Lepa bura adalah upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Suleng Waseng, Solor Selatan,Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sulengwaseng adalah salah satu desa diantara tujuh desa yang terdapat di Kecamatan Solor Selatan. Ada beberapa suku yang mendiami desa sulengwaseng salah satunya yaitu masyarakat Suku Lamaholot yang merupakan suku asli dari Flores timur. Masyarakat Lamaholot dan Masyarakat Desa Sulengwaseng sebelum mengenal agama Katolik telah menganut kepercayaan yang mereka sebut lera wulan tana eka yang mereka yakini sebagai Tuhan langit dan bumi. Dimana lera berarti matahari, wulan berarti bulan, tana artinya tanah dan ekan artinya alam semesta. Mereka juga memberikan penghormatan kepada leluhur (kewokoi) sebagai perantara antara manusia dengan lera wulan tana eka. Pasca masuknya agama di desa Sulengwaseng masyarakat terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah masyarakat yang beragama katolik dan meninggalkan adat istiadat, kelompok kedua adalah yang beragama katolik dan tidak meninggalkan adat, kelompok terakhir adalah kelompok yang tidak menganut agama katolik dan masih memegang teguh keyakinan adatnya. Kelompok pertama dalam bahasa Lamaholot disebut adate take yang artinya tidak ada adat atau tidak tahu adat sedangkan kelompok ketiga oleh instansi keagamaan dipandang sebagai kelompok konservatif dan dan dianggap kafir. Selama lebih dari 300 tahun situasi ini terus berlangsung khususnya di Indonesia bagian timur.[1]
Prosesi
Tahap pembukaan ritual ini diawali dengan kegiatan yang dilakukan oleh peserta penari para gadis atau kebarek naen pada masa pantangan atau disebut dengan eka mi'in. Masa pantangan dimulai sejak turun hujan pertama kalinya. Sesepuh adat Sulangwaseng Benediktus tada krowin memberikan penjelasan bahwa Aktivitas pi'in atau pantang ini dilakukan oleh tiga golongan masyarakat yaitu golongan para ibu, golongan para bapak (kelake) dan anak gadis. Selama masa pi'in mereka dilarang memakan makanan yang baru, untuk anak gadis juga pantang untuk melakukan pacaran dan hal-hal yang berbau seksualitas. Upacara adat Lepa bura mencakup hal hal seperti kesucian diri dan ketaatan kepada norma adat dan norma sosial.[2]Kemudian dilaksanakan Upacara Adat Bao lolon dengan memberi sesajen kepada lera wulan tana ekan dan kewokoi setalahnya dilakukan upacara bua lamak atau makan bersama makanan hasil dari panen yang baru.[1]
Pada tahap inti dimulai dengan upacara Leta Nenan untuk meminta bantuan dan kekuatan dari Lera wulan tana ekan dankewokoi agar pelaksanaan upacara Lepa bura dan acara rangkaiannya berjalan lancar. Puncaknya adalah kegiatan tarian Lepa Bura yang berlangsung selama duapuluhempat jam mulai pukul 07.00 dan berakhir keeaokan harinya pada pukul 07.00.[1]
Referensi