Misinformasi menyusui

Ibu sedang menyusui

Pentingnya menyusui setelah melahirkan merupakan praktik penting yang disarankan bagi ibu baru setelah melahirkan. Berdasarkan pedoman kesehatan, seorang ibu disarankan untuk menyusui anaknya secara eksklusif dengan ASI selama enam bulan pertama kehidupan bayi. ASI eksklusif, yang merupakan pemberian ASI tanpa tambahan nutrisi lain seperti susu formula, memberikan perlindungan terbaik terhadap bayi terhadap penyakit dan infeksi. Pentingnya pemberian kolostrum melalui ASI, secara terus menerus diberikan selama minimal empat bulan, sebagai langkah perlindungan yang efektif terhadap bayi.

Selain perlindungan terhadap penyakit, ASI eksklusif juga memiliki manfaat lainnya bagi perkembangan bayi. ASI dapat meningkatkan kecerdasan, keaktifan, dan perkembangan motorik bayi. Proses laktasi melibatkan refleks letdown yang dipicu oleh stimulus hisapan bayi, menghasilkan pelepasan oksitosin dari hipotalamus. Namun, kekurangan dukungan sosial dapat mengganggu proses pelepasan oksitosin selama laktasi, yang pada akhirnya dapat mengurangi produksi ASI dan menyebabkan masalah dalam pemberian ASI.[1]

Meskipun pentingnya menyusui berpengaruh besar terhadap kondisi tumbuh kembang bayi, tidak semua ibu dapat atau memilih untuk menyusui anak mereka hingga usia dua tahun. Beberapa faktor internal dan eksternal dapat mempengaruhi kemampuan atau keputusan seorang ibu untuk menyusui. Faktor internal meliputi motivasi, stres, persepsi, dan ketekunan, sementara faktor eksternal termasuk dukungan sosial dari keluarga dan masyarakat, serta promosi susu formula yang agresif. Dukungan suami pada ibu pasca persalinan cenderung terfokus pada aspek fasilitas, dengan sedikit perhatian terhadap dukungan emosional yang penting bagi kesejahteraan ibu dan bayi.

Oleh karenanya, penting untuk memahami bahwa praktik menyusui memiliki implikasi yang luas bagi kesehatan dan perkembangan bayi. Dukungan sosial, baik dari pasangan maupun lingkungan sosial, berperan penting dalam mendukung ibu dalam memberikan ASI secara eksklusif dan memperpanjang periode menyusui bayi. Melalui pemahaman yang mendalam tentang faktor-faktor yang mempengaruhi praktik menyusui, masyarakat dapat memberikan dukungan yang lebih efektif kepada ibu-ibu baru dalam memberikan ASI yang optimal bagi kesehatan bayi mereka. Misinformasi tentang menyusui dapat mengacaukan pengalaman menyusui seorang ibu dan memengaruhi kesehatan bayi. Misinformasi ini dapat muncul dari berbagai sumber, termasuk mitos yang tersebar luas di masyarakat, saran yang tidak akurat dari orang-orang terdekat, atau informasi yang salah dari sumber yang tidak dapat dipercaya.[1]

Misinformasi menyusui

Salah satu contoh misinformasi yang umum adalah mitos tentang produksi ASI yang rendah. Banyak ibu percaya bahwa mereka tidak memiliki cukup ASI untuk bayi mereka, padahal produksi ASI dipengaruhi oleh permintaan bayi dan biasanya berkembang seiring waktu. Mitos semacam ini dapat menyebabkan ibu merasa putus asa dan beralih ke penggunaan susu formula, padahal bayi sebenarnya mendapat cukup nutrisi dari ASI.[2]

Selain itu, banyak misinformasi tentang teknik menyusui yang benar juga dapat menyebabkan masalah, seperti posisi bayi yang tidak tepat atau kurangnya latching yang baik. Hal ini dapat menyebabkan rasa sakit pada ibu dan membuat bayi sulit untuk mendapatkan ASI yang cukup.

Misinformasi tentang manfaat menyusui juga dapat membuat ibu ragu untuk melanjutkan menyusui. Padahal, menyusui memiliki banyak manfaat kesehatan baik bagi bayi maupun ibu, termasuk meningkatkan sistem kekebalan bayi, membantu ibu pulih setelah melahirkan, dan mengurangi risiko penyakit kronis pada masa dewasa.

Dalam menghadapi misinformasi menyusui, penting bagi ibu untuk mencari sumber informasi yang dapat dipercaya, seperti konselor laktasi atau dokter yang berpengalaman dalam menyusui. Mendapatkan dukungan dan informasi yang akurat dapat membantu ibu merasa lebih percaya diri dalam pengalaman menyusui dan memastikan kesehatan optimal bagi bayi mereka.

Data dari UNICEF dan WHO

Tingkat pemberian ASI di Indonesia mengalami penurunan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Sehubungan dengan fenomena tersebut, organisasi seperti United Nations Children's Fund (UNICEF) dan World Health Organization (WHO) telah mengajukan seruan untuk meningkatkan upaya perlindungan, promosi, dan dukungan terhadap pemberian ASI, terutama untuk ibu yang bekerja.

Data tahun 2021 menunjukkan bahwa kurang dari separuh bayi di Indonesia (48,6 persen) diberikan ASI dalam satu jam pertama kehidupan, menurun dari angka sebesar 58,2 persen pada tahun 2018. Hanya 52,5 persen bayi yang menerima ASI secara eksklusif selama enam bulan pertama, mengalami penurunan yang signifikan dari angka sebelumnya sebesar 64,5 persen pada tahun 2018.[3]

Dalam rangka Pekan Menyusui Sedunia, yang diperingati setiap tanggal 1-7 Agustus, UNICEF dan WHO mengajukan seruan untuk memberikan dukungan yang lebih besar kepada ibu yang bekerja agar dapat terus memberikan ASI secara optimal kepada bayinya. Hampir 40 persen tenaga kerja di Indonesia adalah perempuan.

UNICEF dan WHO menekankan perlunya penerapan kebijakan cuti melahirkan dan peraturan di tempat kerja yang mendukung pemberian ASI. Selain itu, mereka juga mendesak agar tempat kerja menyediakan waktu dan ruang yang cukup bagi para ibu untuk menyusui atau memerah dan menyimpan ASI.[3]

Pentingnya dukungan sosial

Bagi seorang ibu yang memiliki bayi dan harus menyusui, penting untuk mendapatkan perhatian, kasih sayang, dan dukungan dari orang terdekatnya, termasuk suami. Dukungan sosial ini berperan penting dalam memenuhi kebutuhan ibu yang sedang menyusui. Konsep dukungan sosial mencakup tindakan atau penyediaan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan orang lain. Kemampuan ibu untuk menerima dukungan dapat membantu proses perkembangan bayi. Keluarga merupakan sumber dukungan yang konsisten dan dapat meningkatkan kapasitas serta potensi anggota keluarga. Dengan adanya dukungan sosial, ibu merasa lebih senang dan termotivasi dalam melaksanakan perannya sebagai penyusui.

Sebagian besar wanita secara fisik memiliki kemampuan untuk menyusui, terutama jika mereka mendapatkan dorongan dan dukungan yang memadai. Komunikasi yang positif dan perlindungan terhadap pengalaman serta komentar yang merendahkan dapat memengaruhi keberhasilan menyusui. Suasana hati ibu yang positif berkontribusi pada kenyamanan dan kebahagiaan bayi selama proses menyusui. Sebaliknya, kondisi psikis dan emosional yang tidak stabil pada ibu dapat berdampak negatif pada bayinya, terutama jika kehadiran bayi tidak dikehendaki. Oleh karena itu, penting untuk mengatasi dampak negatif tersebut agar kualitas hubungan antara ibu dan bayi tetap terjaga.

Aspek dukungan sosial

Aspek-aspek dukungan sosial, mencakup dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan informasi. Keterlibatan suami sejak awal dalam proses menyusui diyakini dapat memberikan kemudahan dan dukungan bagi pasangannya. Peran aktif suami dalam masa menyusui merupakan bagian integral dari perawatan dan dukungan yang diperlukan oleh seorang ibu. Suami memegang peran penting dalam mengurangi kecemasan yang mungkin dirasakan oleh ibu dalam merawat bayinya dengan ASI. Ibu yang menerima dukungan sosial dari suami umumnya mengalami tingkat kestabilan mental yang baik. Dukungan yang diterima ini dapat meningkatkan kepercayaan diri, kenyamanan, dan keberhasilan ibu dalam menyusui. Hal ini menjadi objek penelitian menarik bagi para peneliti untuk memahami secara lebih mendalam bentuk dukungan sosial yang dirasakan oleh ibu dari suami serta dampaknya terhadap pengalaman menyusui.[4]

Berbagai bentuk dukungan sosial

Dalam konteks menyusui, dukungan sosial yang diberikan oleh suami kepada ibu menyusui mencakup berbagai aspek, seperti dukungan emosional, penghargaan, instrumental, dan informasi.

  • Dukungan emosional melibatkan ekspresi empati, perhatian, dan kepedulian terhadap ibu menyusui, yang bertujuan untuk memberikan semangat, kasih sayang, dan dukungan emosional yang diperlukan selama masa menyusui.
  • Dukungan penghargaan mengacu pada ungkapan hormat dan apresiasi terhadap ibu yang menyusui, yang bisa mendorong rasa percaya diri dan motivasi ibu dalam menjalani proses menyusui. Dukungan ini juga dapat berupa pujian yang membangun dan memberi semangat kepada ibu.
  • Dukungan instrumental melibatkan bantuan langsung dalam bentuk tindakan nyata, seperti membantu dalam tugas-tugas sehari-hari, mengasuh anak, dan memberikan dukungan fisik yang mempengaruhi produksi hormon oksitosin yang diperlukan dalam proses menyusui.
  • Dukungan informasi mencakup penjelasan, nasehat, dan panduan yang membantu ibu dalam mengatasi berbagai tantangan yang muncul selama menyusui. Dukungan ini memberikan ibu pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk berhasil dalam menyusui.

Ketika suami memberikan dukungan yang cukup kepada istri yang sedang menyusui, hal ini dapat memberikan dampak positif terhadap produksi ASI dan kesejahteraan ibu secara keseluruhan. Oleh karena itu, penting bagi suami untuk memberikan dukungan yang komprehensif dan berkelanjutan kepada istri selama proses menyusui untuk membantu mencapai keberhasilan dalam memberikan ASI kepada bayi.

Referensi

  1. ^ a b Lulu Annisa dan Nurfitria Swastiningsih (Juli 2015). "DUKUNGAN SOSIAL DAN DAMPAK YANG DIRASAKAN OLEH IBU MENYUSUI DARI SUAMI". EMPATHY Jurnal Fakultas Psikologi. Vol. 3, No 1 (ISSN : 2303-114X). 
  2. ^ Nurnafisa, Shafa (2023-12-29). "UNICEF: Angka Menyusui di Indonesia Semakin Menurun". id.theasianparent.com. Diakses tanggal 2024-05-05. 
  3. ^ a b "Angka menyusui di Indonesia turun: Ibu memerlukan dukungan yang lebih mapan". www.unicef.org. Diakses tanggal 2024-05-05. 
  4. ^ Lubis, Petty (2022-05-05). "14 Cara Dukungan Suami untuk Ibu Menyusui, Apa Saja?". id.theasianparent.com. Diakses tanggal 2024-05-05.