dr.Maria Louisa Rumateray yang akrab disapa Mia. dijuluki dokter Garai[1] dan dijuluki sebagai ‘Dokter Terbang’.[2] adalah lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana (Unkrida) Jakarta.
Penyakit yang paling banyak dijumpainya selama pelayanan medis di Daerah selatan di “leher burung” dan utara “ekor burung” berbeda karena topografi. Di daerah danau seperti Kampung Esrotnamba, rata-rata menderita penyakit kulit. Kalau di gunung kebanyakan ISPA dan filariasis atau kaki gajah. Malaria juga iya. Tapi suku Korowai hidup di pohon-pohon tinggi sehingga mereka sudah otomatis terproteksi dari nyamuk.[1]
Tapi seorang ibu di Kampung Esrotnamba berani minum obat dengan percaya diri. Karena sebelumnya tidak pernah minum obat, tubuh bereaksi dengan cepat. Satu minggu saja sudah terlihat hasilnya,[1] Saat ia kembali ke Papua, ia bisa menjalankan misinya bersama yayasan Baliem Mission Center (BMC). Mereka rutin memberikan pelayanan kesehatan ke pelosok dengan menggunakan pesawat.[3]
Peristiwa
Selama bertahun-tahun menjalankan misi pelayanan kemanusiaan di Papua, Sesaat Orang tua Mia meninggal. Majelis gereja mau datang jam 11 pagi. Penutupan peti sekitar jam 12 siang dan setelahnya pemakaman. Tiba-tiba telepon dari pilot, dan pilot berkata: “Dokter Mia, kita harus berangkat pelayanan ke Agisiga.” Daerah Agisiga terletak di perbatasan tiga kabupaten besar yaitu Paniai, Timika, dan Jayawijaya.[1]
semenjak kecil ia sudah bercita-cita menjadi tenaga medis karena melihat pekerjaan ayahnya yang merupakan seorang perawat dan ibunya apoteker. Namun, Mia tidak berani berambisi tinggi. Ia merasa cukup menjadi perawat saja. Nasib baik kemudian berpihak padanya saat melanjutkan sekolah ke Jayapura setelah tamat SMP. Di kota itu Mia tinggal di Asrama Yan Mamoribo yang memiliki ibu asrama seorang warga negara Belanda.[3]