Massureq adalah kegiatan membacakan lontara dengan cara melagu dan tidak menggunakan musik. Orang yang membacakan lontara dengan cara melagu disebut Passureq. Massureq adalah salah satu mahakarya yang sangat vital dalam penyebaran ajaran-ajaran orang Bugis dulu yang tercatat dalam naskah lontara. Mulanya pertunjukan tradisi lisan massureq dijadikan sebagai sarana hiburan bagi masayarakat daerah Wajo. Pelaksanaan kegiatan massureq sebenarnya tidak memerlukan usaha yang besar, karena untuk membacanya hanya memerlukan sureq itu sendiri, penyangga untuk alat bantu membaca, serta pakaian tradisional untuk mendukung nuansa tradisionalnya. manakala ada acara massureq, orang beramai-ramai mengunjungi karena tertarik mendengar lagoq (nada, irama). dalam kondisi seperti itu tradisi massureq berperan sebagai sarana jumpa sehingga momentum itu dapat memberikan informasi pembangunan, agama, dan nasihat-nasihat. Bagi pemuda dan pemudi mempunyai kesempatan untuk memperluas pergaulan. Lebih dari itu dapat pula digunakannya sebagai langkah awal memilih pasangan hidup.[1]
Massureq adalah satu dari tiga komponen inti yang sering digunakan dalam berbagai upacara suci dan sakral.
- Massureq bisa dijumpai saat, Mappano bine (upacara menidurkan benih padi)
- Maccera' tasi' (persembahan untuk laut)
- Menre bola (naik rumah baru)
- Mattemu taung (menziarahi kuburan leluhur), dan masih banyak lainnya.Upacara-upacara suci dan sakral tersebut selalau dilaksanakan oleh tiga komponen yang saling melengkapi, yakni: Bissu, atau pendeta Bugis yang memiliki tugas memimpin upacara ritual, Sanro yang bertugas menyiapkan seluruh perlengkapan upacara serta Passureq, penembang lontara Bugis.
Berdasarkan literatur The Heroic Fall of Bone (1990), saat membacakan atau Massureq Lontara La Galigo, selalu akan diadakan sebuah ritual dan persembahan sakral, berupa: dupa serta pemotongan ayam atau kambing. Pada tahun 1951-1965 saat gerakan tentara Islam Indonesia atau DI/TII berkecamuk di Sulawesi Selatan, praktik-praktik kebudayaan yang dianggap tidak sesuai dengan syariat Islam saat itu dibumi hanguskan. Peran para komponen penjaga Sureq La Galigo seperti Bissu, Sanro, dan Passureq pun perlahan memudar karena dianggap menyimpang dari ajaran Islam.
Referensi
- ^ Ratnawati, Lien (2018). Penetapan Warisan Budaya Tak Benda Indonesia tahun 2018. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 309.
Daftar pustaka