalam bermasyarakat , anak perempuan hanya memiliki sedikit pilihan dan akan sulit untuk bertahan hidup tanpa dukungan masyarakat setempat.[4] Hal ini juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan anak perempuan Sudan yang mayoritas lebih rendah dibandingkan laki-laki, sehingga peluang untuk mandiri, baik itu mencari pekerjaan sangatlah terbatas, khususnya di luar perkotaan.[7] Perlindungan Terhadap Aksi Penolakan Pemotongan KelaminHukumSudan merupakan negara Afrika pertama yang memperkenalkan undang-undang melawan pemotongan alat kelamin. Hal ini terjadi pada tahun 1946, ketika infabulasi dilarang melalui penggunaan suplemen, prosedur pemotongan kelamin yang jauh dari tindakan medis masih diizinkan. Hingga pada tahun 1957, ketika Sudan memperoleh kemerdekaannya, Sudan menciptakan peraturan terkait denda dan/atau hukuman penjara hingga tujuh tahun penjara bagi praktisi infibulasi. Pada tahun 1974, hukuman bagi praktisi infabulasi dikurangi menjadi maksimal lima tahun penjara.[7] Namun, undang-undang yang dibuat saat ini tidak mencakup konteks mendalam mengenai pemotongan alat kelamin, di mana konteks "cedera fisik" memiliki potensi cacat hukum, di mana dapat dimanipulasi sebagai bentuk pemotongan alat kelamin.[8] Dalam hal ini, tenaga kesehatan tidak diizinkan untuk melakukan pemotongan kelamin. Mereka juga tidak diperbolehkan untuk melakukan reinfibulasi. Namun, keterbatasan larangan hukum membuat praktek ini sulit untuk dibawa ke jalur pengadilan.[7] Berikut merupakan hukum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Sudan 2005 (yang diamandemen pada 2007)[9] yang melindungi perempuan Sudan pada praktek pemotongan kelamin:
Selain itu, ada beberapa hukum yang melindungi wanita Sudan dari praktek pemotongan kelamin yang tercantum dalam Hukum Pidana 1991[10] yang dikeluarkan oleh Hukum Kemanusiaan Internasional serta Undang-undang Anak[11] yang dikeluarkan Sudan:
UNICEF sebagai lembaga internasional mendukung gerakan pemerintah transisi untuk mengkriminalisasi pemotongan alat kelamin perempuan di Sudan. Perubahan atas Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 141 disahkan oleh Dewan Kedaulatan dan Menteri Sudan pada 22 April. Semua amandemen yang diusulkan oleh Dewan Nasional untuk Kesejahteraan Anak (NCCW) sejalan dengan visi UNICEF untuk mempromosikan hak-hak anak juga disahkan. Dengan bantuan UNICEF, NCCW, perempuan dan advokat anak, donor termasuk bantuan Inggris dan pemerintah Swedia, badan-badan PBB, organisasi internasional dan nasional, organisasi berbasis masyarakat dan anggota masyarakat, ikut bergabung dengan gerakan Saleema sebagai bentuk aksi menghentikan praktek pemotongan kelamin wanita.[13] Penerapan HukumBerikut merupakan empat negara di Sudan yang sudah menerapkan praktek pemotongan kelamin wanita sebagai tindakan kriminal: Kordofan Selatan -Di Kordofan Selatan, persentase praktek pemotongan kelamin wanita 88,8%. Kordofan Selatan merupakan negara Sudan pertama yang mengadopsi undang-undang yang melarang praktek pemotongan kelamin wanita. Terbitnya undang-undang Mutilasi Alat Kelamin Perempuan pada 2008 menempatkan tanggung jawab pada orang tua dan untuk melindungi perempuan (hingga usia 18 tahun) dari praktek ini.. Dalam undang-undang tersebut juga menyatakan bahwa pembayaran kompensasi kepada korban adalah tanggung jawab orang yang melakukan tindakan.[14] Hukuman bagi pelanggar di Kordofan Selatan, di atur dalam Undang-Undang Pencegahan Mutilasi Alat Kelamin Perempuan yang mencakup berbagai hukuman dari tiga tahun penjara dan jumlah kompensasi yang harus dibayarkan kepada korban serta hukuman hingga sepuluh tahun penjara dengan kompensasi yang dibayarkan kepada keluarga korban untuk kasus kematian.[14] GadarefDi Gadaref, persentase praktek pemotongan kelamin wanita sebesar 78,5%. Gadaref merupakan negara bagian kedua di Sudan yang menerapkan undang undang ini. Di bawah Pasal 13 Undang-Undang Anak 2009, semua praktik tradisional yang berbahaya, termasuk praktek pemotongan kelamin perempuan dilarang, dan berlaku untuk semua bentuk yang terkait dengan praktek yang sama.[14] Hukuman bagi pelanggar di Gadaref adalah penjara paling lama 6 bulan atau denda tidak kurang dari 100 SDG (sekitar US$5,50) atau keduanya, tanpa mengurangi kompensasi yang mungkin harus dibayarkan. Di Gadaref, pengadilan yang bersangkutan dapat memberikan denda yang dibayarkan pelaku kepada korban.[14] Darfur SelatanDi Darfur Selatan, persentase praktek pemotongan kelamin wanita sebesar 88,2%. Darfur Selatan menerapkan Pasal 11 Undang-Undang Anak Negara Bagian Darfur Selatan 2013, di mana semua bentuk praktek pemotongan kelamin perempuan dilarang.[15] Laut MerahDi Laut Merah, persentase praktek pemotongan kelamin wanita sebesar 89,0%. Laut Merah berhasil menerbitkan undang undang pada tahun 2007 yang melarang segala bentuk pemotongan kelamin perempuan, di mana hal ini diikuti oleh protes dari etnis Beja untuk mencabut undang-undang tersebut. Namun, setelah kematian seorang bayi perempuan dari praktek pemotongan alat kelamin wanita pada tahun 2009, tekanan untuk menuntut praktek ini sebagai tindak kejahatan meningkat. Hingga saat ini, undang-undang tersebut masih belum sepenuhnya diberlakukan.[12] Hukuman bagi tenaga kesehatanPemotongan kelamin wanita secara medis sangat tinggi di Sudan. Pada tahun 2014, tercatat 77,9% perempuan di daerah perkotaan dan 56,7% perempuan di daerah pedesaan (berusia 15–49 tahun) telah mendapatkan praktek pemotongan kelamin yang dilakukan oleh bidan terlatih. Jumlah tenaga medis yang melakukan praktek pemotongan alat kelamin wanita juga meningkat di Sudan dari waktu ke waktu.[16] Undang-undang nasional tidak secara efektif menjunjung tinggi etika profesional bagi tenaga medis di Sudan. Resolusi Dewan Medis Nomor 366 dari tahun 2002 melarang dokter dan bidan melakukan semua bentuk pemotongan alat kelamin.[17] Sanksi berat akan diberikan kepada semua tenaga kesehatan yang terlibat, termasuk rumah sakit atau fasilitas kesehatan jika didapati melakukan pemotongan kelamin, namun sanksi yang diberikan hanya bersifat administratif. Hukuman yang diberikan kepada tenaga kesehatan, baik dokter dan bidan diatur kebijakan Dewan Medis Sudan yang dapat mengakibatkan pencabutan lisensi praktek dan pemecatan dari profesi tenaga kesehatan.[10] Di Kordofan Selatan, Kementerian Kesehatan Sudan telah mengeluarkan kode etik bagi para bidan, agar tidak melakukan pemotongan alat kelamin perempuan.[18] Kementerian Kesehatan Sudan juga telah membuat program edukasi untuk meningkatkan kesadaran akan efek pemotongan kelamin perempuan serta alasan mengapa tidak boleh dipraktikkan. Kordofan Selatan juga menerbitkan UU Pencegahan Pemotongan Alat Kelamin Perempuan dengan konsekuensi hukuman penjara, pembatalan lisensi medis untuk dokter dan perawat, dan penyitaan properti bagi pelanggar yang melakukannya secara berulang. Program Melawan Pemotongan Kelamin PerempuanBerbagai departemen pemerintah dan badan profesional berperan untuk kampanye nasional untuk mengakhiri pemotongan kelamin di Sudan, termasuk Kementerian Kesejahteraan dan Layanan Sosial, Kesehatan, Bimbingan dan Pemberkahan dan Dewan Medis. Dewan Nasional untuk Kesejahteraan Anak merupakan otoritas pemerintah yang mengkoordinasikan bekerja sama dengan Program Bersama UNFPA-UNICEF tentang Pemotongan Alat Kelamin Perempuan (UNJP), yang telah beroperasi sejak 2008 di Sudan. Program Strategi Nasional Memerangi Pemotongan Alat Kelamin Wanita 2008–2018 dibuat sebagai bentuk kemitraan antara pemerintah dan organisasi masyarakat Sudan dalam aspek keagamaan, kesehatan, sosial dan budaya terhadap pemotongan kelamin perempuan. Pada tingkat negara bagian terdapat departemen pemerintah, dewan dan komite yang mengarahkan pencegahan pemotongan kelamin wanita.[19] Kampanye komunikasi nasional terhadap isu pemotongan kelamin wanita, juga diluncurkan pada tahun 2008 yang berfokus pada gagasan wanita atau Saleema yang dalam bahasa Arab berarti "utuh, tidak rusak, tidak terluka, dan lengkap". Isu pemotongan kelamin perempuan diposisikan dalam kerangka perlindungan anak dan kesetaraan gender yang lebih luas.Departemen pemerintah telah bermitra dengan UNJP dan organisasi non-pemerintah setempat untuk mengembangkan kampanye advokasi bersama para pemimpin agama dan media, layanan reproduksi-kesehatan dan pelatihan bidan, memberikan informasi dan konseling kepada orang tua anak perempuan yang baru lahir dan menggabungkan pendidikan kesadaran ke dalam kurikulum sekolah.[20] Gerakan SaleemaGerakan Saleema, merupakan gerakan yang diluncurkan pada tahun 2008 oleh Dewan Nasional Kesejahteraan Anak (NCCW) dan UNICEF Sudan. Gerakan ini berfungsi untuk mendukung perlindungan anak perempuan dari pemotongan kelamin, terutama dalam konteks untuk mempromosikan edukasi mengenai pemotongan kelamin perempuan di tingkat masyarakat. Saleema adalah kata yang berarti utuh, sehat dalam tubuh dan pikiran, tidak terluka, utuh, murni, dan tidak tersentuh, dalam kondisi yang diberikan Tuhan. Tujuan luas Saleema adalah untuk mengubah cara orang berbicara tentang pemotongan alat kelamin wanita dengan mempromosikannya, di tingkat komunitas.Sejak gerakan Saleema dimulai pada tahun 2009, keinginan untuk melindungi anak perempuan dari praktek tersebut telah menyebar ke seluruh Sudan, dan juga menciptakan keinginan bagi negara-negara tetangga seperti Somalia dan Mesir untuk mendukung gerakan ini. Model komunikasi positif Saleema adalah memberikan Sudan kesempatan untuk membangun masa depan terbaik bagi anak-anak perempuan di seluruh dunia.[21] Slogan Saleema[21]Saya Saleema Ikon kelangsungan hidup anak Karena saya kuat dalam keputusan saya Karena aku tidak takut perubahan Karena apa yang kita pelajari sekarang lebih dari apa yang kita ketahui sebelumnya Karena seluruh masyarakat kita akan berubah menjadi lebih baik Referensi
|