Ketertarikan akan kemuakanKetertarikan akan kemuakan adalah emosi kompleks yang melibatkan ketertarikan terhadap hal-hal yang tidak menyenangkan, menjijikkan, dan tidak disukai atau dibenci.[butuh rujukan] PsikologiFitur menyenangkan dari rasa halus merupakan contoh dari masokisme jinak.[1] Setiap perasaan negatif berpotensi menjadi sesuatu yang menyenangkan ketika perasaan tersebut dibiarkan dari keyakinan bahwa apa yang terjadi sebenarnya buruk dan meninggalkan gairah fisiologis yang dengan sendirinya menggembirakan atau menarik. Masokisme jinak merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan pencarian kenikmatan dari pengalaman yang umumnya tidak menyenangkan yang secara fisik ditafsirkan sebagai sesuatu yang menjijikkan. Semua orang bisa menikmati semua hal yang ingin dinikmati, namun sebagian orang menemukan kenikmatannya dari memaksakan tindakan merugikan pada dirinya sendiri meskipun itu sangat menyakitkan atau menjijikkan. Tindakan ini merupakan kebalikan hedonis, yakni mengubah ketidaksenangan menjadi kesenangan dan hal inilah yang menjadi inti dari masokisme jinak.[2] Kesadaran bahwa tubuh telah ditipu dan bahwa tidak ada bahaya nyata, mengarah pada kesenangan yang berasal dari pikiran atas tubuh.[3] Reaksi dan kritikMeskipun ilmu pengetahuan menganggap bahwa rasa muak atau jijik bisa berevolusi menjadi tameng bagi pertahanan diri dari segala perbuatan atau sikap tercela yang berpotensi membahayakan diri, misalnya perkawinan sedarah dan kanibalisme namun di sisi lain pandangan ini ditentang. Marta NussbaumIa menjelaskan bahwa rasa jijik dan malu pada dasarnya bersifat hierarkis, keduany membentuk tingkatan dan tatanan manusia. Keduanya juga secara inheren terkait dengan pembatasan kebebasan dalam bidang perilaku yang tidak merugikan. Siapa pun yang menghargai nilai-nilai demokrasi utama berupa kesetaraan dan kebebasan harus sangat curiga terhadap seruan emosi tersebut dalam konteks hukum dan kebijakan publik. Menurut Stephen Jay Gould, prasangka seringkali mengalahkan keterbatasan informasi yang dimiliki oleh seseorang. Prasangka begitu refleksif sehingga manusia tidak pernah berhenti untuk mengakui status prasangka tersebut sebagai keputusan sosial dengan alternatif yang radikal dan sebaliknya manusia memandangnya sebagai kebenaran yang sudah pasti dan jelas. [4] Referensi
|