Kasus suap daging sapi impor adalah kasus suap di Indonesia yang terjadi pada awal 2013 terkait pengaturan kuota sapi impor menjadi 8000 ton. Tercatat uang sebesar 1,3 miliar digunakan untuk penyuapan yang akhirnya berujung pada hukuman penjara. Kasus ini melibatkan saksi yang berasal dari individu, pihak swasta dan pemerintah, mulai dari Elda Devianne Adiningrat, Thomas Sembiring, menteri pertanian Suswono bahkan hingga aktris Ayu Azhari dan model Vitalia Sesha. Atas kasus tersebut KPK melakukan penyitaan sejumlah barang terkait kasus suap daging sapi impor.[1]
Setelah melalui berbagai rangkaian proses penyidikan, KPK kemudian menetapkan 5 orang sebagai tersangka. Mereka adalah Luthfi Hasan Ishaaq yang saat itu menjabat sebagai presiden Partai Keadilan Sejahtera dan anggota DPR periode 2009-2014, Ahmad Fathanah serta pihak Indoguna Utama yang terdiri dari Arya Abdi Effendi, Juard Effendi serta Maria Elizabeth Liman. Latar belakang sebagai presiden PKS dan perannya untuk mempengaruhi menteri pertanian Suswono plus kasus pencucian uang menjadikan Luthfi sebagai aktor utama dari kasus ini. Pun dengan Fathanah yang tersandung kasus pencucian uang. Alhasil keduanya menerima hukuman paling berat di antara semua tersangka, yakni hukuman penjara selama 16 tahun.[2][3]
Kronologi Awal
Pada awal 2013 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengendus adanya indikasi terjadinya suap dalam hal proses pengimporan daging sapi karena saat itu impor daging sapi sedang dibatasi. Kecurigaan itu didapatkan dari informasi yang diterima KPK bahwa terjadi serah terima uang mengenai proses impor daging yang dilakukan oleh Juard Effendi dan Arya Arby Effendi dari PT Indoguna Utama kepada Ahmad Fathanah. Untuk membuktikan kebenarannya, KPK kemudian mengikuti Ahmad Fathanah di kantor PT Indoguna Utama yang terletak di Jakarta Timur pada Selasa, 29 Januari 2013. Saat dipantau, KPK menemukan bahwa informasi yang mereka dapatkan memang benar adanya. Terjadi transaksi keuangan yang dilakukan oleh Juard dan Arya kepada Fathanah kala itu.[4][5]
Pada sore hari setelah melakukan transaksi di kantor PT Indoguna Utama, Ahmad Fathanah lalu beranjak dengan membawa uang tersebut ke Hotel Le Meridien yang terletak di Jakarta Pusat. Di sana KPK menemui bahwa Ahmad Fathanah sempat bertemu dengan seorang mahasiswi 19 tahun berinisial M. Namun KPK tak tahu secara pasti terhadap apa yang mereka berdua lakukan saat itu.[5][6]
Pada pukul 20.20 WIB, KPK langsung menangkap Fathanah beserta mahasiswi berinisial M yang saat itu tengah berada di basement. Selain itu KPK juga menyita uang sebesar Rp 1 miliar berupa pecahan Rp 100.000 yang dibungkus dalam kantong plastik yang ada di jok belakang beserta dua buah buku tabungan Bank Mandiri dan sebuah tas berwarna hitam. Tanpa pikir panjang KPK kemudian membawa kedua orang tersebut ke gedung KPK. Tak lama berselang setelah penangkapan Fathanah dan mahasiswi berinisial M, KPK melakukan penangkapan terhadap Juard dan Abdi Arya di daerah Cakung, Jakarta Timur untuk kemudian dibawa ke gedung KPK. Penangkapan tersebut terjadi pada pukul 22.30 WIB. Tak hanya itu saja, KPK juga melakukan pengamanan terhadap sopir PT Indoguna Utama dan sopir Ahmad Fathanah. Dalam hal ini KPK menduga bahwa PT Indoguna Utama akan menyuap Luthfi Hasan Ishaaq berhubungan dengan rekomendasi impor daging sapi di Kementerian Pertanian[4][6]
Keesokkan harinya, yakni pada Rabu, 30 Januari 2013 KPK menggeledah kantor PT Indoguna. Di sana KPK juga menyita beberapa barang dan memberikan garis polisi. Selain itu KPK juga memantau di beberapa titik. Pada pukul 20.00 WIB KPK memberikan pengumuman bahwa tiga orang yang tertangkap, yakni Ahmad Fathanah, Arya Arby Effendi dan Juard Effendi adalah tersangka karena berperan dalam kasus suap-menyuap daging sapi impor. Juard dan Arby disangkakan pada pasal 5 ayat 1 atau pasal 13 UU No. 31 tahun 1999 dan UU No. 20 tahun 2001 juncto pasal 55 KUHP sementara Luthfi Hasan Ishaaq disangkakan pada pasal 12 a atau b pasal 5 ayat 2 atau pasal 11 UU No. 32 tahun 1999. Pada 23.30 WIB KPK lalu menjemput Luthfi untuk diperiksa karena ada dua alat bukti terkait keikutsertaan Luthfi dalam kasus ini.[4][6]
Luthfi kemudian mengundurkan diri sebagai Presiden PKS keesokan harinya, yakni pada 31 Januari 2013.[7] Pada tanggal yang sama KPK juga melakukan penggeledahan di unit apartemen Ahmad Fathanah yang terletak di Margonda, Depok dengan mengirimkan 4 orang tim penyidik dan 1 orang pekerja bagian operasional KPK. Diketahui bahwa kamar apartemen itu disewa atas nama Sefti Sanustika, istri Fathanah. KPK melakukan penggeledahan dengan tujuan untuk mencari bukti-bukti pendukung. Saat penggeledahan terjadi, istri Fathanah ada di lokasi dan menyaksikannya.[8][9][10]
Untuk mengusut lebih jelas kasus suap daging sapi, KPK melakukan pemeriksaan kepada Elda Devianne Adiningrat pada Kamis, 14 Februari 2013. Pemeriksaan berlangsung selama 11 jam di gedung KPK. Elda yang menjabat sebagai Ketua Asosiasi Perbenihan Indonesia dan KomisarisPT Radina Bio Adicita ini dianggap mengetahui seluk-beluk masalah ini sehingga dicegah untuk berpergian ke luar negeri selama 6 bulan. Elda memiliki peran sebagai perantara antara PT Indoguna Utama dengan pengimpor daging dan Luthfi Hasan Ishaaq. Keterkaitan Elda dalam kasus ini juga tak terlepas dari pertemuan yang berlangsung pada Januari 2013 yang mempertemukan antara dirinya dengan Menteri Pertanian Suswono dan Maria Elizabeth Liman dan membahas tentang rencana penambahan jumlah kuota daging sapi impor. Selepas pemeriksaan, Elda memilih diam saat diwawancarai oleh awak media.[13][14]
KPK kembali melakukan pemeriksaan saksi untuk tersangka Luthfi Hasan Ishaaq pada 18 Februari 2013. Selain Elda Devianne Adiningrat, saksi lain yang diperiksa adalah Menteri Pertanian Suswono, Maria Elizabeth Liman, Jerry Rogers dan Soewarso Martowihardjo.[15][16] Pemeriksaan untuk Suswono sendiri berlangsung selama hampir 7 jam.[17] Seusai melakukan pemeriksaan, ia menyampaikan kepada awak media bahwa ia tak terkait kasus 4 tersangka.[18]
Pada Kamis, 21 Februari 2013 Elda menjalani pemeriksaan kembali oleh KPK di gedung KPK. Namun Elda tidak sendiri. Pada hari yang sama juga diperiksa saksi lainnya terkait kasus suap daging sapi impor, yakni Ahmad Zaky, Sahrudin, Agung Suganda, Maria Elizabeth Liman serta Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pascapanen, Ahmad Junaedi. Pada pemeriksaan tersebut Elda menjadi saksi untuk Ahmad Fathanah. John Pieter Nazar, pengacaranya menjelaskan bahwa Elda telah mengenal Ahmad Fathanah dan Luthfi Hasan Ishaaq sejak September 2012 karena keduanya adalah kader PKS.[19]
Keesokkan harinya, yakni pada Jumat, 22 Februari 2013 KPK mengadakan pemeriksaan saksi lanjutan. Ada beberapa orang yang diperiksa, di antaranya adalah Elda dan Denni P Adhiningrat yang tak lain adalah suami Elda sendiri.[20] Menurut pengacara Elda, John Pieter, keterkaitan antara suami Elda dengan kasus ini adalah karena Elda pernah menggunakan ponsel genggam saat menghubungi Ahmad Fathanah untuk membahas pertemuan dengan Luthfi Hasan di Medan. John juga menjelaskan bahwa Denni tidak bergabung dalam pertemuan di Medan. Selain Denni, tiga orang yang diperiksa oleh penyidik KPK adalah Soewarso, Mansyur, dan Paulina Theresia Sululing.[21]
Pemeriksaan kedua atas menteri pertanian saat itu, Suswono dilakukan lagi pada Kamis, 14 Maret 2013 di Gedung KPK. Berlangsung selama 9 jam, saat itu Suswono menjadi saksi untuk Luthfi Hasan Ishaaq. Dalam pemeriksaan tersebut KPK kembali mempertegas soal seperti apa dan bagaimana pertemuan yang dilakukan olehnya dan Luthfi di Medan beberapa waktu lalu.[22][23][24]
Penyitaan barang
Salah satu langkah KPK dalam mengatasi kasus ini adalah melakukan penyitaan barang-barang yang dimiliki oleh tersangka dan orang-orang yang berkaitan dengannya. Demi mempelancar jalannya penyitaan, KPK kemudian mengeluarkan surat perintah penyidikan yang ditandantangani oleh ketua KPK, Abraham Samad per 25 Maret 2013. Setelah sempat mengalami kesulitan, KPK akhirnya berhasil melakukan penyitaan tak hanya Luthfi Hasan Ishaaq dan Ahmad Fathanah saja, melainkan juga barang-barang milik Ayu Azhari, Vitalia Shesya dan Tri Kurnia Puspita. Ketiga nama terakhir tersebut tercatat pernah menerima barang dan uang dari Ahmad Fathanah. Berikut adalah daftar barang-barang yang berhasil disita oleh KPK dalam kurun waktu 20 Maret hingga 10 Mei 2013. Dalam melakukan penyitaan, Ayu Azhari mengembalikannya sendiri dan Tri Kurnia Puspita mengembalikan uang sebesar Rp 400 juta:[1][25]
No.
Nama pemilik
Barang sitaan
1.
Luthfi Hasan Ishaaq
Toyota FJ Cruiser (B 1340 THE)
Mitsubishi Pajero Sport (B 1074 RFW)
Mazda CX9 (B 2 MDF)
VW Caravelle (B 948 RFS)
Toyota Fortuner (B 544 RFS)
Nissan Navara (B 9051 QI)
Mitsubishi Grandis (B 7467 UE)
2.
Ahmad Fathanah
Uang Rp 1 miliar (disita saat penangkapan)
Toyota FJ Cruiser (B 1330 SZZ)
Toyota Alphard (B 53 FTI)
Toyota Land Cruiser Prado (B 1739 WFN)
Mercedez Benz C200 (B 8749 BS)
3.
Ayu Azhari (artis)
Uang Rp 20 juta dan 1.800 dollar AS
4.
Vitalia Shesya (model)
Honda Jazz (B 15 VTA)
Jam tangan merek Chopard seharga Rp 70 juta
5.
Tri Kurnia Puspita (teman Fathanah)
Honda Freed
Gelang Hermes
Jam tangan Rolex
Peran pihak swasta
Kasus suap daging sapi impor 2013 tak terlepas dari peran pihak swasta, yakni PT Indoguna Utama. Ada tiga aktor yang 'bermain' dalam kasus ini demi terpenuhinya permintaan kuota daging sapi impor menjadi 8000 ton. Mereka adalah Arya Abdi Effendi selaku direktur PT Indoguna Utama, Juard Effendi dan Maria Elizabeth Liman selaku direktur utama PT Indoguna Utama. Mereka pun harus mempertanggungjawabkan atas apa yang telah diperbuat dengan menjalani berbagai sidang dan akhirnya harus menjalani vonis dari majelis hakim.
Arya Abdi Effendi dan Juard Effendi
Pada Rabu, 24 April 2013 pada pukul 09.00 WIB sidang perdana atas terdakwa Arya Abdi Effendi dan Juard Effendi diadakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Hadir pula Denny Kailimang yang berperan sebagai penasehat hukum kedua terdakwa. Dalam sidang tersebut Jaksa KPK menyatakan dalam dakwaan bahwa Arya dan Juard telah memberikan uang atau janji kepada penyelenggara, Luthfi Hasan Ishaaq dan menyebut bahwa tujuan utama dari penyuapan tersebut adalah untuk membantu pengajuan kuota impor sapi dari 5 perusahaan yang tergabung dalam grup perusahaan Indoguna Utama sebanyak 8000 ton di Kementerian Pertanian pada 2013. Rinciannya adalah sebanyak 1000 ton untuk PT Indoguna, 1500 ton untuk PT Sinar Terang, 2300 ton untuk CV Karya Indah, 2200 ton untuk CV Surya Cemerlang Abadi dan 1000 ton untuk CV Nuansa Guna Utama.[26][27]
Pada Rabu, 12 Juni 2013 sidang diadakan kembali untuk terdakwa Arya dan Juard dengan agenda pembacaan tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Dalam sidang M Rum yang bertugas sebagai jaksa menuduh mereka telah mendukung melakukan korupsi, memberikan keterangan yang bertele-tele dan tidak mengakui kesalahannya. Atas tindakan tersebut, mereka dihukum dengan tuntutan 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 200 juta subsider 4 bulan kurungan penjara karena melanggar UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.[28][29]
Berikutnya sidang berlanjut pada 19 Juni 2013 dengan agenda pembacaan pembelaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dalam sidang itu Juard menjelaskan bahwa kasus suap daging sapi impor tak terlepas dari bujukan Ketua Asosiasi Perbenihan Indonesia, Elda Devianne Adiningrat alias Bunda terkait penambahan kuota daging sapi impor di Kementerian Pertanian kepada Maria Elizabeth Liman. Selain itu Juard juga menyebutkan nama Hatta Rajasa yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Perekonomian yang dianggap terlibat untuk meningkatkan jumlah kuota.[30]
Berdasarkan penjelasan Juard, Elda telah menyuruh bawahannya, Jerry Roger Kumontoy untuk membujuknya untuk melakukan upaya agar kuota impor daging sapi dapat bertambah menjadi 8000 ton pada 2013 dan menyebut bahwa Hatta Rajasa telah setuju untuk menambah kuota sebanyak 20 ribu ton. Menanggapi permintaan Jerry, Juard kemudian meminta stafnya, Priyoto untuk membuat surat permohonan penambahan kuota daging sapi impor untuk diserahkan secara langsung di sebuah minimarket di dekat Kementerian Pertanian kepada Jerry. Tak sampai di sini saja, setelah menghubungi Ketua Asosiasi Importir Daging Sapi, Thomas Sembiring yang memiliki jatah kuota sebesar 10 ribu ton, Elda juga terus membujuk Maria agar mau terlibat dalam penambahan kuota daging sapi impor. Juard telah berusaha meyakinkan kepada Maria agar tidak terpengaruh pada bujukan Elda. Namun ternyata usahanya tidak berhasil.[30]
Sementara itu dalam nota pembelaan alias pledoi, Arya menyatakan bahwa ia menyesal telah mengenal Fathanah dan Elda karena menganggap mereka telah menipu keluarganya, mulai dari dirinya, ibunya, Maria Elizabeth Liman dan pamannya, Juard Effendi. Ia menjelaskan bahwa uang Rp 1 milar tersebut awalnya hendak digunakan untuk kegiatan safari dakwah dan kegiatan kemanusiaan di Papua sebagai bagian dari Corporate Social Responsibiliy (CSR) perusahaan yang disalurkan untuk kegiatan operasional PKS melalui Ahmad Fathanah. Namun ternyata uang tersebut justru digunakan sebagaimana mestinya melainkan digunakan untuk kepentingan pribadi Fathanah. Selain uang sebesar Rp 1 miliar, Arya juga mengaku bahwa pihak Indoguna Utama juga sempat memberikan uang sebesar Rp 300 kepada Elda melalui Jerry sebagai uang jasa karena telah bekerja selama dua hingga tiga bulan terkait penambahan kuota daging sapi impor.[31]
Maria Elizabeth Liman
Berdasarkan hasil pengembangan penyidikan kasus suap daging sapi impor, per April 2013 KPK menetapkan Maria Elizabeth Liman sebagai tersangka.[32] Beberapa bulan kemudian tepatnya pada 17 Desember 2013 KPK akhirnya melakukan penahanan. Maria akhirnya harus mendekam di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta selama 20 hari, kemudian diperpanjang lagi selama 40 hari ke depan terhitung dari 5 Januari hingga 14 Februari 2014. Terkait penahanan tersebut, Maria beranggapan bahwa ia tidak bersalah dan menyalahkan Elda Adiningrat dan Ahmad Fathanah atas apa yang telah mereka lakukan. Maria juga menegaskan bahwa ia tidak pernah memberikan atau menjanjikan apapun dan kepada siapapun tentang kuota daging sapi impor.[33][34]
Sidang perdana kemudian digelar pada Selasa, 11 Maret 2014 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Ia didakwa telah memberikan suap atau menjanjikan uang sebesar Rp 1,3 miliar dari seluruh yang dijanjikan, yakni 40 miliar kepada Luthfi Hasan Ishaaq melalui Ahmad Fathanah. Untuk memberikan dukungan, puluhan karyawan PT Indoguna Utama datang dengan mengenakan kemeja putih. Mereka berharap sidang berjalan dengan adil dan sebagaimana mestinya.[35][36]
Keterlibatan Maria kemudian bergulir pada sidang dengan agenda pembacaan tuntutan pada 22 April 2014. Dalam kesempatan itu Jaksa Penuntut Umum KPK meminta majelis hakim untuk memberikannya hukuman 4 tahun 6 bulan dan denda sebesar Rp 200 juta subsider 4 bulan. Hal itu dikarenakan JPU menganggap Maria mendukung terjadinya praktek korupsi serta tidak mengakui perbuatan yang telah dilakukannya. Atas hal tersebut Maria disangkakan pada Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP sebagaimana dalam dakwaan pertama.[37] Atas tuntutan tersebut, Maria merasa keberatan. Menurutnya tuntutan tersebut terlalu tinggi. Ia pun merasa bahwa ia hanya dimanfaatkan saja oleh Elda dan Fathanah. Hal itu juga dibenarkan oleh Denny Kailimang selaku penasehat hukumnya.[38][38][39]
Sebagai bentuk keberatan, Maria kemudian mengajukan nota pembelaan atau pledoi yang berjudul "Saya pengusaha, bukan penyuap.". Sidang dengan agenda pledoi sendiri diadakan pada Selasa, 29 April 2014. Dalam sidang tersebut Maria menyatakan bahwa ia hanya korban dari makelar seperti Elda dan Fathanah dan tidak pernah ada maksud untuk menyuap Luthfi sebesar Rp 1,3 miliar agar permintaannya akan penambahan kuota daging sapi impor terpenuhi. Ia juga menjelaskan bahwa uang senilai Rp 1 miliar yang diberikan kepada Fathanah adalah sumbangan kemanusiaan untuk Papua dan Nusa Tenggara Barat sementara uang Rp 300 juta adalah upah jasa untuk Elda. Dalam kesempatan tersebut ia juga menyalahkan Juard Effendi karena ia yang menangani masalah penambahan kuota.[40][41]
Menindaklanjuti sidang-sidang yang telah dijalankan oleh Maria, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta lalu mengadakan sidang dengan agenda pembacaan putusan Majelis Hakim pada Selasa, 13 Mei 2014. Dalam sidang tersebut Majelis Hakim menjatuhkan vonis kepada Maria berupa hukuman penjara selama 2 tahun 3 bulan penjara plus denda Rp 100 juta subsider tiga bulan kurungan. Vonis ini lebih ringan dibanding vonis yang diterima oleh Luthfi Hasan Ishaaq karena Maria dinilai memberikan sumbangsih terhadap masalah kelangkaan daging sapi nasional.[42][43] Setelah sidang selesai, Maria kemudian disambut oleh puluhan karyawan PT Indoguna Utama.[44]
Perkembangan kasus Fathanah
Persidangan
Perkembangan kasus kemudian bergulir pada diadakannya sidang perdana Ahmad Fathanah sebagai tersangka lain dari kasus suap impor daging sapi dan pencucian uang. Sidang tersebut diadakan pada Senin, 24 Juni 2013 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Saat sidang perdana dilaksanakan, Ahmad Fathanah datang bersama istrinya, Sefti Sanustika.[45]
Dalam rentang waktu seminggu sejak sidang pertama, sidang lanjutan diadakan kembali pada 1 Juli 2013 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dengan agenda pembacaan eksepsi atau nota keberatan. Sidang menghadirkan Fathanah dan Luthfi sebagai tersangka kasus suap daging sapi impor namun digelar secara terpisah. Berdasarkan keterangan pengacara, Ahmad Rozi, Fathanah adalah makelar proyek dan itu merupakan profesi yang legal di mata hukum.[47]
Hasil dari sidang kedua adalah adanya permintaah kepada Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk membatalkan statusnya dari hukum. Hal itu dikarenakan pihak Fathanah beranggapan bahwa surat dakwaan yang ditulis oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK tidak memenuhi ketentuan pasal 143 KUHAP karena tidak menjelaskan secara rinci tentang apakah tindakan Fathanah dilatarbelakangi oleh Luthfi Hasan Ishaaq atau tidak. Surat dakwaan juga dianggap tidak memenuhi kriteria karena tidak menjelaskan apakah Menteri Pertanian telah mewujudkan permohonan penambahan kuota daging sapi impor atau tidak. Pihak Fathanah mempertanyakan kejelasan dari surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum.[48] Namun usaha pihak Fathanah sia-sia. Pada 15 Juli 2013 ketua Majelis Hakim Pengadilan Tindak menolak mengabulkan eksepsi yang telah diajukan.[49][50]
Sidang kembali digelar pada 10 Oktober 2013. Kali ini baik Luthfi ataupun Fathanah akah memberikan kesaksian satu sama lain. Pada sidang kal ini Luthfi membenarkan bahwa telah terjadi transaksi pemberian uang senilai Rp 300 juta dari Fathanah melalui Nurhasan, sopir Fathanah di pom bensin di daerah Pancoran, Jakarta Selatan. Kendati demikian, Luthfi malah mengiranya uang tersebut merupakan cicilan pembayaran utang karena Fathanah pernah memiliki utang dari tahun 2004. Perihal uang sebesar Rp 750 yang diberikan di parkiran Rumah Sakit (RS) Abdi Waluyo, Jakarta Pusat, Luthfi mengatakan bahwa ia tidak mengetahuinya.[51]
Nurhasan sempat memberikan keterangan bahwa kedua hal tersebut adalah benar. Namun mengenai berapa jumlah uang yang ada di dalam tas yang ia berikan ia tidak tahu pasti karena hanya ditugaskan mengantarkannya saja ke SPBU. Hal serupa juga diutarakan oleh Ali Imran selaku sopir Luthfi.[51]
Pada 21 Oktober 2013 pengadilan mengadakan sidang dengan agenda pembacaan tuntutan dengan Nawawi Pomolangi yang berperan sebagai Ketua Majelis Hakim.[52] Dalam sidang tersebut Jaksa Penuntut Umum KPK meminta majelis hakim untuk memberikan hukuman kepada Fathanah berupa kurungan penjara selama 17 tahun dan 6 bulan penjara serta wajib membayar denda sebesar Rp 500 juta atau diganti dengan 6 bulan penjara. Tuntutan tersebut merupakan gabungan dari akibat tindakan Fathanah dalam keterlibatannya pada kasus suap serta Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)[53][54]
Pengadilan lalu menggelar sidang lanjutan dengan agenda pembacaan nota keberatan atau pledoi berjudul "Hukuman yang Dipaksakan" pada 28 Oktober 2013. Tak seorang diri, hadir pula istri Fathanah, Sefti Sanustika yang saat itu juga memberikan kesaksian. Dalam nota pembelaannya, Fathanah menjelaskan bahwa ia tidak pernah memberikan uang kepada Luthfi. Ia juga bertutur bahwa ia telah mendapatkan hukuman moral dari masyarakat.[55][56]
Sidang belum selesai. Pada Senin, 4 November 2013 Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta kembali mengadakan sidang dengan agenda pembacaan tuntutan. Mulanya sidang direncanakan diadakan pada pukul 14.00 WIB namun karena menunggu kelengkapan seluruh anggota majelis, maka sidang pun diundur menjadi pukul 16.40 WIB. Dalam sidang tersebut, Majelis Hakim melimpahkan hukuman kepada Ahmad Fathanah berupa kurungan penjara selama 14 tahun serta denda Rp1 miliar subsider 6 bulan atas kasus gratifikasi. Keputusan tersebut dibuat setelah adanya kesepakatan dari lima anggota majelis hakim.[57]
Hukuman yang harus ditanggung oleh Fathanah kemudian jadi bertambah berat setelah Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menetapkan keputusan baru pada 26 Maret 2014. Keputusan tersebut adalah menambah hukuman menjadi pidana penjara selama 16 tahun dan wajib denda sebesar Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan penjara pada 26 Maret 2014. Hal itu dilakukan untuk menimbulkan efek jera sekaligus sebagai timbal balik karena Fathanah telah merugikan masyarakat dengan melambungnya harga daging sapi. Adapun anggota majelis hakim yang terlibat dalam keputusan tersebut adalah Elang Prakoso Wibowo, Roki Panjaitan, As'adi Al Ma'ruf dan Sudiro.[2]
Bilik asmara
Di tengah-tengah jalannya proses persidangan, Sefti Sanustika menyatakan keinginannya untuk disediakannya bilik asmara di Rumah Tahanan KPK, Jakarta untuk memenuhi rasa kangennya terhadap suaminya, Fathanah. Hal tersebut ia sampaikan di Gedung KPK pada Kamis, 11 Juli 2013 saat menjenguk Fathanah.[58] Keinginan itu ternyata disepakati oleh Fathanah. Ia juga merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan oleh istrinya. Juru bicara KPK menjelaskan bahwa KPK memang tidak menyediakan ruangan untuk hubungan suami-istri. Namun jika memang diinginkan, juru bicara KPK kemudian menyarankan kepada Sefti untuk mengajukan surat permintaan terkait bilik asmara kepada KPK.[59]
Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, Sefti lantas membuat surat permintaan terkait bilik asmara.[60] Namun belum sempat surat itu disampaikan, pada 22 Juli 2013 KPK menegaskan bahwa mereka menolak permintaan Sefti dan menyarankan Sefti untuk lebih bersabar. Sefti pun menyesalkan keputusan KPK. Sementara itu Fathanah memilih untuk pasrah.[61][62]
Keterlibatan Luthfi Hasan Ishaaq
Sidang perdananya dilaksanakan pada waktu bersamaan dengan sidang perdana Ahmad Fathonah, yakni pada Senin, 24 Juni 2013 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Walau bersamaan, keduanya dilaksanakan secara terpisah. Pada sidang perdana Luthfi tidak datang seorang diri melainkan bersama pengacaranya Zainuddin Paru. Dalam dakwaan ia disebut telah melakukan kegiatan yang berkaitan dengan menempatkan, mentransfer, membayarkan atau membelanjakan harta kekayaan dari hasil korupsi bersama Ahmad Fathanah. Jaksa juga menyatakan bahwa Luthfi diduga menerima suap sebesar Rp 1,3 miliar dari Direktur Utama PT Indoguna Utama, Maria Elizabeth Liman untuk menambahkan kuota impor daging sapi dan menerima mobil Land Cruiser dari Komisaris PT Radina Niaga, Elda Devianne Adiningrat. Atas tindakan tersebut Luthfi disangkakan pada UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang.[45][63]
Sidang kembali dilanjutkan pada Senin, 1 Juli 2013. Kali ini agenda yang dilakukan adalah pembacaan eksepsi atau nota keberatan atas dakwaan jaksa. Awalnya sidang direncanakan berlangsung pada pukul 09.00 WIB. Namun lantaran jaksa sedang ada acara, maka sidang pun diundur menjadi pukul 13.00 WIB.[64] Dalam sidang penasehat hukum Luthfi, M Assegaf meminta majelis hakim untuk mengabulkan eksepsi yang telah diajukan. Menurut Zainuddin Paru, penasehat hukum lainnya, Luthfi bukanlah penyelenggara negara, sekalipun ia adalah anggota DPR, karena Luthfi tidak memiliki wewenang terhadap kebijakan atau rekomendasi penambahan kuota daging sapi impor. Penasehat hukum tersebut juga mengatakan bahwa dakwaan sidang tidak jelas. Maka sudah seharusnya Luthfi dibebaskan dari tuntutan hukum.[65] Usai sidang Luthfi meminta izin untuk melakukan pemeriksaan kesehatan atas penyakit wasir stadium tiga yang dideritanya.[66]
Penjelasan dari para saksi membantu KPK dalam menyusun kepingan-kepingan puzzle pada kasus suap daging sapi impor. Itulah yang terjadi dalam sidang lanjutan yang diadakan pada Senin, 29 Juli 2013 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Pada sidang kali ini, KPK menghadirkan sejumlah saksi, salah satunya adalah Syukur Iwantoro yang tak lain adalah Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian. Menurut penjelasannya, dari awal Fathanah memperkenalkan diri sebagai perwakilan Luthfi Hasan Ishaaq. Ia menilai bahwa status Luthfi sebagai anggota DPR sekaligus Presiden PKS memiliki pengaruh terhadap Suswono mengingat Suswono adalah kader dari PKS. Lebih lanjut ia juga menyatakan bahwa ia sempat dilobi oleh Fathanah agar mengabulkan permohonan dalam menambah jumlah kuota daging sapi impor. Berhubung permintaan tersebut di luar prosedur, maka Syukur menolaknya. Kendati tetap dibujuk oleh Fathanah, Syukur kekeuh menolak karena perihal kuota harus berdasarkan prosedur yang tersedia.[67]
Dalam sidang tersebut, berdasarkan penjelasan Maria Elizabeth, terungkap bahwa dirinya dengan Luthfi memang pernah bertemu. Akan tetapi pertemuan saat itu hanya sebatas membahas krisis daging. Masih menurut keterangan Maria, juga terungkap bahwa Elda yang berperan sebagai perantara mempunyai akses ke sejumlah Kementerian Pertanian dan bahkan Hatta Rajasa yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Perekonomian. Hasil dari sidang lainnya adalah adanya pengakuan dari Direktur Eksekutif Aspidi, Thomas Sembiring perihal ajakan Juard Effendi mengenai pembuatan surat usulan penambahan kuota daging sapi impor untuk tahun 2013 yang ditujukan kepada Hatta Rajasa.[67]
Sidang lanjutan lalu diadakan pada 3 Oktober 2013 setelah Luthfi sembuh atas penyakit ambeien.[68] Dalam sidang tersebut menteri pertanian Suswono bersama Soewarso dan Sekretaris Menteri Pertanian Baran Wirawan datang menjadi saksi. Berdasarkan keterangan Suswono, pertemuan di Medan pada 11 Januari 2013 adalah ide dari Luthfi Hasan Ishaaq. Pertemuan tersebut melibatkan Luthfi, Fathanah, Soewarso, Maria Elizabeth Liman dan Suswono sendiri. Kendati sempat bertemu, Suswono menerangkan bahwa pertemuan tersebut tidak membahas masalah kuota daging sapi impor. Akan tetapi, mereka hanya membahas data daging sapi. Keterangan tersebut senada dengan apa yang disampaikan oleh Soewarso.[69]
Sidang dengan agenda pembacaan tuntutan kemudian digelar pada 27 November 2013 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Dengan tebal surat tuntutan sebanyak 1000 halaman, Jaksa Penuntut Umum KPK meminta kepada majelis hakim agar memberikan vonis kepada Luthfi berupa 18 tahun penjara dengan rincian 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara atas tindakan penyuapan serta 8 tahun penjara plus denda 1 miliar subsider 1 tahun 4 bulan atas tindakan pencucian uang. Menurut JPU, Luthfi dan Fathanah terbukti menerima suap sebesar Rp 1,3 miliar dari Maria untuk kemudian membuat Luthfi mempengaruhi menteri pertanian terkait penambahan kuota. Dengan demikian, JPU beranggapan bahwa sudah sewajarnya Luthfi dituntut dengan hukuman yang berat.[70][71]
Menanggapi tuntutan yang diarahkan kepadanya, Luthfi lalu membacakan nota pembelaan atau pledoi pada sidang yang diadakan pada 4 Desember 2013. Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS Nasir Djamil hadir untuk menyaksikan jalannya sidang.[72][73] Dalam sidang Luthfi ia menyatakan bahwa kasus suap dan pencucian uang yang mengarah padanya penuh dengan unsur politis dan beranggapan bahwa KPK tak bisa memberikan bukti perihal suap 1,3 miliar yang ia terima.[74]
Pada 9 Desember 2013 Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Gusrizal memvonis Luthfi Hasan Ishaaq dengan hukuman 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider kurungan 6 bulan penjara. Keputusan tersebut diambil karena bersama Ahmad Fathanah, ia terbukti menerima suap sebesar Rp 1,3 miliar dari Maria Elizabeh Liman tentang penambahan kuota impor daging sapi. Selain itu Luthfi juga terlibat dalam kegiatan pencucian uang dan menyembunyikan harta kekayaannya. Tindakannya tersebut melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.[3] Menanggapi hal tersebut, Luthfi pun mengaku tak terima dunia dan akhirat karena pembelaan yang diajukan oleh pengacaranya diabaikan.[75]