Artikel ini perlu diwikifikasi agar memenuhi standar kualitas Wikipedia. Anda dapat memberikan bantuan berupa penambahan pranala dalam, atau dengan merapikan tata letak dari artikel ini.
Untuk keterangan lebih lanjut, klik [tampil] di bagian kanan.
Tambahkan pranala wiki. Bila dirasa perlu, buatlah pautan ke artikel wiki lainnya dengan cara menambahkan "[[" dan "]]" pada kata yang bersangkutan (lihat WP:LINK untuk keterangan lebih lanjut). Mohon jangan memasang pranala pada kata yang sudah diketahui secara umum oleh para pembaca, seperti profesi, istilah geografi umum, dan perkakas sehari-hari.
Sunting bagian pembuka. Buat atau kembangkan bagian pembuka dari artikel ini.
Tradisi Nasu Palek adalah salah satu tradisi berkabung masyarakat suku Dani yang biasa dilakukan oleh kaum pria sebagai bentuk penghormatan dan tanda belasungkawa yang terdalam ketika salah satu anggota keluarga meninggal yakni dengan cara memotong sedikit daun telinga menggunakan bambu yang diiris tipis tanpa obat bius yang kemudian luka ditelinga dibungkus dengan tanaman obat-obatan lalu mengikuti mandi lumpur.[1] Tidak hanya kaum pria, kaum wanita dapat mengikuti tradisi Nasu Palek. Namun, jika pria dapat langsung memotong sedikit daun telinga, berbeda halnya dengan kaum wanita yang harus terlebih dahulu mengikuti tradisi Iki palek hingga jari tangan sudah habis dipotong lalu di lanjutkan dengan pemotongan sedikit daun telinga.[2]
Asal-Usul
Menurut anggota Suku Dani, salah satu cara untuk mengekspresikan rasa sedih ketika ada anggota keluarganya yang meninggal, Mereka rela memotong jari tangan, jari kaki atau mengiris daun telinga sebagai bentuk tanda cinta. Satu irisan telinga yang berkurang menunjukkan hormat mereka pada ayah, ibu, anak, maupun saudara yang berpulang. Walau menyakitkan, tradisi ini memiliki filosofi yang mendalam tentang keberadaan dan kehilangan kerabat. Sementara itu, luka dan kehilangan pada akhirnya akan pulih seiring waktu berlalu.
Tidak berbeda dengan Iki Palek, alasan lainnya dilakukan tradisi Nasu Palek berdasarkan pedoman dasar hidup bersama dalam satu keluarga, satu marga, satu honai (rumah), satu suku, satu leluhur, satu bahasa, satu sejarah/asal-muasal, dan sebagainya, yang dalam bahasa Papua "Wene opakima dapulik welaikarek mekehasik" mengenai pentinganya kebersamaan masyarakat tersebut. Terdapat juga asal-usul Mandi Lumpur yang memiliki arti bahwa setiap orang yang meninggal dunia telah kembali ke alam karena manusia berawal dari tanah dan berakhir kembali menjadi tanah.[3]