Pelarian Cowra
Pelarian tawanan di kamp Cowra terjadi pada tanggal 5 Agustus 1944, ketika setidaknya 1.104 tawanan perang Jepang berusaha melarikan diri dari tahanan kamp perang di dekat Cowra, New South Wales, Australia. Peristiwa itu adalah pelarian tawanan terbesar dalam Perang Dunia II, dan juga yang paling berdarah. Selama pelarian dan perburuan, empat tentara Australia dan 231 tawanan tentara Jepang terbunuh. Tawanan yang tersisa ditangkap kembali dan dipenjara. Kondisi Kamp TawananCowra, sebuah distrik pertanian, terletak 314 km di sebelah barat Sydney, adalah kota terdekat dengan Kamp tawanan Perang nomor 12, sebuah kamp tawanan utama, dimana 4.000 personil militer dan tentara Axis ditahan. Tahanan di Cowra juga mencakup 2.000 orang Italia, warga Korea yang pernah bertugas di militer Jepang, dan warga sipil Indonesia yang ditahan atas permintaan pemerintah Hindia Belanda. Pada bulan Agustus 1944, ada 2.223 tahanan perangJepang di Australia, termasuk 544 awak kapal dagang. Ada juga 14.720 tahanan Italia, yang sebagian besar ditangkap dalam pertempuran di Afrika Utara, 1.585 orang Jerman, yang kebanyakan dari angkatan laut atau awak kapal dagang. Meskipun para tawanan perang diperlakukan sesuai dengan Konvensi Jenewa 1929 (mereka bisa berekreasi/olahraga di kamp dan dapat menolak bekerja jika enggan) hubungan antara tawanan perang Jepang dan para penjaga buruk dikarenakan perbedaan budaya yang signifikan. Kerusuhan yang dilakukan oleh tahanan perangJepang di Featherston sebuah kamp perang di Selandia Baru, pada bulan Februari 1943, menyebabkan keamanan diperketat di Cowra. Akhirnya, pihak berwenang kamp memasang beberapa senapan mesin Vickers dan Lewis untuk menambah kekuatan senjata senapan yang dibawa oleh anggota Batalyon Garnisun ke-23 Australia, yang sebagian besar terdiri dari veteran tua atau cacat dan pemuda yang dianggap tidak layak secara fisik untuk bertugas di garis depan. Diantara para tahanan Jepang sendiri terdiri dari dua kubu yang berseberangan, yakni kubu moderat yang sebagian besar merupakan para prajurit Angkatan Darat dan kubu garis keras yang dipimpin pada perwira Angkatan Laut. Hal ini cukup ironis, karena secara “tradisional” sikap garis keras militer Jepang biasanya dari kubu Angkatan Darat, contoh yang paling baik adalah saat pecahnya peran dimana pihak Angkatan Laut cenderung menentang perang melawan Amerika. Namun dengan berjalannya perang, kondisi berbalik. Para prajurit tawanan dari Angkatan Darat telah menghadapi kerasnya perang yang berdarah di sudut-sudut pasifik menjadi lebih realistis dalam memandang jalannya perang serta bagaimana sikap lawan mereka orang Amerika dan Australia. Pengalaman serupa tidak dijumpai oleh rekan-rekan tawanan mereka yang berasal dari Angkatan Laut, mereka masih menjunjung tinggi jiwa bushido dan kehormatan prajurit Jepang. Dengan karakter orang Jepang yang mudah merasa malu jika dianggap pengecut, jelas sikap para perwira Angkatan Laut-lah yang “menang” di kamp Cowra. PelarianPada minggu pertama bulan Agustus 1944, sebuah berita dari seorang informan di Cowra menyampaikan bahwa pihak berwenang merencanakan untuk memindahkan semua tahanan perangJepang di Cowra, kecuali perwira dan bintara, ke kamp lain di Hay, New South Wales, sekitar 400 km ke barat. Orang Jepang diberi tahu bahwa rencana tersebut akan dijalankan pada tanggal 4 Agustus. Sejarawan Gavin Long, mencatat peristiwa malam itu:
Peniup terompet, Hajime Toyoshima, adalah tawanan perang Jepang pertama di situ. Segera setelahnya, para narapidana mulai membakar sebagian besar bangunan di kompleks tersebut.[2] Dalam beberapa menit setelah permulaan usaha pelarian, Privates Ben Hardy dan Ralph Jones mulai menembakkan mesin Vickers no.2 ke arqh gelombang pertama pelarian. Mereka segera kewalahan menghadapi serbuan gelombang tawanan Jepang yang telah melewati garis pagar kawat berduri. Sebelum meninggal, Hardy Swasta mampu melepaskan dan membuang bolt senapan mesin, sehingga membuat senapan itu menjadi tidak berfungsi. Hal Ini mencegah para tawanan menggunakan senapan mesin untuk melawan para penjaga. Sekitar 359 tahanan perangmelarikan diri, sementara beberapa lainnya mencoba untuk melakukan bunuh diri, atau dibunuh oleh rekan-rekannya sendiri, selain tentu saja oleh para penjaga. Beberapa dari mereka yang berhasil melarikan diri juga melakukan bunuh diri untuk menghindari penangkapan kembali. Semua korban selamat ditangkap kembali dalam waktu 10 hari setelah pelarian mereka.[3] Akhir peristiwaSelama pelarian dan peristiwa yang dilakukan kemudian, empat tentara Australia dan 231 tentara Jepang terbunuh dan 108 tahanan luka-luka. Pemimpin pelarian tersebut memerintahkan para pelarian untuk tidak menyerang warga sipil Australia, dan hasilnya tidak ada satupun warga sipil yang terbunuh atau terluka. Pemerintah melakukan penyelidikan resmi atas kejadian tersebut. Kesimpulannya dibacakan ke Dewan Perwakilan Australia oleh Curtin pada tanggal 8 September 1944. Diantara temuan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Kondisi di kamp sesuai dengan Konvensi Jenewa. 2. Tidak ada keluhan terkait perlakuan yang dilakukan oleh atau atas nama orang Jepang sebelum kejadian tersebut, yang tampaknya pelarian merupakan hasil yang telah direncanakan. 3. Tindakan garnisun Australia dalam melawan serangan tersebut mencegah hilangnya nyawa yang lebih besar, dan penembakan dihentikan begitu mereka kembali menguasai kamp. 4. Banyak dari korban tewas telah bunuh diri atau dibunuh oleh tahanan lainnya, dan banyak orang Jepang yang terluka menderita luka yang ditimbulkan oleh diri mereka sendiri.[butuh rujukan] Private Hardy dan Jones secara anumerta dianugerahi medali George Cross sebagai hasil tindakan mereka. Australia terus mengoperasikan kamp No. 12 sampai tahanan Jepang dan Italia terakhir dipulangkan pada tahun 1947. Cowra menjadi salah satu tempat pemakaman perang Jepang terbesar. Selain itu, sebuah taman Jepang kemudian dibangun di Bellevue Hill untuk mengenang kejadian ini. Taman ini dirancang oleh Ken Nakajima dengan gaya Zaman Edo.[4] Buku dan Film
Lihat pulaReferensi
Pranala luar
|