Bendera Ngayogyakarta Hadiningrat
|
|
Nama
|
Kanjeng Kyai Tunggul Wulung
|
Perbandingan
|
1:2[1]
|
Rancangan
|
warna hitam
|
Perancang
|
tidak diketahui
|
Kangjeng Kyai Tunggul Wulung adalah bendera yang dijadikan simbol (panji) Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pusaka ini dikeramatkan sejak masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana I. Kangjeng Kyai Tunggul Wulung diberi nama demikian karena benda pusaka tersebut berwarna dasar biru tua kehitam-hitaman, dalam bahasa Jawa warna tersebut disebut wulung.[2]
Di tengah bendera terdapat dekorasi berwarna emas, dan di tengah dekorasi terdapat kaligrafi Surat Al Kautsar, Asma’ul Husna, dan Syahadat. Pada waktu tertentu, bendera ini diarak keliling kota dan di beberapa perempatan jalan diserukan lafadz adzan. Prosesi ini dimaksudkan sebagai upaya untuk tolak bala dan memohon kesembuhan bagi seluruh rakyat di Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.[3]
Legenda
Menurut para abdi dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, bendera ini berasal dari kain kiswah Ka’bah dari Mekah. Menurut perkiraan, usia panji ini sudah sangat tua, bahkan lebih tua daripada Keraton Yogyakarta sendiri, yang berdiri tahun 1755. Keberadaan bendera Kangjeng Kyai Tunggul Wulung adalah berkat jasa Sultan Agung Hanyakrakusuma. Konon, setiap hari Jumat, Sultan Agung dapat pergi mengaji ke Mekah karena kesaktiannya. Pada suatu ketika terjadi wabah di Mekah, Sultan Agung membantu hingga wabah tersebut berhenti. Karena jasanya, Sultan Agung dihadiahi serban berwarna biru-hitam yang konon pernah dikenakan seseorang yang dekat dengan Nabi Muhammad. Setelah tiba kembali di Yogyakarta, serban tersebut dibuat menjadi bendera.[1]
Upacara Wiyosan Kangjeng Kyai Tunggul Wulung
Upacara Wiyosan Kangjeng Kyai Tunggul Wulung diselengarakan oleh para bangsawan Keraton Yogyakarta. Secara harafiah, upacara tersebut memiliki arti "keluarnya Kangjeng Kyai Tunggul Wulung dari dalam keraton". Dalam pelaksanaan upacara, pusaka Kangjeng Kyai Tunggul Wulung selalu didampingi sebuah bendera pusaka lain, yaitu Kangjeng Kyai Pare Anom yang dibuat pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana V. Pelaksanaan upacara dibagi menjadi dua tahap:[2]
- Mbusanani (lit. "memberi busana"), yaitu mengenakan busana pada bendera Kangjeng Kyai Tunggul Wulung dan Kangjeng Kyai Pare Anom. Tahap ini dilakukan pada senja hari sesudah salat Maghrib di serambi Masjid Keraton yang disebut Masjid Panepen.
- Miyosaken (lit. "mengeluarkan"), yaitu mengeluarkan dari dalam lingkungan keraton untuk diarak keliling kota. Tahap kedua dilakukan pada malam hari sesudah waktu salat Isya, harus bertepatan pada hari Jumat Kliwon.
Arak-arakan pusaka keliling kota Yogyakarta berlangsung semalam suntuk dan baru berakhir di pintu pagelaran keraton pada saat fajar menyingsing. Sri Sultan dan para pejabat tinggi keraton serta sejumlah anggota keluarga Sri Sultan semalam suntuk berjaga dengan melakukan dzikir. Sesudah kedua bendera pusaka itu ditaruh kembali ke Gedong Hinggil, Sri Sultan memerintahkan agar nasi makanan kenduri dibagi-bagikan kepada para pejabat tinggi keraton. Di alun-alun utara masih ada kegiatan dalam rangka upacara ini yaitu menyembelih hewan korban bakar (kerbau albino betina) yang dilaksanakan di antara kedua pohon beringin (waringin kurung).[2]
Lihat pula
Referensi
Pranala luar