Ngasek Pare atau Ngaseuk Pare atau cukup Ngasek adalah salah satu upacara ritual tahunan yang dilakukan oleh kalangan masyarakat Kanekes atau Suku Baduy, utamanya di wilayah Banten. Ritual yang dilakukan adalah menanam padi yang dilakukan secara bersama-sama oleh masyarakat. Ngasek Pare yang merupakan warisan nenek moyang Suku Baduy ini bertujuan menjaga kerukunan dengan tokoh adat dan sesama masyarakat dari Kanekes atau Suku Baduy. Dalam pelaksanannya, Ngasek Pare dilaksanakan oleh hampir seluruh warga masyarakat dari berbagai kalangan dan juga melibatkan suku Baduy lainnya yang masih berada dalam satu wilayah.[1]
Kegiatan
Kehidupan suku Baduy masih sangat tradisional, ini terlihat dengan masih bergantungnya mereka pada alam dan senantiasa menjaga keseimbangan alam. Mayoritas penduduk hidup dari hasil pertanian yang mereka tanam dan olah sendiri. Hal ini telah turun-temurun dilakukan oleh nenek moyang dari Suku Baduy hingga generasi yang ada sekarang dan masih bertahan. Salah satu tradisi yang masih bertahan adalah kegiatan Ngasek Pare ini. Meskipun dilaksanakan sekali dalam setahun, Ngasek Pare juga merupakan salah satu tradisi yang sangat melekat pada adat masyarakat sekitar terutama masyarakat Kanekes yang terletak di Kabupaten Lebak, Banten.
Sama seperti masyarakat Indonesia pada umumnya, beras menjadi makanan pokok utama bagi masyarakat suku Baduy. Beras yang mereka peroleh merupakan hasil dari padi yang mereka tanam sendiri, serupa dengan beberapa hasil pertanian lain. Hal yang membedakan masyarakat suku Baduy dengan masyarakat lainnya dalam hal menanam padi adalah mereka menanam padi bukan di lahan pribadi atau lahan yang mereka garap sendiri, tetapi mereka menanam padi di daerah tegalan atau lahan kering yang hanya bisa ditumbuhi beberapa jenis tanaman sesuai dengan musimnya. Tidak hanya itu, mereka mencari lahan yang berada di daerah perbukitan dan memiliki kemiringan yang signifikan dari 30 hingga 45 derajat. Maka dari itu Ngasak Pare menjadi salah satu kegiatan yang bisa dibilang cukup memberikan kesan bahwa selain melibatkan hampir seluruh masyarakat, medan yang digunakan untuk melaksanakan acara ini juga bukanlah merupakan medan yang mudah yang menandakan bahwa butuh perjuangan bagi mereka untuk bisa memperoleh hasil alam yang berguna bagi mereka semua.
Dalam pelaksanaannya, Ngasek Pare melibatkan hampir seluruh masyarakat. Tidak hanya masyarakat dalam satu kampung saja, beberapa masyarakat dari luar yang juga masih termasuk dalam suku Baduy, seperti suku Baduy dalam juga ikut ambil bagian dalam kegiatan ini. Baik tua muda, laki-laki perempuan semua mendapatkan porsi yang sesuai ketika ritual ini dilaksanakan. Sebelum ritual utama dilakukan, sehari sebelumnya masyarakat sudah mulai bergotong royong untuk kelancaran acara. Kaum perempuan memasak di dapur sementara yang laki-laki menyiapkan sarana pendukung kegiatan, termasuk membantu perempuan dalam mengolah makanan seperti misalnya memanggang ayam. Makanan yang diolah ini akan dimakan bersama pada malam hari setelah upacara adat malam berakhir. Upacara ini berupa kegiatan sembahyang pada leluhur dan menyanyikan lagu-lagu sakral sambil memainkan alat musik seperti angklung pada malam hari.[2]
Setelah itu esok harinya pada saat hari-H, masyarakat juga melakukan makan bersama sebelum kegiatan utama Ngasek Pare dilakukan. Setelah makan bersama inilah prosesi kegiatan Ngasek Pare mulai dilaksanakan. Ngasek Pare diawali dengan arak-arakan masyarakat dengan memainkan angklung dan membawa benih padi atau gabah dari Baduy luar menuju huma atau ladang. Kemudian jaro atau tokoh adat (biasanya kepala desa) memimpin ritual dengan diiringi musik dari angklung. Kemudian kaum laki-laki suku Baduy melakukan ngasek, yaitu membuat lubang di tanah menggunakan batang kayu, yang dilanjutkan oleh kaum perempuan dengan memasukkan bibit padi atau gabah ke dalam lubang yang sudah jadi tersebut. Semuanya dilakukan dengan khidmat dan penuh harapan, agar kelak padi dapat tumbuh dengan baik dan menjadi hasi panen yang berlimpah. Ritual diakhiri dengan adu kuat layaknya perkelahian antara laki-laki Baduy yang kembali diiringi dengan musik angklung. Terakhir, masyarakat suku Baduy melakukan doa dan makan bersama kembali sebagai penutup dari kegiatan Ngasek Pare.[3][4]
Referensi