Katiana

Katiana adalah upacara masa hamil suku Pamona, yaitu upacara selamatan kandungan pada masa hamil yang pertama seorang ibu. Upacara Katiana ini biasanya dilakukan apabila kandungan itu sudah berumur 6 atau 7 bulan, saat kandungan dalam perut sang ibu sudah mulai membesar.[1][2]

Tujuan pelaksanaan upacara

Maksud penyelenggaraan upacara Katiana ini adalah untuk memohon keselamatan ibu, rumah tangga, dan khususnya keselamatan bayi di dalam kandungan. Dengan upacara ini, bayi di dalam kandungan diharapkan dapat tumbuh subur, sempurna, dan tidak banyak mengganggu kesehatan sang ibu. Secara psikologis, upacara ini memberikan pegangan bagi sang ibu dan seluruh sanak kerabat agar tetap tabah dan kuat menghadapi hal-hal yang cukup kritis dalam kurun waktu 9 bulan masa kehamilan.[2]

Waktu pelaksanaan

Suku Pamona memiliki kepercayaan pada waktu-waktu yang baik dan waktu yang tidak baik. Dalam kaitannya dengan upacara Katiana, penyelenggara harus memperhitungkan waktu-waktu yang baik. Orang yang berperan menentukan waktu adalah para dukun atau topopanuju. Topopanuju jugalah yang dianggap dapat mengetahui apakah kandungan sudah berumur 6 atau 7 bulan, sekaligus menentukan waktu penyelenggaraan upacara. Biasanya yang menjadi dasar perhitungan penentuan waktu adalah keadaan bulan di langit. Apabila bulan di langit hampir purnama (antara tanggal 7 sampai 15 penanggalan bulan) berarti waktunya cukup baik. Bila bulan sudah mengecil (tanggal 16 sampai 30 penanggalan bulan), maka waktu dianggap kurang baik. Hal ini dikaitkan dengan anggapan agar bayi nanti yang akan lahir dan tumbuh sampai dewasa akan tetap cerah, yaitu secerah dengan terangnya bulan ke 7 sampai bulan ke 15 di atas langit itu.[2]

Tempat penyelenggaraan

Menurut adat suku Pamona, seorang pria akan tinggal di rumah keluarga istrinya. Demikian pula dengan penyelenggaraan upacara Katiana yang diadakan di rumah orang tua sang ibu yang sedang hamil. Biasanya sebelum upacara diselenggarakan, persiapan yang dilakukan antara lain mengundang seluruh kerabat kedua belah pihak serta para tetangga dekat dan kenalan-kenalan lainnya.[2]

Petugas pelaksana

Petugas yang melaksanakan upacara adalah topopanuju (dukun). Topopanuju ini adalah seorang wanita yang sudah tua (berumur lebih dari 50 tahun). Ia juga didampingi oleh orang-orang tua kampung terutama sanak keluarga yang semuanya terdiri atas perempuan yang sudah berkeluarga serta oleh tokoh adat setempat. Biasanya secara spontan seluruh orang tua yang mendengar berita akan diadakannya upacara ini akan hadir. Kadang-kadang, seluruh kerabat baik yang jauh maupun yang dekat diundang untuk menghadiri upacara ini, apalagi jika yang diupacarai adalah anak seorang bangsawan atau anak raja.[2]

Ritual

Perlengkapan dan persiapan

Persiapan sebelum upacara meliputi pengadaan materi dan alat-alat yang diperlukan serta pantangan-pantangan (tabu) yang perlu dihindari. Alat-alat upacara di sini adalah:[2]

  1. Seperangkat sirih pinang (tembakau, sirih, kapur, dan gambir, lambang kesucian, pergaulan, hubungan kekerabatan, dan mempererat tali silahturahmi. Supaya bayi yang lahir tetap suci dalam perjalanan hidupnya kelak, diharapkan menjadi tumpuan harapan hingga pernikahan, dan memiliki keturunan baik-baik, serta dapat bergaul dengan masyarakat lingkungannya.
  2. Seperangkat piring-piring adat
  3. Alat tumbuk padi yaitu alu. Alu adalah alat penumbuk padi yang biasa digunakan kaum wanita, sebagai lambang pekerjaan dan kehidupan yang lebih di waktu mendatang.
  4. Tikar (boru) yang terbuat dari daun pandan
  5. Satu ruas bambu yang diisi dengan air jernih. Air melambangkan agar saat melahirkan nanti tidak mengalami kesulitan, tetapi akan lancar seperti air mengalir.
  6. Ruangan upacara yang lantainya harus dari bambu

Tata pelaksanaan

Tahap-tahap pelaksanaan upacara Katiana adalah sebagai berikut:[2]

  1. Ibu yang mengandung mengambil tempat di ruangan upacara, yaitu di lantai yang terbuat dari anyaman bambu, didampingi suami, seluruh sanak keluarga (ibu-ibu) baik dari pihak suami maupun dari pihak istri. Dukun harus berada di samping ibu yang diupacarai sambil didampingi oleh tokoh adat setempat, sedangkan para undangan mengambil tempat di sekitar ruangan upacara hingga di sekitar rumah (rumah panggung).
  2. Ibu yang diupacarai tidak diperkenankan memakai baju, rok, dan celana dalam, kecuali sarung yang diikat di atas payudara, sedangkan toponuju dan para tokoh adat memakai pakaian adat (mbesa). Alat-alat perlengkapan upacara seperti seperangkat sirih pinang, seperangkat piring adat, alu, boru (tikar), ruas bambu yang berisi air jernih, lemon suanggi (sejenis sirih), dan bunga pinang diletakkan di depan sang ibu yang diupacarai.
  3. Toponuju memulai mengambil ruas bambu yang berisi air jernih sambil membaca mantra-mantra, kemudian air di dalam bambu disiramkan ke kepala sang ibu perlahan-lahan sebanyak tujuh kali. Selanjutnya, tokoh adat yang mendampinginya juga menyiram air di kepala sang ibu, dilanjutkan ibu dari sang ibu hamil serta para ibu kerabat lainnya. Setelah itu upacara puncak dianggap selesai.
  4. Kegiatan dilanjutkan dengan makan-minum. Bagi keluarga bangsawan, biasanya makanan yang disajikan cukup besar karena memotong kerbau, tetapi hal ini tidak mengikat karena dapat cukup dengan minum saja.

Pantangan

Pantangan-pantangan yang harus dihindari adalah semua benda yang bergantung harus diturunkan, belanga yang tertutup oleh penutup belanga harus dibuka, timba yang tertelungkup harus dibuka, peserta upacara harus membuka cincin, gelang, rantai, dan semua yang mengikat dirinya harus dilonggarkan. Selain itu, sang ibu yang diupacarai dan suaminya serta kedua orang tuanya baik pihak perempuan maupun pihak laki-laki tidak diperkenankan marah (harus selalu merasa gembira), dilarang menyembelih binatang apapun juga, dan tidak boleh mengejek orang yang cacat. Sang ibu yang diupacarai selama mengandung sampai melahirkan harus selalu membawa lemon suanggi (diberikan oleh Toponuju pada waktu upacara Katiana diselenggarakan) karena dipercaya dapat menolak bahaya, gangguan setan, dan sebagainya.[2]

Apabila pantangan-pantangan tersebut dilanggar, terdapat kepercayaan akan timbul akibat buruk bagi sang ibu dan keluarganya, bahkan bagi janin di kandungan; misalnya adalah susah melahirkan, lahir cacat, atau sang ibu dan keluarganya mendapat musibah.[2]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Perpustakaan Sejarah Kalimantan Barat - Pontianak. UPACARA TRADISIONAL DAERAH SULAWESI TENGAH Diarsipkan 2013-10-30 di Wayback Machine..
  2. ^ a b c d e f g h i Teluk Palu. 1 Juli 2007. Katiana Diarsipkan 2013-10-29 di Wayback Machine.. Sumber: Perpustakaan Daerah Propinsi.

Pranala luar