Kelas kultural adalah istilah dalam sosiologi yang berarti tingkatan masyarakat yang dibedakan oleh pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan. Istilah ini disebutkan oleh Jan Manclaw Machajski ketika menguraikan sebuah teori tentang masyarakat masa depan yang muncul dengan berbagai macam kelas, profesi, dan pekerjaan..Kelas terdidik atau intelegentsia dari masyarakat borjuis akan melahirkan kelas baru yang mendominasi pekerja manual. Berdasarkan perspektif anarkis, Jan Manclaw mengatakan bahwa eliminasi kapitalis tidak cukup untuk mengubah masyarakat. Machajski terinspirasi dari Marx yang mengatakan bahwa pekerjaan yang lebih membutuhkan keahlian, dan karenanya memerlukan pendidikan lebih, harus diberi bayaran yang lebih baik ketimbang pekerjaan yang tidak membutuhkan pendidikan.[1]
Max Weber secara tak langsung memengaruhi formasi konsep kelas kultural. Weber menganggap golongan borjuis perkotaan modern sebagai sebuah "kelas sosial" dan menisbahkan padanya tiga karakteristik: properti, hak warga, dan kebudayaan. Dalam perspektif Weberian, kultur bisa dilihat sebagai kekuatan aktif dan integratif dalam proses pembentukan kelas.
Alvin Gouldner secara langsung diilhami oleh Machcjski yang merumuskan teori teori yang menyatakan bahwa "kelas baru" intelektual humanistis dan cendekiawan teknik, kelas pemegang pengetahuan, sedang bergerak ke arah dominasi sosial. Anggota kelas baru ini adalah pemilik modal kultural yang terutama eksis dalam bentuk pendidikan tinggi. Mereka mulai menggantikan "kelas kaya lama" dalam proses perkembangan sosial. Menurut Qouldner, masa depan adalah milik mereka bukan milik pekerja.[1]
Referensi
- ^ a b Outhwaite, William (2008). Ensiklopedia Pemikiran Sosial Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media. hlm. 112. ISBN 978-979-1486-30-9.