Kewawasan atau perhatian penuh (bahasa Inggris: mindfulness) adalah suatu praktik atau terapi yang dilakukan untuk mengobati pikiran dan tubuh berdasarkan teknik meditasi Buddha yang kemudian dipopulerkan oleh Jon Kabat Zinn, seorang peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Massachusets.[1]
Kewawasan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan, dimana pikiran dan perasaan yang hidup sepenuhnya di masa sekarang.[2] Kewawasan ini telah terbukti secara ilmiah dapat mengobati depresi, kecemasan, penyakit dalam, penyalahgunaan obat, dan sebagainya. Hal ini dikarenakan saat sedang melakukan meditasi kewawasan, akan lebih menyadari siklus tubuhnya dan fokus pada pikirannya.[3]
Kewawasan merupakan inti dari ajaran Buddha yang berasal dari bahasa sansekerta yakni kata “dharma” yang memiliki arti “ketaaatan” seperti “hukum-hukum yang harus dipatuhi” atau secara sederhana “suatu cara”, yang dalam bahasa Cina disebut sebagai “ Tao ”. Kewawasan merupakan pemusatan perhatian (atensi) dasar yang mendasari seluruh aliran praktik meditasi bagi orang-orang Budha.[4]
Segal dan Davis dkk mengungkapkan bahwa pemusatan perhatian merupakan bentuk strategi pengaturan diri yang melibatkan kefokusan pada satu titik, merespon pikiran, sensasi dan emosi dengan sikap penerimaan, tanpa adanya penilaian terhadap apa yang diterima. Germer (2005) menyebutkan ada tiga komponen utama dalam kewawasan, yaitu kesadaran (awareness), pengalaman saat ini (present experience), dan penerimaan (acceptance).[5]
Proses kewawasan (mindfulness) memiliki kriteria yang harus dipenuhi, di antaranya:[5]
Nonkonseptual, merupakan kesadaran tanpa proses pemikiran
Fokus pada peristiwa sekarang
Tanpa penilaian (non-judgemental)
Dilakukan dengan sengaja (intentional)
Observasi partisipan
Nonverbal
Membebaskan (liberating)
Teknik
Visual Imagery
Visual imagery adalah gambaran atau imajinasi visual. Asal muasal teknik visual imagery dimulai dari interpretasi mimpi oleh Freud pada akhir 1890-an dan sangat dipengaruhi oleh apa yang disebut oleh Jung sebagai imajinasi aktif. Pada 1920-an, Robert Desoile mengembangkan metode guided daydream (lamunan terbimbing) sebagai sebuah teknik terapi. Ia meminta klien untuk melamun secara aktif. Saat ini visual imagery digunakan di banyak pendekatan terapi, termasuk kognitif-behavioral, transpersonal, gestalt, psikodinamik, dan Ericksonian. Terapis kognitif menerapkan imagery untuk mengakses kunci keyakinan seorang klien dan mendesak klien untuk menginterpretasi pengalamannya. Terapis psikodinamis menggunakan imagery untuk membantu klien memproses ingatan atau pikiran yang sulit. Terapis gestalt mendasarkan pada imagery untuk membantu klien menangani konflik internal atau mengurangi kecemasan.
Deep Breathing
Deep breathing adalah teknik bernapas secara mendalam. Menurut Kottler dan Chen yang dikutip oleh Erford, teknik ini relatif baru di budaya barat. Teknik ini sudah sejak lama sangat dihargai oleh budaya timur dan merupakan teknik kewawasan dengan tradisi yoga Hindu. Keyakinan filsuf Hindu pada yoga berpusat pada konsep pranayama. Prana berarti “energi kehidupan” maupun “pernapasan”, dengan mampu mengontrol energi kehidupan. Suatu metafora kuno yang digunakan untuk mendeskripsikan pernapasan adalah benang yang mengendalikan layang-layang; layang-layang mempresentasikan pikiran dan benang mempresentasikan pernapasan untuk menenangkan tubuh, banyak konselor profesional sekarang merekomendasikan menggunakan teknik-teknik pernapasan. Dengan belajar bernapas lebih dalam dan efisien, klien dapat belajar mengelola stresnya.[6]
Self Talk
Self talk secara bahasa; self bermakna diri dan talk bermakna percakapan, pembicaraan, perbincangan. Seligman dan Reichenberg yang dikutip oleh Erford mendeskripsikan self-talk sebagai sebuah pep-talk (pembicaraan yang dimaksudkan untuk membangkitkan keberanian atau antusiasme) positif yang diberikan seseorang untuk dirinya sendiri setiap hari. Ketika menggunakan self-talk, seseorang berulang-ulang menyebutkan frasa suportif yang sangat membantu saat dihadapkan pada suatu masalah. Dalam aktifitas sehari-hari, sebenarnya setiap orang sudah melakukan self talk namun terkadang tidak disadari oleh orang yang bersangkutan. Self talk terdiri dari dua macam, yakni self talk positif dan self talk negatif. Menurut Erford, self talk positif berkaitan dengan motivasi, optimisme, dan harapan guna mencapai tujuan seseorang. Sedangkan self talk negatif seringkali berkaitan dengan pesimisme dan kecemasan, bersifat self defeating dan menghambat seseorang dalam mencapai kesuksesannya.[4]