Malabot tumpe adalah upacara syukuran atas panen telur Maleo (Macrocephalon maleo Sal.Muller).[1]Tradisi sudah dilakukan oleh masyarakat Banggai secara turun temurun sejak zaman kerajaan Banggai yang dipimpin oleh Raja Mandapar. Prosesi upacara Malabot tumpe diawali dengan pengumpulan telur burung Maleo oleh perangkat adat, setelah terkumpul, perangkat adat membawanya ke rumah ketua adat dan rangkaian upacara dilakukan dengan doa dan dzikir kepada Tuhan yang Maha Esa. Perahu dan pengantar telur sudah disiapkan di tepi sungai Batui, biasanya terdiri dari 7 orang, 3 orang pemangku adat yang disebut sebagai ombuwa telur (pembawa telur), dan 4 orang pendayung. Sebelum diberangkatkan dari Batui ke Banggai, telur maleo dibungkus dengan daun pohon palem biasa disebut daun komunong. Pembawa telur maleo berjalan dan diarak menuju sungai Batui dengan iringan genderang dan dikawal oleh pasukan adat.
Burung Maleo merupakan burung endemik Sulawesi Tengah yang hidup di kawasan pantai, populasinya banyak di temukan di daerah Bangkiang di kecamatan Batui. Upacara Malabot tumpe dilaksanakan setiap tahun, pada saat musim pertama bertelurnya burung Maleo biasanya sekitar bulan September [2]
Setiap tahun masing-masing 5 desa yaitu Dakanyo Ende, Binsilok Balatang, Tolando, Binsilok Katudunan dan Topundat bisa memberikan 20-25 butir telur, sehingga terkumpul kurang lebih 100 butir telur yang siap diantarkan untuk upacara tumpe. Upacara tumpe ini dilaksanakan setiap tahun, tetapi kini keberadaan telur burung maleo mulai berkurang, sehingga jumlah telur yang di persembahkan semakin sedikit [3]
Ada kepercayan yang berkembang pada masyarakat Batui, yaitu belum boleh memakan telur burung maleo sebelum telur pertama tersebut belum dipersembahkan ke Banggai atau belum melakukan upacara Malabot tumpe.[4]
Sejarah
Awal upacara tumpe adalah ketika raja Banggai yang bernama Adi Jawa mencari istrinya yang bermama Sitti Amina serta anaknya yang bernama Abu Kasim yang pergi meninggalkan Banggai. Kepergian Sitti Amina ini akibat difitnah oleh istri kedua raja Adi Jawa. Pencarian raja Adi Jawa menggunakan perahu layar ke Bola dan Matindo tidak membuahkan hasil. Akhirnya sang raja memutuskan untuk berlayar ke pulau Jawa dan tidak akan kembali lagi ke Banggai. Selepas kepergian raja Adi Jawa ke pulau Jawa, kepemimpinan kerajaan mulai kacau, akhirnya masyarakat Banggai memutuskan untuk Abu Kasim untuk dijadikan raja dan memegang tampuk kepemimpinan masyarakat Banggai, tetapi permintaan itu ditolak oleh Abu Kasim karena larangan ibunya untuk tidak menjadi raja. Abu Kasim akhirnya meminta kepada beberapa orang tua dan ketua-ketua adat Banggai agar ia bisa diberikan perahu, dan beberapa orang yang bisa menemaninya berlayar ke pulau Jawa menjemput ayahnya. Permintaan itu pun disetujui, dan Abu Kasim berlayar ke pulau Jawa. Usaha Abu Kasim gagal, ayahnya tetap tidak bersedia kembali ke Banggai. Akhirnya Abu Kasim meminta sepasang burung Mua' Mua (Maleo) kepada ayahnya untuk dibawa pulang ke Banggai. Segala upaya dilakukan Abu Kasim untuk mengembangbiakkan burung Maleo namun selalu gagal, sehingga akhirnya Abu Kasim menitipkan burung Maleo ini kepada neneknya yang berada di Batui, sambil berpesan apabila burung Maleo ini bertelur, maka telur pertamanya akan diantar ke Banggai. Inilah yang menjadi awal mula upacara tumpe.[3]