Kritik sastra Jawa

Kritik Sastra Jawa adalah kegiatan kritik sastra yang berkembang di Jawa.[1] Sastra Jawa adalah sastra daerah yang menjadi bagian dari sastra nusantara.[1][2] Pembicaraan mengenai sastra Jawa modern dan perkembangannya mulai muncul pada tahun 1950-an sampai 1970-an.[1] Pada tahun itu pula muncul perbincangan mengenai kritik sastra Jawa.[1] Kritik sastra Jawa juga mencakup analisis mengenai unsur religius dalam sastra Jawa.[3] Teks-teks sastra Jawa biasanya berbentuk surat-surat dalam bahasa Jawa.[4]

Ranggawarsita, salah satu pelopor kritik sastra Jawa

Perkembangan Kritik dan Budaya Jawa

Kritik sastra merupakan kegiatan menghakimi sastra.[5] Dalam budaya Jawa mengkritik atau menghakimi adalah sesuatu yang dianggap tidak sopan.[1] Budaya Jawa menekankan konsep kehalusan rasa yang membuat orang tidak mudah menyakiti perasaan orang lain.[1] Namun ada isitilah anyaruwe yang artinya adalah tanggapan -dalam kamus bahasa Jawa.[1] Pada zaman kerajaan Islam misalnya Ranggawarsita yang menulis kritik dalam bukunya Serat Wicara Keras.[1] Akan tetapi, kritik tidak disampaikan secara terang-terangan. Kritik terhadap pujangga pada zaman itu di tuangkan dalam tembang dengan pilihan kata yang tepat.[1]

Pada tahun 1920-1930-an mulai muncul esai-esai kritis dalam majalah-majalah bahasa Jawa.[1] Misalnya dalam majalah ‘’Kedjawen’’ terdapat rubrik ‘’Obrolanipun Petruk kaliyan Gareng’ yang muncul tahun 1938.[1] Rubrik tersebut merupakan rubrik kritik terhadap budaya dan bahasa Jawa.[1] Kritik yang lebih terbuka misalnya yang dilakukan lembaga swasta bernama ‘’Paheman Paniti Basa’’ di Surakarta.[1] Lembaga ini mengkritisi bahasa Jawa yang mulai rusak dan menatanya kembali sesuai dengan standar bahasa Jawa.[1]

Dinamika Kritik Sastra Jawa

Pada tahun 1950-an ketika sastra indonesia mulai berkembang, para pengarang etnis Jawa mulai beralih menulisa sastra Indonesia walaupun tidak meninggalkan identitas Jawa dalam tulisan-tulisan mereka.[1] Pengarang-pengarang tersebut di antaranya, Pramoedya Ananta Toer, Nh. Dini, Toto Sudarto Bachtiar dan Soebagio Satrowardojo.[1] Namun beberapa penulis masih mempertahankan karya mereka dalam bahasa Jawa seperti Ahmad Tohari yang menulis Ronggeng Dukuh Paruk dalam bahasa Jawa Banyumas.[1] Tahun 1950 juga menjadi tanda munculnya kritik sastra Jawa secara lebih terbuka.[1] Selain terbuka, penulisan kritik sastra Jawa pada masa itu juga lebih objektif terhadap suatu karya. Misalnya, Susan yang menjadi kritikus pertama menuliskan kritiknya dalam majalah Cerita Cekak.[1] Perkembangan dan dinamika kritik sastra Jawa tidak hanya ditandai dengan perkembangan dari aspek isi namun juga bahasa yang digunakan.[1] Pada tahun 1960 berdiri OPSJ (Organisasi Pengarang Sastra Jawa).[1] Diskusi dan kritik mengenai sastra Jawa mulai dilaksanakan dalam bahasa Indonesia.[1] Pada tahun 1970 kritik sastra Jawa berbahasa Indonesia mulai muncul di media massa.[1] Misalnya, Sukardo Hadisukarno menulis esai berjudul “Sastra Jawa Modern: Perlu Diperkenalkan Lebih Luas”.[1] Artikel ini membahas mengenai kesenjangan yang terjadi antara sastra lama dengan sastra modern.[1] Tahun 1990-an esai-esai kritik sastra Jawa semakin banyak ditemui di media massa, bahkan juga dalam bentuk buku. Suripan Sadi Utomo menulis buku Sosiologi Sastra Jawa pada tahun 1997.[1]

Rujukan

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z Tirto Suwondo,dkk (2003). Kritik Sastra Jawa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. ISBN 979-685-382-5. 
  2. ^ "Kamus Besar Bahasa Indonesia". Diakses tanggal 9 Mei 2014. 
  3. ^ Dojosantosa (1986). Unsur Religius dalam Sastra Jawa. Semarang: Aneka Ilmu. 
  4. ^ "Basa Basuki". Program Digitalisasi Sastra Daerah. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-12. Diakses tanggal 9 Mei 2014. 
  5. ^ Andre Hardjana (1981). Kritik Sastra, Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia. hlm. 1-6.