Omo Hada Laraga adalah salah satu jenis rumah adat Nias. Rumah ini berasal dari daerah Nias Utara dan memiliki ciri berbentuk oval. Rumah ini didirikan dari kayu dengan atap daun rumbia. Suasana rumah sejuk dengan ventilasi yang memadai.[1] Pembedanya dari jenis rumah adat Nias lainnya yaitu bentuknya yang oval dengan atap rumbia yang curam dan tinggi. Bagian dinding terbuka di bagian atas, namun diapit horizontal dengan kutub kayu. Ini memungkinkan aliran udara yang baik serta perlindungan bagi penghuninya. Di dalam rumah juga terdapat berbagai ukiran. Sudut yang ereng memberikan posisi yang menguntungkan bagi penghuni rumah saat terjadi serangan dari luar. Sebuah tangga kayu mengarah ke serambi kecil yang tertutup yang berfungsi sebagai pintu masuk rumah.[2]
Susunan Rumah dan Arsitektur
Desa-desa tradisional di Nias utara terdiri dari 6 hingga 12 rumah berbentuk oval yang menghadap jalan dan berjauhan satu sama lain, juga dalam bentuk oval. Di masa lalu, permukiman dibentengi dengan pagar bambu atau dengan dinding alami ditumbuhi pohon. Di depan rumah-rumah, biasanya ditempatkan megalit. Rumah-rumah dimasuki dari alun-alun desa, melalui pintu di bawah rumah. Tangga telah menggantikan pintu masuk atau teras depan ini karena bagian semacam ini tidak diperlukan lagi sebagai benteng. Sebagian besar rumah masih ditutupi dengan daun kelapa meskipun penggunaan seng semakin populer.[3]
Jendela atap rumah memungkinkan cahaya matahari masuk ke interior bangunan dan mendorong sirkulasi udara. Bukaan semacam ini khas pulau Nias dan tidak dapat ditemukan di tempat lain. Interior rumah Nias utara ternyata juga terang. Selain jendela di atap, bukaan besar dengan kisi-kisi menyediakan sumber utama pencahayaan siang hari dan ventilasi. Kisi-kisi dan ruang atap yang luas melancarkan sirkulasi udara dan memberi suasana sejuk dalam rumah. Lantai ruang tamu dibagi menjadi ruang pertemuan, "Talu salo" dan sejumlah kamar tidur. Dapur dan ruang sanitasi terletak di belakang rumah. Rumah juga banyak ruang kosongnya karena barang-barang penghuninya disimpan di peti. Bagian terpenting dari furnitur adalah papan panjang di bawah kisi-kisi, yang digunakan sebagai bangku. Dari sana, penghuni rumah menghadap ke alun-alun desa dan dengan mudah bersapaan dengan orang-orang di jalan dan di rumah-rumah lain.[3]
Meski keseluruhan bangunan berlantai oval, rumah ditinggikan dengan struktur ortogonal dari beberapa baris pilar dan banyak tiang diagonal. Untuk memaksimalkan elastisitas konstruksi, pilar tidak diletakkan di tanah tetapi bersandar di atas fondasi batu. Peletakkan ini adalah upaya melindungi kayu yang umum untuk menghindari kontak langsung dengan tanah untuk membuat konstruksi lebih tahan lama.[3]
Proses Pembangunan
Rumah adat Laraga didirikan atas dasar kesatuan seluruh warga kampung dalam menyatukan pendapat bersama secara kekeluargaan untuk membangun sebuah rumah. Untuk membicarakan hal tersebut, dibuatlah satu musyawarah besar yang dinamakan dengan istilah “Famagölö “. Tujuannya adalah untuk membicarakan tentang pembangunan sebuah rumah. Musyawarah itu dihadiri oleh para penatua adat ( Satua Mbanua) dan juga warga kampung dan tak terkecuali juga para tukang turut hadir bersama-sama dalam musyawarah dimaksud. Adapun tujuan diadakannya musyawarah tersebut adalah untuk membicarakan besarnya upah yang harus dibayarkan kepada para tukang untuk menyelesaikan bangunan tersebut. Besarnya upah yang harus dibayarkan kepada mereka disesuaikan dengan besarnya ukuran rumah yang harus di bangun. Untuk mengukurnya, digunakan alat ukur yang dinamakan “Balika “ . Ukuran balika sendiri diperkirakan 1 meter 20 cm atau sepanjang helai atap dari daun rumbia.[4]
Semua beban jadi tanggungan bersama. Orang yang membangun rumah tidak lagi memikirkan pengadaan bahan bangunannya melainkan ditanggung bersama oleh warga kampung. Pada saat peresmian, mereka melakukan atraksi molaya di ruang tamu yang bertujuan untuk menguji ketahanan dari rumah adat yang baru dibangun tersebut. Bentuk dari atraksi tersebut adalah dengan menari yang gerakannya dilakukan dengan melompat-lompat. Setelah pesta siap dan rumah adat pun siap, semua rahang babi yang telah disembelih sejak awal pendirian rumah adat dipajang di dinding sebagai lambang kejayaan dan kenang-kenangan untuk yang empunya rumah.[4]
Ukiran-ukiran
Motif hias yang digunakan cukup beragam bentuknya seperti burung, monyet, buah-buahan, dan sebagainya. Saita (sangkutan pakaian) dipasang senyawa dengan dinding rumah bagian dalam di rumah si'ulu atau salawa (raja). Saita juga banyak dipasang pada cholo-cholo atau tuwu (tiang penyangga di dalam rumah). Kreativitas seni dan lingkungan di Nias itu masuk dalam aspek sora-sora, yakni ragam hias dalam bahasa Nias. Ragam hias tradisonal Nias umumnya berbentuk manusia/raksasa, hewan, tumbuhan, dan garis-garis geometris. Bentuk-bentuk ini memiliki maksud dan makna tertentu dan merupakan lambang yang telah disepakati dan dipercayai, sehingga tidak mengherankan walaupun di Nias dapat dikenali beberapa jenis rumah adat yang merupakan wadah visualisasi ragam hias itu namun pada kenyataannya tidak ada perbedaan bentuk yang mencolok.[4]