Masjid Al-Muhajirin adalah sebuah masjid yang terletak di Kampung Kepaon, Denpasar, Bali. Masjid ini tergolong masjid tua di kota Denpasar dan berada di tengah kota.
Sejarah
Berdasarkan catatan sejarah, masjid ini didirikan pada tahun 1326 Hijriyah. Pada waktu pertama kali didirikan, Masjid Al-Muhajirin masih berukuran 12×12 meter. Awal pertama kali dibangun, masjid ini bernama Hamsul Mursalin. Konon, kehadiran kaum pendatang asal Madura, Bugis, Melayu, serta Bali yang mendiami kampung Kepaon setelah itu menuntut adanya peralihan nama masjid sebagai pusat sarana ibadah yang diembel-embeli dengan Muhajirin. Kehadiran seorang tokoh Islam yang berasal dari Gujarat bernama Haji Abdurrahman menjadikan masjid ini sebagai tempat peribadatan tersebut dengan nama Masjid Jamik al-Muhajirin.
Renovasi masjid
Seiring perjalanan waktu, pada tahun 1976, tembok Masjid al-Muhajirin itu retak akibat guncangan gempa yang menggoyang Pulau Bali dengan kekuatan 6,7 SR. Gempa yang mengguncang pulau Dewata itu, menuntut Masjid al-Muhajirin perlu dibangun kembali. Tetapi, hal itu tidak bisa dilakukan dalam waktu sekejap. Tak salah kalau dibutuhkan waktu yang tidak singkat untuk membangun kembali masjid itu, karena harus dibangun kembali secara perlahan-lahan hingga tahun 1991.
Masjid kuno yang bertiang empat itu kemudian dipugar jadi bangunan permanen satu lantai. Tapi karena Masjid al-Muhajirin ini terletak di tengah kota, tidak mustahil jika jumlah jammah yang melaksanakan salat jumat kerap kali memenuhi ruangan masjid. Apalagi, seiring berdatangan orang-orang urban dari luar pulau Bali yang kebanyakan beragama Islam ke kota Denpasar menjadikan Masjid al-Muhajirin sebagai tempat menunaikan salat.
Tak pelak, jika jamaah yang hadir kerap memenuhi masjid sampai-sampai salat Jumat pun penuh hingga di luar masjid. Tidak salah, demi memenuhi tuntuan itu, lima belas tahun kemudian, Masjid al-Muhajirin itu ditingkatkan menjadi dua lantai. Meski demikian, Masjid al-Muhajirin tetap saja penuh sesak ketika Salat Jumat.[1]
Lihat pula
Referensi
- ^ Majalah Hidayah edisi 98, Oktober 2009 halaman 112-115