Masjid Babul Chair

Masjid Babul Chair adalah sebuah masjid yang terletak di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, tepatnya di kelurahan Tengah, kecamatan Delta Pawan.[1]

Nama Babul Chair memang tak asing lagi bagi masyarakat Kota Ketapang. Maklum, keberadaannya yang persis berada di tengah-tengah Kota Ketapang, di tengah hiruk pikuk serta kesibukan masyarakat di pusat Kota Ale-Ale. Keberadaannya bak menjadi saksi pergantian waktu yang terjadi di Kota Ketapang pada perkembangannya. Setiap waktu masyarakat di sekitar Kota Ketapang, akan selalu dapat melihat serta mendengar lantunan azan dari bangunan bersejarah tersebut. Masjid ini dipercaya masyarakat di kawasan utara sebagai yang tertua setelah Masjid Jamik Kerajaan Matan di Kelurahan Kauman.[1]

Sejarah

Berdasarkan cerita yang diungkapkan H Amri Has, ketua Masjid Babul Chair, masjid ini terbangun atas prakarsa beberapa tokoh agama di kawasan Matan Hilir Utara. Masyarakat di kawasan seberang kota lama Kerajaan Matan ini, pada masa lalu jika hendak bersembahyang Jumat, harus menyeberang ke Kampung Kaum. Maklum, masjid satu-satunya pada saat itu hanya berada di Kampung Kaum (Kelurahan Kauman saat ini).[2] Ke sanalah seluruh masyarakat Ketapang yang hendak melaksanakan Salat Jumat pada setiap Hari Jumat.

Akhirnya karena merasa keberatan untuk selalu menyeberang pada setiap pelaksanaan Ibadah Jumat, masyarakat di kawasan Kecamatan Delta Pawan, Muara Pawan, dan Matan Hilir Utara saat ini bersepakat membangun sebuah masjid. Masjid yang ada sebetulnya kelanjutan dari sebuah surau yang dibangun di depan lokasi pemotongan sapi saat ini, tidak jauh dari lokasi Masjid Babul Chair.

Entah dengan siapa perizinan kemudian diajukan, kemudian pada 1948 dimulai pembangunan masjid tersebut. Lokasinya dipilih tepat di pinggir Jalan Darussalam, atau saat ini dikenal sebagai Jalan MT Haryono. Ketika itu diungkapkan Amri, Jalan Darussalam merupakan jalan pengerasan berupa tanah yang dilapisi kulit ale-ale. Masa ini merupakan masa peralihan, setelah kekosongan pemerintahan di Kerajaan Matan pada 1943, ketika Panembahan Gusti Muhammad Saunan ditangkap bala tentara Jepang dan tidak kembali sampai kini. Tahun 1948 merupakan tahun pemerintahan Kerajaan Matan di bawah Majelis Pemerintahan Kerajaan Matan. Amri sendiri lebih senang menyebut masa itu sebagai zaman NICA, sehingga bisa jadi perizinan untuk pembangunan rumah ibadah juga tak terlepas dari mereka. Meskipun sejarah mencatat masa 1948, Kerajaan Matan dipimpin tiga pangeran untuk mengatur pemerintahan. Mereka adalah Uti Halil bergelar Pangeran Mangku Negara, Uti Aplah bergelar Pangeran Adipati, serta Uti Kencana bergelar Pangeran Anom Laksamana. Mereka inilah yang disebut Majelis Pemerintahan Kerajaan Matan.

Beberapa tokoh yang masih diingat sebagai yang berjasa dalam pembangunan masjid tersebut seperti H. Hasan Zulkifli, H. Abdussamad, Asri, Asri Yatim, serta Sabran, kepada Kampung Kantor saat itu. Mereka kemudian bersama-sama memulai pembangunan masjid yang dikerjakan secara bertahap. Masjid itu sendiri selesai dikerjakan pada 1953 dan diresmikanlah penggunaannya untuk pelaksanaan Salat Jumat. Amri menyebut papan nama pada bagian depan masjid sampai saat ini belum mengalami pergantian.

Sementara beberapa bagian lain dari masjid memang telah banyak yang berubah, terkecuali empat tiang penyangga di tengah-tengah masjid. Sayangnya keaslian dari empat tiang tersebut telah terbungkus papan-papan yang terhias sedemikian rupa. Kubah bangunan tersebut sebetulnya, dikatakan Amri, juga masih asli. Keberadaannya telah sedikit ditinggikan, sehingga ruang dalam masjid terasa lebih besar. Sejak diresmikan, kemudian ditunjuklah H Hasan Zulkifli sebagai imam pada masjid tersebut. Masjid ini kemudian menjadi tempat yang didatangi jamaah dari kawasan utara Kota Ketapang, pada saat itu. Mereka tidak perlu lagi menyeberang ke Kampung Kaum hanya untuk melaksanakan Salat Jumat.[2] Kini masjid tersebut berperan sebagai tempat beribadah bagi mereka yang disibukkan dengan hiruk pikuk sentra perekonomian di tengah-tengah Kota Ketapang. Keberadaannya cukup menyejukkan di tengah masyarakat yang tengah larut dengan kesibukan duniawinya masing-masing.[1]

Referensi