Lebak merupakan kawasan rawa yang genangan airnya dipengaruhi air hujan atau luapan sungai. Lebak biasanya berada di antara dua buah sungai besar di dataran rendah. Berbeda dengan rawa pasang surut yang genangan airnya dipengaruhi pasang surut air laut harian,lebak tergenang selama musim hujan dan berangsurangsur kering pada musim kemarau. Ada tiga jenis lebak berdasarkan tinggi dan lama genangan. Lebak pematang atau dangkal, bila genangan airnya kurang dari 50 cm selama kurang dari 3 bulan; lebak tengahan, dengan genangan air antara 50–100 cm selama 3—6 bulan; dan lebak dalam bila genangan airnya lebih dari 100 cm selama lebih dari 6 bulan. Kawasan lebak dalam yang menghasilkan produksi ikan secara alami dikenal dengan istilah Lebak Lebung.
Kemandirian Petani Dalam Budaya Lebak Lebung
Di Provinsi Sumatera Selatan terdapat 146.279 ha lebak yang dimanfaatkan untuk budi daya pertanian. Sebanyak 58,96 persen tersebar di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) dan Ogan Ilir. Sisanya 41,04 persen ada di Kabupaten Musi Banyuasin, Muaraenim, Ogan Komering Ulu, Banyuasin, dan Kota Palembang. Tak hanya sebagai kawasan ekologis, lebak lebung membentuk kebudayaan lokal. Khususnya lewat interaksi petani dengan alam yang dibangun berdasarkan nilai-nilai
kearifan terhadap alam. Sistem usaha tani yang dibangun dalam kebudayaan lebak lebung adalah sistem terpadu antara tanaman semusim (padi sawah, palawija, dan sayuran), ternak (kerbau dan itik), serta usaha penangkapan ikan. Sedangkan pohon, seperti kelapa, mangga, durian dan duku, hanya dapat ditanam di lahan yang tidak tergenang, misalnya di pinggiran sungai. Musim tanam pagi di lebak hanya sekali dalam setahun. Palawija dan sayuran ditanam bersamaan dengan padi yang ditanam pada galangangalangan sawah lebak. Sedangkan pada musim hujan, petani menangkap ikan, menggembala ternak, atau mengusahakan kerajinan tangan, seperti tenun pakaian adat, anyaman tikar, dan alat rumah tangga.
Budaya Lebak Lebung Digerogoti
Melalui program Revolusi Hijau, pemerintah mempromosikan input produksi dari luar seperti benih
hibrida, pupuk kimia, pestisida, serta alat/mesin pertanian. Akibatnya petani menjadi tergantung
pada pupuk dan pestisida kimia. Petani juga mulai meninggalkan tradisi menggunakan input lokal,
khususnya benih. Selain itu, pemerintah tidak mengakui hak tanah (lebak) warga setempat yang diakui secara adat. Padahal secara adat petani memiliki lahan lebak seluas 1—2 ha. Pemerintah daerah (pemda) mengklaim kawasan lebak sebagai milik pemda. Maka, pemda pun menguasai sumber ikan alami yang ada di Lebak Lebung. Di Kabupaten OKI dan Ogan Ilir, pemerintah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) terkait penangkapan ikan di Lebak Lebung. Pemda OKI menerapkan sistem lelang, sedangkan Pemda Ogan Ilir menerapkan retribusi. Perda tersebut menghilangkan akses petani pada sumber daya alam di atas lahan yang sebenarnya menjadi hak mereka secara adat. Umumnya, pemenang lelang di OKI dan yang membiayai kelompok masyarakat di Ogan Ilir adalah para pemilik modal.
Investasi Sawit dan HTI Mengancam Kedaulatan Petani
Kawasan Lebak, terutama di Kabupaten OKI, juga menjadi sasaran investasi perusahaan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI). Tak kurang dari 350.000 hektare kawasan ini telah dibuka oleh perusahaan tersebut. Pembuatan kanal-kanal besar untuk drainase merusak tata air di kawasan budi daya padi. Permukaan air tanah turun dan rentan kekeringan. Sebagian kawasan yang dibuka, sebelumnya merupakan padang pengembalaan kerbau dan tempat berkembang biak ikan. Bahkan sebagian lahan merupakan lahan gambut yang seharusnya dikonservasi. Hal ini menurunkan produksi usaha tani padi, ikan, dan ternak. Aktivitas pembangunan—melalui Revolusi Hijau, sistem lelang Lebak Lebung, maupun perusahaan perkebunan dan HTI— seharusnya bertanggung jawab terhadap rusaknya budaya petani Lebak Lebung. Selain pencemaran lingkungan, petani juga kehilangan
kemandirian usaha taninya. Saat ini petani tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan konsumsi dari usaha tani saja. Hanya 30 persen kebutuhan konsumsi yang mampu dipenuhi dari hasil bertani. Petani harus mencari pekerjaan tambahan, seperti menjadi buruh harian di perkebunan,
atau pergi ke kota untuk bekerja di sektor informal.
Perubahan Iklim, Ancaman Baru Bagi Petani
Posisi petani kini makin terjepit oleh dampak perubahan iklim atau pemanasan global. Sekitar sepuluh tahun belakangan ini petani merasakan perubahan pola cuaca di kawasan Lebak Lebung. Antara lain, curah hujan berlebihan pada tahun tertentu dan tahun berikutnya curah hujan sangat kurang. Tidak ada batasan jelas antara musim hujan dan kemarau. Dalam periode musim hujan antara September—April, kadang-kadang tidak turun hujan berminggu-minggu. Sedangkan pada musim kemarau selama April—September, malah sering terjadi hujan berlebihan. Perubahan pola cuaca ini sangat berdampak pada usaha tani padi sawah di kawasan lebak. Terutama pada lebak pematang karena zona ini membutuhkan hujan untuk memenuhi kecukupan air saat padi akan berbunga. Apalagi muka air tanah sudah menurun karena kerusakan lingkungan akibat pembangunan kanal perkebunan sawit dan HTI. Selain
itu, penggunaan benih padi hibrida yang diikuti dengan penggunaan pupuk kimia mempertinggi kerusakan, karena rentan kekeringan. Pada periode kekeringan ini, petani miskin mengalami
gagal panen karena mereka tidak punya modal untuk mengatasinya. Sementara petani kaya dapat membeli pompa air untuk mengairi lahan yang kekeringan, dengan menyedot air dari sungai yang tidak begitu jauh dari lahan. Kegagalan usaha tani lebak juga sangat berdampak pada
kaum perempuan. Perempuanlah yang banyak terlibat dalam usaha tani padi lebak, khususnya saat menanam dan menyiangi. Curahan tenaga perempuan mencapai 60 persen. Sedangkan, curahan tenaga kerja pria dan anak-anak hanya 40 persen.
Dari pengalaman petani setempat, terbukti bahwa praktik pertanian lokal yang berkelanjutan mampu
beradaptasi dengan perubahan iklim. Misalnya benih lokal yang terbukti lebih tahan hujan berlebih dan kekeringan dibanding benih hibrida. Sayangnya, jumlah petani yang masih mempertahankan tradisi menanam benih lokal sangat terbatas. Tradisi menggunakan benih lokal harus dijadikan sebagai pijakan untuk mempromosikan pertanian berkelanjutan. Ini sebagai upaya mengatasi dampak perubahan iklim dan membangun kembali kedaulatan pangan di kawasan
Lebak lebung. Benih lokal yang masih ada di wilayah ini antara lain Padi Putih, Padi Sibur, Padi Sawah Kanyut, Padi Sawah Kemang, Padi Ampay, dan Padi Salek. Pengalaman menanam padi lokal ini menguntungkan petani. Sebab benih lokal lebih tahan banjir dan kekeringan. Petani juga tidak perlu menggunakan pupuk kimia. Tanpa pemupukan padi lokal bisa berproduksi dengan baik, tidak kalah dengan produksi padi hibrida yang menggunakan pupuk kimia. Selain itu petani juga perlu didorong kembali menggunakan pupuk organik dari bahan-bahan yang ada di sekitar mereka, seperti jerami, sekam padi, eceng gondok, dan kotoran ternak. Sehingga tanah lebih tahan kekeringan, terutama di zona lebak pematang.
Pranala luar