Orang Lebanon di Pantai Gading


Orang Lebanon di Pantai Gading
Daerah dengan populasi signifikan
Abidjan
Agama
Islam (terutama Syi'ah), Kristen[1]

Orang Lebanon di Pantai Gading diperkirakan mencapai puluhan sampai ratusan ribu.[2] Mereka adalah diaspora Lebanon terbesar di Afrika Barat.[3]

Sejarah migrasi

Terjadi dua gelombang besar migrasi dari Lebanon ke Pantai Gading yang membentuk dua komunitas terpisah yaitu kelompok durables (turun temurun) dan nouveaux (pendatang baru).[4] Meskipun migrasi Lebanon ke negara-negara lain di Afrika Barat telah dimulai pada awal tahun 1890-an, komunitas Lebanon baru mulai terbentuk di Pantai Gading pada tahun 1920-an. Hal ini diakibatkan ekonomi kolonial di Pantai Gading tidak berkembang sampai setelah Perang Dunia I.[5]

Perjalanan para imigran tersebut ke Pantai Gading memakan waktu beberapa minggu dimulai dengan menggunakan keledai dari rumah mereka di desa-desa di Lebanon selatan ke Beirut. Dari Beirut mereka naik kapal ke Marseille, untuk kemudian menunggu kapal ke Afrika Barat.[6] Beberapa dari mereka pada awalnya bermaksud ke Amerika Serikat, tetapi ketika tiba di Marseille mereka tidak bisa membayar biaya untuk perjalanan ke Amerika Serikat sehingga memilih biaya yang lebih murah yaitu ke Afrika Barat. Ada pula yang tertipu dengan menaiki kapal dengan tujuan yang salah.[7] Beberapa imigran awalnya tidak datang langsung dari Lebanon, tapi berasal dari orang-orang Lebanon di Senegal. Komunitas ini kemudian tumbuh dengan cepat dibandingkan dengan negara-negara Afrika Barat.

Dimulai pada pertengahan tahun 1970-an, gelombang baru imigran Lebanon mulai berdatangan ke Pantai Gading. Mereka melarikan diri dari Perang Sipil Lebanon. Kehadiran mereka di Pantai Gading memicu kekhawatiran pemerintah akan adanya kekerasan sektarian. Namun kekhawatiran tersebut tidak terjadi. Pada akhir tahun 1980-an, dilaporkan sekitar 60,000 - 120,000 orang Lebanon dan Suriah tinggal di Pantai Gading, meskipun beberapa pengamat memperkirakan sekirat 300,000 orang. Para imigran ini sebagian besar datang dari kota Zrarieh di Lebanon selatan.[8] Dengan kemajuan transportasi dan komunikasi saat ini, bentuk transnasionalisme telah muncul di kalangan imigran. Mereka berpergian antara Lebanon dan Côte d'ivoire, dan ucapan perpisahan serta pesta-pesta penyambutan dan perpisahan telah menjadi "peristiwa ritual yang signifikan".[9]

Perdagangan dan Ketenagakerjaan

Orang Libanon awalnya hanya berdagang barang-barang murah, tapi selama periode Drepesi Besar, mereka memperluas skala usaha mereka dan mulai mengganti posisi pengusaha-pengusaha independen asal Eropa. Warga pribumi merespon hal ini cara melakukan kampanye pembatasan imigran Lebanon (dan juga Suriah) namun upaya tersebut tidak berhasil .

Orang-orang Lebanon juga berinvestasi dalam bidang real estate di perkotaan yang diantaranya pengembangan hotel dan restoran. Mereka juga telah terlibat dalam olahraga sepak bola, mendirikan sekolah-sekolah sepak bola untuk pemuda dan membantu mereka untuk menjalin kontak dengan klub-klub Eropa.[10] Imigran dari desa yang berbeda di Lebanon mendominasi perdagangan yang berbeda; misalnya, orang-orang dari Zrarieh yang terlibat dalam bisnis plastik, sedangkan yang dari Qana bekerja dengan tekstil..[11]

Orang Lebanon Pantai Gading mengklaim bahwa mereka menguasai 40% perekonomian Pantai Gading.[12]

Isu-isu Gender

Komunitas Lebanon sebagian besar adalah komunitas endogami. Para pemuda umumnya lebih mengharapkan untuk menikah dengan wanita sesama komunitas atau kembali ke kampung asal mereka di Lebanon dan menikah dengan wanita di sana sebelum akhirnya kembali ke Pantai Gading.[13] Namun tidak semua pemuda Lebanon di Pantai Gading seperti itu. Pada awal abad ke-20, umumnya pemuda imigran Lebanon miskin sehingga mereka tidak memiliki kemampuan untuk kembali ke Lebanon untuk menikah sehingga mereka lebih memilih untuk menikah wanita Afrika.[14]

Fashion para wanita di Lebanon telah jauh menyimpang dari norma yang dulunya berlaku pada masyarakat petani di Lebanon selatan. Mereka umumnya berpenampilan ala "muslim modern" dan "kebarat-baratan" sehingga terkesan berusaha untuk membedakan diri dari apa yang disebut "petani" yang menunjukkan bahwa pemakainya terlibat dalam kerja manual.[15]

Hubungan antaretnis

Diaspora Lebanon terbagi menjadimenjadi dua komunitas yang berbeda yaitu kelompok durables (turun temurun) yang telah berada di negara itu selama dua atau tiga generasi, dan nouveaux (pendatang baru), atau "orang kaya baru" yang telah tiba di negara itu dalam dua dekade terakhir dan memiliki sedikit atau tidak memiliki hubungan dengan kelompok durables. Karena perbedaan tersebut dan juga karena status mereka sebagai minoritas, imigran Lebanon telah secara politis dan sosial yang terpinggirkan. Mereka tetap rentan terhadap tekanan politik dan manipulasi sehingga sulit untuk melakukan proses asimilasi dengan masyarakat Pantai Gading. Hasil penelitian ini memberikan informasi faktual yang penting perihal kehidupan kaum minoritas di Afrika Barat. Lebih jauh lagi, hasil penelitian ini memberikan informasi perihal kemampuan para pemimpin politik di Afrika untuk memanipulasi dan mengendalikan kelompok wirausaha dengan berbagai konsekuensinya. Kesimpulan ini memberikan gambaran perihal kesulitan proses asimilasi dalam konteks sosial kehidupan Afrika modern dan menunjukkan bahwa asimilasi adalah suatu proses yang timbal balik.

Félix Houphouët-Boigny, Presiden Pantai Gading yang di awal kepemimpinannya adalah pembela setia komunitas Libanon karena kontribusi mereka untuk ekonomi Pantai Gading. Komunitas Libanon pada gilirannya berusaha untuk meyakinkan pemimpin Pantai Gading atas loyalitas dan komitmen mereka terhadap tujuan nasional dengan deklarasi publik dan kegiatan amal dalam mendukung acara budaya dan olahraga.

Komunitas Lebanon menjadi target penjarahan selama krisis Pantai Gading tahun 2010-2011.[16] Setelah duta besar Lebanon untuk Pantai Gading, Ali Ajami, menghadiri upacara pelantikan dan pengambilan sumpah presiden Laurent Gbagbo (salah satu dari hanya dua diplomat yang menghadirinya), meskipun terdapat dukungan dari rivalnya, Alassane Ouattara.[17] Masyarakat Pantai Gading menilai banyak dari Komunitas Lebanon yang mendukung Gbagbo.[18]

Lihat Juga

Catatan kaki

  1. ^ Handloff 1988
  2. ^ "Abidjan district tense after Lebanese kills youth", All West Africa News/Agence France-Presse, 2009-07-14, diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-12-03, diakses tanggal 2010-01-11 
  3. ^ Peleikis 2000, hlm. 301
  4. ^ Bierwirth 1998, hlm. 79
  5. ^ Bierwirth 1997, hlm. 325
  6. ^ Peleikis 2000, hlm. 307
  7. ^ Peleikis 2000, hlm. 300
  8. ^ Peleikis 2000, hlm. 297
  9. ^ Peleikis 2000, hlm. 304
  10. ^ McDougall, Dan (2007-06-10), "Inside the football factories that feed the beautiful game", The Guardian, diakses tanggal 2010-01-11 
  11. ^ Peleikis 2000, hlm. 305
  12. ^ Daniel Knowles (16 April 2016). "Diasporas: Settled strangers: Why some diasporas are so successful". The Economist. Diakses tanggal 16 April 2016. 
  13. ^ Peleikis 2000, hlm. 302
  14. ^ Peleikis 2000b, hlm. 65
  15. ^ Peleikis 2000b, hlm. 69
  16. ^ Pauline Bax; David Smith (3 April 2011). "Ivory Coast descends into chaos as ethnic violence leaves 800 dead". theguardian. Diakses tanggal 16 April 2016. 
  17. ^ Van Meguerditchian (3 April 2011). "Lebanese abandoned in Ivory Coast". Al Bawaba. Diakses tanggal 16 April 2016. 
  18. ^ "Ivory Coast Forces Fire on Protesters". REUTERS. The New York Times Company. 19 Feb 2011. Diakses tanggal 16 April 2016. 

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Trying to get property of non-object

Filename: wikipedia/wikipediareadmore.php

Line Number: 5

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Trying to get property of non-object

Filename: wikipedia/wikipediareadmore.php

Line Number: 70

 

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Undefined index: HTTP_REFERER

Filename: controllers/ensiklopedia.php

Line Number: 41