Keuneunong atau disebut juga dengan Keunong adalah sebuah sistem kalender atau penanggalan oleh masyarakat Suku Kluet di provinsi Aceh, berdasarkan arah angin, peredaran matahari, dan musim, dalam melakukan bercocok tanam. Sistem ini berkaitan dengan musim menanam padi atau bersawah, dan jenis tanaman pertanian lainnya.[1] Sudah ada sejak zaman Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh, tetapi penanggalannya saat ini, diadopsi untuk membuat Kalender Aceh, yang memiliki perbedaan dengan kalender Masehi.[2] Perhitungan atau penanggalan Keuneunong ini, mencari waktu yang tepat untuk bercocok tanam, secara khusus untuk melihat waktu yang tepat untuk turun ke sawah. Penanggalan Keuneuong ini merujuk pada kondisi musiman, di mana biasanya tanggal tersebut akan jatuh di tanggal ganjil.[1]
Suku Kluet
Permukiman suku Kluet secara turun temurun tinggal di sekitar wilayah kabupaten Aceh Selatan, Aceh. Wilayah konsentrasi tempat tinggal mereka ada di kecamatan Kluet Selatan, kecamatan Kluet Utara, kecamatan Kluet Timur, dan Kluet Tengah.[3] Keempat kecamatan Kluet ini dipisahkan oleh aliran sungai Lawé Kluet yang berhulu di Gunung Leuser dan bermuara di Lautan Hindia. Perumahan warga Suku Kluet, secara geografis memiliki jarak sekitar 20 km dari jalan raya, dan berjarak sekitar 50 km dari Ibu kota Kabupaten Aceh Selatan yaitu Tapak Tuan. Namun jarak ke Ibu kota provinsi Aceh, Banda Aceh, berjarak 500 km. Itu Artinya bahwa komunitaa Suku Kluet bisa dikatakan berada di wilayah pedalaman kabupaten Aceh Selatan, yang jauh dari pusat keramaian.[3]
Pengaruh agama Islam telah menjadi bagian penting bagi mereka dan bisa dikatakan bahwa hampir semua penduduknya memeluk agama Islam. Dan bicara bahasa, mereka telah memiliki bahasa sendiri yaitu bahasa Kluet. Bahasa Kluet menjadi bahasa ibu dari suku ini, selain dari bahasa-bahasa lainnya, seperti bahasa Melayu (disebut juga dengan Aneuk Jamee), bahasa Aceh dan bahasa Indonesia. Dialek Bahasa Kluet mirip dengan dialek bahasa Paya Dapur, bahasa Manggamat, dan juga bahasa Krueng, masih rumpun bahasa yang ada di Aceh.[3]
Pekerjaan utama orang Kluet adalah bekerja sebagai petani. Banyak warga memiliki lahan pertanian salah satunya adalah lahan persawahan. Bekerja dengan menanam padi, telah dilakoni warga sejak lama. Pekerjaan inilah, mereka mengenl sistem penanggalan dalam bercocok tanam, mereka menyebutnya Keuneunong, di mana orang Kluet memiliki siklus dalam melihat waktu yang tepat untuk turun ke sawah. Selain bertani, secara khusus bersawah, saat ini banyal diantara mereka yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).[3]
Sistem Keuneunong
Dalam buku berjudul The Atjeher karya Snouck Hurgronje tahun 1985 (diterjemakan oleh NG Singarimbun) menyebutkan bahwa Keuneunong telah diawali pada Keuneunng dua ploh lhee (diartikan dengan tanggal 23 Jumadil Akhir, merujuk pada tahun Hijriah). Pada Keuneunong ini, biasanya padi-padi di sawah mulai menguning, banyak yang mulai rebah dan menjadi puso karena angin timur yang sangat kencang. Artinya bahwa, situasi di sawah juga dijadikan sebagai acuan untuk melihat waktu yang tepat untuk melaut. Jadi, dengan menanam padi sesuai Keuneunong, maka bisa digunakan juga untuk melihat tanda-tanda yang baik pergi berburu ikan di laut.[2]
Berkenaan dengan hal ini dalam sebuah kiasan, masyarakat Aceh pun sering menyebut kalimat: “Musem timu jak tarek pukat, musem barat jak meuniaga”, yang artinya bahwa agin timur (musim timur) lebih baik pergi melaut, angin barat (musim barat) lebih baik untuk berdagang. Artinya bahwa pada musim timur, ombak di lautan tidak ganas, sementara itu pada musim barat, ombak di laut lebih ganas dan badai akan lebih sering datang. Artinya bahwa jika angin kuat kearah timur maka itu waktu yang tepat untuk melaut, sementara jika angin lebih kuat ke barat maka itu merupakan masa yang baik untuk menjual hasil tangkapan atau bisa berjualan.[2]
Untuk melihat penaamaan Keuneunong Aceh, berikut adalah sistem penanggalan dalam sistem Keuneunong, di mana Bulan Masehi dikali dua (dimulai bulan 12 turun ke bulan 1), dan hasil Keuneunong adalah 25 - hasil perkalian bulan Masehi x 2. Keuneunong selalu angka ganjil.[4]
Keadaan (K)
Bulan (B x 2)
|
C (25) - B
|
Keuneunong
|
12 x 2 = 24
|
25 - 24 = 1
|
Keuneunong 1
|
11 x 2 = 22
|
25 - 22 = 3
|
Keuneunong 3
|
10 x 2 = 20
|
25 - 20 = 5
|
Keuneunong 5
|
9 x 2 = 18
|
25 - 18 = 7
|
Keuneunong 7
|
8 x 2 = 16
|
25 - 16 = 9
|
Keuneunong 9
|
7 x 2 = 14
|
25 - 14 = 11
|
Keuneunong 11
|
6 x 2 = 12
|
25 - 12 = 13
|
Keuneunong 13
|
5 x 2 = 10
|
25 - 10 = 15
|
Keuneunong 15
|
4 x 2 = 8
|
25 - 8 = 17
|
Keuneunong 17
|
3 x 2 = 6
|
25 - 6 = 19
|
Keuneunong 19
|
2 x 2 = 4
|
25 - 4 = 21
|
Keuneunong 21
|
1 x 2 = 2
|
25 - 2 = 23
|
Keuneunong 23
|
Rumus Keuneunong
Sebagai salah satu mata pencaharian sehari-hari, bertani merupakan pekerjaan penting bagi masyarakat Aceh. Supaya Agar waktu bercocok tanam tepat dan dapat menghasilkan panen yang maksimal, masyarakat Aceh membuat sebuah sistem ini yang bisa dijadikan sebagai pegangan dan pengalaman dalam bertani secara turun temurun.[5]
Tidak diketahui persis sejak tahun berapa dan kpan sistem Keuneunong ini dilestarikan dan digunakan masyarakat di Aceh. Pengetahuan akan hal ini, mengenai waktu teebaik untuk menanam padi di sawah, merupakan pengetahuan yang berdampak baik bagi kehidupan komunitas di pedalaman Aceh. Rumus yang digunakan oleh masyarakat Aceh ini cukup mudah untuk dipahami sebagai perhitungan waktu bercocok tanam pada masanya bahkan masih relevan dipraktikkan hingga saat ini.[5]
Rumus Keuneunong adalah K = C-2 x B. K disink diartikan sebagai Keadaan musim, inilah yang disebut keuneunong. Sedangkan C merupakam Angka tetap (angka konstan), yaitu angka 25. Kemudian 2 adalah angka tetap untuk pengalian dengan C. Dan untuk B adalah bulan Masehi, bulan yang sedang berjalan yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan Keuneunong.[5]
Sebagai Contoh adalah, Untuk mencari Keuneunong pada bulan Agustus maka rumusnya adalah K= 25-(2x8)= 9 atau hasil dari (25-16= 9, di mana 16 adalah pengalian bulan 8 dengan 2, 2x8=16). Maka, untuk bulan Agustus, Keuneunongnya jatuh pada keuneunong 9. Pada Keuneunong 9 ini, jika ingin menanam padi, maka penyemaian bibit telah dapat dimulai.[4]
Pengetahuan Secara umum tentang keuneunong, sudah memiliki ketentuan sendiri. Untuk Keuneunong 11, akan jatuh pada bulan Juli, padi yang cocok ditanam adalah jenis padi yang memiliki umur lebih panjang. Lalu untuk Keuneunong 9, akan jatuh di bulan Agustus dan padi yang cocok ditanam juga padi yang memiliki umur relatif lebih panjang. Selanjutnya untuk Keuneunong 7, akan jatuh pada bulan September, pada masa ini perhitungan sudah melakukan penyemaian bibit-bibit sdengan merata. Keuneunong 5, akan jatuh pada bulan Oktober, lebih cocok untuk memulai penanaman bibit. Lalu untuk Keuneunong 3, akan jatuh pada bulan November, maka sudah tiba pada masa akhir penanaman bibit. Dan terakhir untuk Keuneunong 1, akan jatuh pada bulan Desember, siklus pada masa ini, seluruh pekerjaan di sawah sudah selesai.[5]
Bercocok Tanam
Dalam bahasa orang Kluet atau bahasa Jamee (Melayu), sawah biasanya disebutpayo. Dalam tradisi persawahan atau bertani masyarakat di Aceh, khususnya suku Kluet, mereka dapat membagi dua golongan sawah, yakni "sawah tadah hujan" dan "sawah dengan irigasi". Untuk pengelolaan sawah tadah hujan, petani di Aceh akan terpaksa untuk menyesuaikan kegiatan bersawah dengan situasi keadaan musim. Sementara itu, sebaliknya untuk pengelolaan sawah menggunakan irigasi, maka para petani tidak akan begitu dipengaruhi oleh situasi atau keadaan musim. Hal ini terjadi karena sawah irigasi telah memiliki sebuah sistem irigasi sendiri yang lebih teratur.[1]
Beberapa jenis padi yang umumnya ditanam di Aceh dan secara khusus di daerah orang Kluet. Penduduk setempat lebih memgenal dengan nama padi si malu, padi si naek, padi si rendeh, padi si ayu, padi si rancak, padi si kuneng, padi si pulau, dan padi si gupai. Adapun cara pengelolaan sawah yang tidak memakai sisten pengairan irigasi secara teratur maka metode yang tepat dipakao dengan mengikuti kalender adat Aceh yaitu Keuneunong.[1]
Kegiatan percocok tanam dengan sistem Keuneunong telah mengatur berbagai tahapan-tahapan dalam mengelolah sawah tersebut. Semua aktivitas yang dilakukan selama pegerjaan sawah, harus disesuasikan dan diselaraskan dengan sistem Keuneunong. Karena dalam kejadian dilapangan, jika ad salah satu sistem pengelolaan aktivitas di sawah tidak sesuai dengan Keuneunong, maka hasil yang diperoleh nantinya dari sawah tersebut tidak akan memuaskan atau hasilnya kurang baik. Penggunaan sistem Keuneunong, sangat erat kaitannya dengan situasi musim ataunkeadaan cuaca.[1]
Ada sebuah ungkapan khusus masyakat Aceh dalam menggambarkan Keuneunong, yang didasarkan pads masing-masing tahapan atau kegiatan. Ungkapan ink twlah digubah kedalam bentuk Syair, yakni:[1]
Keunong siblaih tabu jareung-jareung
Keunong sikureung tabu beurata
Keunong tujoh pade lam umong
Keunong limong pade ka dara
Keunong lhe pade ka roh
Pade seumokoh buleun keunong sa.
Adapun maksud dari syair ini yakni: larik pertama artinya adalah pada waktu bulan kena bulan sebelas orang telah memulai membajak. Pendapat ini ditujukan untuk petani yang akan menanam padi dengan jenis berumur panjang contohnya padi Si Pase dan padi si naek (masa menanam hingga 8 bulan).[1]
Arti larik berikutnya secara berturut-turut adalah: Pada bulan kena bulan sembian semua jenis padi sudah ditabur, Pada saat bulan kena bulan ketujuh, maka benih padi dari persemaian bisa dicabut untuk ditanam di sawah, kemudian Pada saat bulan kena bulan lima, maka padi sudah ditanam. Kemudian, arti selanjutnya adalah ada saat bulan kena bulan tiga, maka padi telah mulai mengeluarkan bunga, dan yang terakhir ialah pada saat bulan kena bulan satu, maka semua padi sudah harus menguning dan siap untuk dipotong. Itulah syair yang menggambar perjaanan atau proses menanam padi dengan mengikuti Keunenong. Waktu atau duraso berdasarkan syair ini memakan waktu untuk masing-masing Keunong sekitar dua bulan lamanya.[1]
Pengerjaan sawah ini dilakukan oleh petani dengan cara dibajak memakai langai yang ditarik oleh kerbau. Lalu, diteruskan dengan penaburan bibit, menyikat, lalu menanam, selanjutnyabmembuang rumput-rumput, kemudiam menuai, mengirik, dan terakhir mengangin. Sistem bercocok tanam dengan Keuneunong yang dipakai secara turun temurun oleh orang Kluet atau juga masyarakat adat Aceh secara umum, bisa menjadi hak milik, ada pula sistem bagi hasil karena dikerjakan gotong royong, ada pula sistem sewa, dan juga ada sistem gadai. Sistem ini akan mendapatkan bagian atau hasil yang berbeda-beda.[4]
Karena sistem keuneunong telah diterapkan cukup lama dan sangat diyakini penggunaannya oleh para petani sejak masa lampau hingga masa kini. Dalam sistem Keuneunong tersebut, telah tercantumkan jadwal-jadwal terbaik serta berbagaj larangan dalam bekerja dan berusaha tani padi, termasuk juga hari yang baik dalam menaburkan benih tanaman atau menanam berbagai tanaman seperti berikut ini:[2]
Hari
|
Jenis
|
Tanaman
|
Waktu Terbaik
|
Minggu
|
Berbatang
|
Jati, mahoni,karet, dll
|
pagi ataupun disore hari
|
Senin
|
Berbuah dalam tanah
|
Kunyit, jahe, ubi, kacang tanah, dll
|
Menjelang tengah hari
|
Senin
|
Berbuah
|
Jagung, padi, kacang hijau, kacang panjang, dll
|
Tengah hari
|
Rabu
|
Berbunga
|
Jeumpa, Mawar, seulanga dll
|
Tengah hari, ashar
|
Kamis
|
Berdaun
|
Sawi, Nilam, kangkung dan bayam
|
Pagi atau tengah hari
|
Jumat
|
Berbuah di atas
|
Kelapa, mangga, kopi, cabe, terong dll
|
Usai shalat Jumat
|
Sabtu
|
Berakar
|
Akar, ginseng, Tuba, ginseng, dl
|
Tengah hari
|
Keuneunong juga telah menginformasikan setiap kelebihan dan juga kekurangan selama menanam pada bulan-bulan tertentu. Para nelayan dan petank tradisional di Aceh juga hingga saat ini masih memakai keuneunong sebagai dasar perkiraan untuk melaut dan bertani jenis tanamana lainnya selain padi. Hal ini seperti terungkap dalam "hadih maja": di mana “Keunong siblah tabu jareung", "keunong sikureung rata-rata", "keunong tujoh pih jeut mantong", "keunong limong ulat seuba”. Artinya adalah pada keunoeng sebelas (11) lebih baik benih padi disemai dengan jarak yang jarang. Lalu Keunong sembilan (9) arrinya harus ditabur rata. Lalu Keunong tujuh (7) juga diartikan masih bisa tabur, tetapi keunong lima (5) artinya masuk musim datang berbagai jenis ulat-ulat daun.[2]
Kalender Aceh
Mengesahkan Kalender Aceh
Sejak tahun 2015 lalu, sistem penanggalan Keuneunong telah dijadikan sebagai acuan dalam membuat kalender khusus untuk kawasan atau provinsi Aceh. Maka, dalam Kalender Aceh, sistemnya dihitung sesuai sistem Keuneunong namun tetap memakai penanggalan pada Kalender Masehi. Kalender Aceh juga disikluskan berdasarkan peristiwa penting dalam ajaran agama Islam dalam penanggalan Arab.[6]
Bulan pada kalender Aceh ini tetap 12 bulan. Bulan (bahasa Aceh disebut beuluen) pertama disebut "Asan-usen". Bulan Asan-asun sebagai bulan yang bertepatan pada waktu Muharram di dalam tahun Hijriah. Bulan Asan-usen akan merujuk kepada peristiwa terbunuhnya Husen dan Hasan, cucu Nabi Muhammad SAW. Bulan selanjutnya disebut "Sapha" (Safar), lali kemudian bulan "Molot" atau disebut juga bulan "Mulot Phon" di mana bulan ini bertepatan pada Rabiul Awal, sebuah bulan yang sangat identik dengan tradisi Maulid nabi. Bulan berikutnya adalah Adoe Mulot atau "Mulot Teungoh" (berkenaan dengan masa Rabiul Akhir). Lalu bulan berikutnya ialah bulan "Mulot Seuneulheuh" atau disebut juga bulan "Madika Phon"(berkenaan dengan bulan Jumadil Awal).[6]
Bulan "Khanduri Boh Kayee" atau disebut juga bulan kenduri buah-buahan (sebagai masa Jumadil Akhir). Lalu ada bulan "Khanduri Apam" (bersamaan dengan bulan Rajab), bulan yang dikenal dengan sebuah tradisi kenduri apam, penganan yang menyerupai atau sejenis surabi. Selanjutnya adalah bulan ke delapan dikenal dengan bulan "Khanduri Bu" (berkenaan dengan Sya’ban). Disusul bulan "Puasa" (bulan Ramadhan), lalu bulan "Uroe Raya" (bulan Syawal), lalu ada bulan "Meuapet" atau disebut juga "Meurapet" (bulan Dzulqaidah) dan terakhir adalah bulan "Haji" (bulan Dzulhijjah).[6]
Sementara itu untuk penggunaan nama-nama pada hari di Kalender Aceh, dimulai dengan hari Seulanyan (Senin), Seulasa (Selasa), Rabu (tetap Rabu), Hameh (Kamis), Djeum’at (Jumat), Sabtu (tetap Sabtu) dan terakhir Aleuhad atau Ahad (Minggu). Peluncuran kalender Aceh akan dilengkapi berbagai gambar dengan latar belakang budaya Aceh, Masjid, adat, sastra Aceh dan berbagai hal yang berkenaan dengan Aceh.[6]
Kalender Aceh, telah diresmi pada peluncurannya di acara 'Aceh Hijriah Carnival', sekaligus dalam rangka memperingati Tahun Baru Islam, 1 Muharram 1437 H, yang diadakan do Taman Sari, kota Banda Aceh, Aceh. Lebih lanjut, dalam almanak Aceh ini disusun berdasarkan atau sesuai dengan penanggalan Aceh. Karena Sejak masa lampau, masyarakat Aceh telah memiliki penanggalan tersendiri yang telah merujuk pada tahun Hijriah, di mana peristiwa-peristiwa besar dalam agama Islam serta tradisi Aceh, terkandung di dalamnya.[7]
Hanya saja, Penanggalan yang ada itu, sejak dahulu dipakai namun secara konsep tidaklah tertulis, dan tidak memiliki format pasti yang ada pada kalender Masehi sekarang. Sistem penanggalan Orang Aceh menetapkan hanya dengan mengingat dari terjadinya berbagai peristiwa besar, lalu diterapkan dalam kehidupan sosial.[4] Mengingat hal itulah, agar tradisi penanggalan itu idak hilang karena tergerus dan terpengaruh zaman, pihak Adat Aceh berinisiatif untuk menyusun sebuah kalender yang diberi nama Kalender Aceh dalam bentuk print atau baku dan tertulis kedalam format kontemporer. Dengan harapan Adat Aceh, generasi muda dan orang Aceh bisa mempertahankan adat yang telah mengakar dalam kehidupan mereka dari generasi ke generasi. Dan penanggalan di kalendar Aceh, mempunyai keunikan sendiri yang tidak ada di dalam kalender atau Almanak Masehi maupun kalender atau Almanak Hijriah.[7]
Kalender Aceh Digital
Teuku Farhan, sebagai Direktur Eksekutif MIT, sangat mendukung segala upaya serta setiap karya dan warisan perabadan-peradaban Aceh. Farhan berbendapat bahwa perlu untuk meningkatkannya dengan cara melakukan digitalisasi kedalam bentuk media yang lebih modern dan kekinian. Selain itu juga, digitaliasi sangat berdampak positif serta bermanfaat bagi generasi muda, khususnya warga Aceh, sehingga dengan begitu banyaknya konsep peradaban yang bisa untuk dikembangkan melalui jaringan internet.[8]
Setelah disusun dalam bentuk fisik oleh Haekal Afifa, selaku ketua IPA (Ketua Institut Aceh), pada tanggal 14 Oktober 2015 (1 Muharram 1437 Hijriah) di Banda Aceh, kemudian Kalender Aceh ini untuk pertama kali dikembangkan dalam bentuk aplikasi Kalender. Tujuannya adalah agar peradaban Aceh masuk kedalam peradaban modern dan dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman yang sudah memasuki era digitalisai.[8]
Farhan melakukan pengembangan aplikasi kalender Aceh secara sukarela. di mana hampir semua penduduk Indonesia dan Aceh secars khusus telah memiliki Smartphone yang mendukung untuk mendownload dan memakai Kalender Aceh dalam bentuk digital atau aplikasi. Di dalam Play Store di sistem Android, diberi nama aplikasi "Kalender Almanak Aceh". Farhan juga berpendapat bahwa Kalender Aceh yang diyakink sudah eksis sejak zaman Kerajaan Islam Samudera Pasai di mana penanggalannya dilakukan berdasarkan pada perputaran bulan, bukan perputaran matahari seperti yang ada pada kalender Masehi. Penanggalan yang dipakai adalah merujuk pada sistem penanggalan tahun Hijriah, sejarah serta momentum-momen penting dalam ajaran agama Islam.[8]
Referensi