Opera BatakOpera Batak adalah suguhan pertunjukan beragam dari mulai teater, musik, tari, nyanyi dan terkadang juga dihadirkan pencak silat sebagai pertunjukan variatif yang sudah muncul sejak tahun 1920-an, didirikan oleh Tilhang Oberlin Gultom. [1][2] Pada tahun 1928, Gultom mengubah nama Tilhang Parhasapi menjadi Tilhang opera Batak dengan maksud menarik perhatian masyarakat sekaligus sebagai identitas bagi kesenian masyarakat Batak. Kedatangan misionaris-misionaris Jerman dan Belanda yang memperkenalkan agama Kristen dalam kehidupan warga Batak, memberikan pengaruh terhadap kesenian Tilhang Opera Batak. Pengaruh tersebut menimbulkan nama baru yang setelah itu diketahui dengan nama Opera Batak.[1] Opera Batak tidak hanya berfungsi sebagai media hiburan di masyarakat, tetapi berperan sebagai kritik sosial atas berbagai persoalan yang terjadi di sekitarnya. Pada masa penjajahan, opera ini dijadikan alat perlawanan terhadap kolonialisme karena sifatnya yang tidak berjarak dengan lingkungan tempatnya berada. Cerita-cerita yang diangkat di opera ini merupakan realitas sosial yang sedang terjadi di masyarakat. Salah satu teks perjuangan operas ini adalah “Pulo Batu” yang mengisahkan perlawanan Si Singamangaraja XII. Naskah ini sering dipentaskan terutama di masyarakat yang menjadi basis perjuangan Si Singamangaraja XII. Cerita lainnya dalam opera ini adalah kisah Si Boru Tumbaga. Cerita ini mengangkat pahitnya nasib kaum perempuan terutama dalam pembagian harta warisan. Tidak seperti pertunjukan teater modern, teks-teks yang dipentaskan dalam opera Batak tidak tercatat detail, para pemain diberikan satu cerita berikut endingnya dan dibebaskan berimprovisasi lewat dialog dan karakter. Hal ini yang membuat pertunjukan opera Batak begitu cair bagi penontonnya.[3] Perkembangan Opera BatakPengembangan Opera Batak dilakukan dengan pembentukan Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) pada tahun 2005 di Pematang Siantar, Sumatera Utara.[4] Sekelompok anak muda yang tergabung dalam Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) berusaha membangkitkan seni budaya ini, bergandengan tangan dengan Lena Simanjuntak-Mertes, penulis naskah dan sutradara yang juga seorang aktifis perempuan dan lingkungan, PLOt mengusung kisah "Perempuan di Pinggir Danau". [2] Pertunjukan ini mengisahkan seorang perempuan yang memperjuangkan dan mempertahankan pendapatnya untuk menjaga dan melestarikan alam yang kelak menjadi tempat hidup keturunannya.[5] Ibu bumi resah akan semakin tercemarnya air di Danau Toba, danau kebanggaan dan sumber kehidupan di tanah Batak. Panggung opera ini berlatar kain merah, putih dan hitam, warna khas suku Batak. Beberapa tandok, anyaman pandan tempat membawa beras yang biasanya dibawa di kepala wanita Batak jadi hiasan panggung, di sudut kanan satu set alat musik godang yang terdiri dari empat instrumen dimainkan para musisi.[2] Referensi
Daftar pustaka
|