Pembajakan amigdala adalah istilah yang diciptakan oleh Daniel Goleman dalam buku yang diterbitkannya pada tahun 1996, Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ yang berdasar pada karya Joseph E. LeDoux.[1] Goleman menggunakan istilah tersebut untuk mendeskripsikan respons emosional orang-orang yang bereaksi secara seketika dan di luar ukuran kewajaran terhadap stimulus yang sebenarnya, karena hal tersebut lebih jauh, telah memicu ancaman emosional secara signifikan.[2]
Definisi
Sebagian dari stimulus talamus langsung dikirim ke amigdala, sementara stimulus lainnya dikirim ke neokorteks atau "bagian otak berpikir". Bila amigdala merasakan adanya stimulus yang cocok, misalnya, pengalaman yang terekam di dalam hipokampus memberitahu amigdala bahwa stimulus tersebut merupakan situasi yang memerlukan reaksi fisiologis pertahanan diri dari ancaman bahaya, maka amigdala memicu HPA (hypothalmic-hipofisis-adrenal) aksis dan membajak otak rasional. Aktivitas emosional otak ini memproses informasi beberapa milidetik lebih awal dibandingkan otak rasional, sehingga dalam kasus dimana terdapat kecocokan, amigdala bertindak sebelum mendapat arahan apapun dari neokorteks. Namun apabila amigdala tidak menemukan kecocokan di antara stimulus yang diterima dengan rekaman mengenai situasi yang mengancam, maka tindakan yang berlaku ialah yang berdasar pada arahan dari neokorteks. Saat amigdala merasakan ancaman, seseorang dapat melakukan hal yang tidak masuk akal/irasional serta dapat pula melakukan perusakan.[3]
Goleman menyatakan bahwa emosi membuat manusia mencurahkan semua perhatiannya sebab hal tersebut bersifat mendesak, kemudian memberikan rencana tindakan yang akan dilakukan dengan seketika tanpa berpikir dua kali. Komponen emosi yang muncul paling awal yakni apakah hal tersebut memangsa dirinya atau sebaliknya, dirinya yang menjadi pemangsa hal tersebut. Respon emosional yang muncul dapat mengambil alih seluruh kerja otak dalam ukuran milidetik bila seseorang merasa terancam.[4][5] Pembajakan amigdala menunjukkan tiga tanda: reaksi emosional yang kuat, muncul secara tiba-tiba, dan realisasi setelah berlakunya suatu tindakan, bila tindakan yang diambil tersebut dirasa tidak pantas.
Goleman kemudian menekankan bahwa pengendalian diri merupakan hal yang sangat penting... saat menghadapi seseorang yang berada dalam pergolakan pembajakan amigdala,[6] untuk menghindari pelengkap dari tindakan yang timbul akibat pembajakan amigdala, baik dalam situasi kerja, maupun dalam kehidupan pribadi. Sehingga, sebagai contoh, salah satu kompetensi kunci dalam pernikahan ialah untuk setiap pasangan belajar menenangkan diri sendiri dari perasaan tertekan... tidak ada hal yang akan terselesaikan secara positif bila suami atau istri berada di tengah-tengah pembajakan emosi.[7] Bahaya yang paling besar yang dapat terjadi ialah ketika pasangan menjadi musuh, ketika seseorang berada dalam cengkeraman pembajakan amigdala, yaitu pada saat memori emosional yang bersarang di limbik pusat otak, memerintah reaksi dan tindakan yang diambil tanpa menggunakan logika atau alasan yang rasional... sehingga menyebabkan tubuh merespon dengan cara memerangi atau melarikan diri (fight or flight response).[8]
Pembajakan yang positif
Goleman mengemukakan bahwa tidak semua pembajakan limbik menyusahkan. Ketika sebuah lelucon sangat mengena pada diri seseorang hingga membuat tawa mereka hampir meledak, hal itu juga merupakan respon limbik. Dengan demikian, pembajakan emosi berlangsung pula dalam momen sukacita yang intens.[9]
Ia juga mengutip kasus seorang pria yang sedang berjalan di sebuah kanal/terusan ketika ia melihat seorang wanita yang menatap membatu ke arah permukaan air. Sebelum pria itu mengetahui mengapa wanita tersebut seperti itu, pria tersebut telah melompat ke dalam air-dengan jas dan dasinya. Saat pria tersebut sudah berada di dalam air baru kemudian ia menyadari bahwa wanita itu menatap terkejut pada anak balita yang jatuh ke dalam air, yang mampu ditolongnya.[10]
Pembelajaran kembali
LeDoux mempunyai pandangan positif tentang kemungkinan belajar untuk mengontrol faktor pemicu amigdala dalam ledakan emosi. Sekali sistem emosional mempelajari sesuatu, pelajaran tersebut tidak akan pernah hilang. Apa yang terjadi pada saat melakukan terapi ialah terapi tersebut mengajarkan bagaimana mengendalikan sistem emosional—mengajarkan neokorteks cara menghambat amigdala. Kecenderungan untuk segera bertindak itu ditekan, sementara emosi dasar tetap dalam keadaan tenang.[11]