Kampanye Guadalcanal
Kampanye Guadalkanal atau dikenal sebagai Pertempuran Guadalkanal (sandi Sekutu: Operasi Watchtower) adalah kampanye militer yang berlangsung dari 7 Agustus 1942 hingga 9 Februari 1943 di Pulau Guadalkanal dan sekitarnya, dan merupakan bagian dari medan Perang Pasifik Perang Dunia II. Pertempuran berlangsung sengit di darat, laut, dan udara, serta merupakan ofensif besar pertama yang dilancarkan Sekutu terhadap Kekaisaran Jepang.[8] Pada tanggal 7 Agustus 1942, pasukan Sekutu yang didominasi oleh Amerika Serikat mendarat di Pulau Guadalkanal, Pulau Tulagi, dan Pulau Florida yang berada di selatan Kepulauan Solomon. Pendaratan ini bertujuan merebut pulau-pulau tersebut yang akan digunakan Jepang sebagai pangkalan untuk mengancam rute logistik antara Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru. Sekutu juga bermaksud menggunakan Guadalkanal dan Tulagi sebagai pangkalan Sekutu untuk mendukung kampanye militer yang bertujuan akhir merebut atau menetralisir pangkalan militer utama Jepang di Rabaul, Britania Baru. Kekuatan tentara Sekutu berada jauh di atas kekuatan Jepang yang menduduki Guadalkanal, Tulagi, dan Florida sejak Mei 1942. Sekutu berhasil merebut Tulagi dan Florida, serta sebuah lapangan terbang yang sedang dibangun Jepang di Guadalkanal (kemudian diberi nama Lapangan Udara Henderson). Jepang yang terkejut oleh serangan Sekutu, berulang kali berusaha merebut kembali Lapangan Udara Henderson dari tangan Marinir Amerika Serikat antara bulan Agustus dan November 1942. Pasukan Angkatan Darat Amerika Serikat dikerahkan untuk ikut mempertahankan Lapangan Udara Henderson pada bulan Oktober. Tiga pertempuran darat, lima pertempuran laut, semuanya dalam skala besar, dan pertempuran udara yang berlangsung terus menerus dan terjadi hampir setiap hari, akhirnya berpuncak pada Pertempuran Laut Guadalkanal yang menentukan pada awal November 1942. Jepang berhasil dikalahkan dalam usaha terakhirnya mendaratkan cukup tentara untuk merebut kembali Lapangan Udara Henderson. Pada Desember 1942, Jepang membatalkan semua usahanya untuk mengambil alih Guadalkanal. Pulau Guadalkanal akhirnya diserahkan kepada Sekutu. Pasukan Jepang yang tersisa selesai dievakuasi pada 7 Februari 1943 di tengah serangan Korps XIV Angkatan Darat Amerika Serikat. Kampanye Guadalkanal merupakan kemenangan persenjataan gabungan atas Jepang yang penting secara strategis di mandala Perang Pasifik. Jepang telah mencapai titik balik dalam ekspansi wilayah di Pasifik, dan Guadalkanal menandai transisi strategi Sekutu dalam Perang Pasifik, dari operasi-operasi defensif menjadi ofensif strategis, serta dimulainya operasi-operasi ofensif terhadap Jepang yang berakhir dengan kapitulasi Jepang dan berakhirnya Perang Dunia II. Latar belakangPada 7 Desember 1941, Jepang menyerang Armada Pasifik Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawaii. Serangan ke Pearl Harbor melumpuhkan banyak kapal tempur dalam armada Amerika Serikat, dan dengan segera memulai keadaan perang secara terbuka dan resmi antarkedua negara. Tujuan awal para pemimpin Jepang adalah menetralisasi Angkatan Laut Amerika Serikat, merebut wilayah jajahan negara Barat yang kaya sumber daya alam, dan mendirikan pangkalan-pangkalan militer strategis untuk mempertahankan Kekaisaran Jepang Raya di Samudra Pasifik dan Asia. Untuk mendukung tujuan-tujuan tersebut, tentara Jepang menduduki Filipina, Thailand, Malaya, Singapura, Hindia Belanda, Pulau Wake, Kepulauan Gilbert, Britania Baru, dan Guam.[9] Kekuatan Sekutu yang lainnya bergabung dengan Amerika Serikat dalam perang melawan Jepang, beberapa di antaranya,, Britania Raya, Australia, dan Belanda telah menjadi korban serangan Jepang.[10] Dua upaya Jepang untuk mempertahankan inisiatif strategis dan memperluas perimeter pertahanan mereka di bagian selatan dan bagian tengah Samudra Pasifik digagalkan dalam dua pertempuran laut: Pertempuran Laut Koral dan Pertempuran Midway. Midway tidak hanya merupakan kemenangan besar pertama Sekutu melawan Jepang yang sebelumnya tak terkalahkan, namun juga secara signifikan mengurangi kemampuan ofensif kekuatan kapal induk Jepang. Kalau sebelumnya Sekutu hanya bersikap defensif di Pasifik, tetapi kemenangan-kemenangan strategis Sekutu memberi mereka kesempatan untuk merebut inisiatif strategis dari Jepang.[11] Sekutu memilih Kepulauan Solomon (sebuah protektorat Britania Raya), terutama pulau-pulau seperti Guadalkanal, Tulagi, dan Florida di selatan Kepulauan Solomon sebagai target pertama.[12] Angkatan Laut Kekaisaran Jepang sudah menduduki Tulagi pada Mei 1942 dan telah membangun pangkalan pesawat terbang amfibi. Keprihatinan Sekutu makin bertambah besar setelah pada awal Juli 1942, Angkatan Laut Jepang mulai membangun lapangan udara berukuran besar di Tanjung Lunga yang berada di Pulau Guadalkanal yang berdekatan. Pada Agustus 1942, Jepang telah memiliki sekitar 900 tentara angkatan laut di Tulagi dan pulau-pulau sekitarnya, ditambah 2.800 personel di Guadalkanal (2.200 di antaranya adalah pekerja spesialis konstruksi Jepang dan Korea). Pangkalan-pangkalan militer Jepang tersebut, bila selesai, akan melindungi pangkalan militer utama Jepang di Rabaul, sekaligus mengancam jalur komunikasi dan logistik Sekutu, serta dapat dipakai sebagai daerah tumpuan untuk ofensif berikut Jepang ke Fiji, Kaledonia Baru, dan Samoa (Operasi FS). Jepang berencana untuk menempatkan 45 pesawat tempur dan 60 pesawat pengebom di Guadalkanal setelah lapangan udara selesai. Pesawat-pesawat tersebut dapat memberikan perlindungan udara untuk angkatan laut Jepang yang bergerak maju ke Pasifik Selatan.[13] Rencana Sekutu menginvasi Kepulauan Solomon selatan dicetuskan oleh Panglima Tertinggi Armada Amerika Serikat Laksamana Ernest King. Laksamana King mengusulkan ofensif yang akan menyulitkan Jepang untuk menggunakan Kepulauan Solomon selatan sebagai pangkalan untuk mengancam jalur logistik antara Amerika Serikat dan Australia, dan memakainya sebagai daerah tumpuan. Dengan adanya persetujuan diam-diam dari Roosevelt, King juga mengusulkan invasi ke Guadalkanal. Ketika Jenderal Angkatan Darat Amerika Serikat George C. Marshall menolak rencana tersebut serta mempertanyakan siapa yang akan menjadi komandan operasi, King menyatakan bahwa Angkatan Laut dan Marinir akan melaksanakan operasi, dan menginstruksikan Laksamana Chester Nimitz untuk melanjutkan dengan penyusanan rencana pendahuluan. King akhirnya memenangkan argumennya, dan perencanaan invasi terus berlanjut dengan dukungan Kepala Staf Gabungan.[14] Serangan ke Guadalkanal dilaksanakan sehubungan dengan serangan Sekutu di Guinea Baru di bawah komando Douglas MacArthur yang bertujuan merebut Kepulauan Admiralty dan Kepulauan Bismarck, termasuk merebut pangkalan utama Jepang di Rabaul. Tujuan akhir Amerika adalah merebut kembali Filipina.[15] Gabungan Kepala Staf Amerika Serikat menetapkan kawasan yang disebut mandala perang Pasifik Selatan. Laksamana Madya Robert L. Ghormley ditunjuk sebagai komandan yang bertanggung jawab memimpin serangan ke Kepulauan Solomon pada 19 Juni 1942. Laksamana Chester Nimitz yang bermarkas di Pearl Harbor ditunjuk sebagai komandan tertinggi Sekutu untuk kawasan Samudra Pasifik.[16] Gugus tugasPada Mei 1942, berkaitan dengan persiapan untuk serangan terhadap Jepang di Pasifik, Mayor Jenderal Marinir Amerika Serikat Alexander Vandegrift diperintahkan untuk memindahkan Divisi 1 Marinir dari Amerika Serikat ke Selandia Baru. Unit-unit angkatan darat, laut, dan udara dari negara-negara Sekutu lainnya diberangkatkan untuk mendirikan pangkalan-pangkalan di Fiji, Samoa, Hebrida Baru, dan Kaledonia Baru.[17] Espiritu Santo, Hebrida Baru, dipilih sebagai markas besar dan pangkalan utama untuk ofensif yang bersandi Operasi Watchtower, dan menurut rencana akan mulai dilancarkan 7 Agustus 1942. Pada awalnya Sekutu hanya merencanakan serangan ke Tulagi dan Kepulauan Santa Cruz. Guadalkanal tidak dimasukkan dalam rencana. Namun, setelah pengintaian Sekutu mengungkap upaya Jepang membangun lapangan udara di Guadalkanal, rencana penyerangan ke Guadalkanal ditambahkan ke dalam agenda, sedangkan operasi Santa Cruz (pada akhirnya) dibatalkan.[18] Jepang sudah mengetahui dari intelijen sinyal tentang adanya pergerakan skala besar kekuatan Sekutu di wilayah Pasifik Selatan, tetapi menyimpulkan bahwa Sekutu sedang memperkuat Australia dan mungkin Port Moresby di Guinea Baru.[19] Kekuatan inti Operasi Watchtower yang berjumlah 75 kapal perang dan kapal transpor (termasuk kapal-kapal dari Amerika Serikat dan Australia) berkumpul di dekat Fiji pada 26 Juli 1942, dan melakukan satu kali latihan pendaratan sebelum diberangkatkan ke Guadalkanal pada 31 Juli.[20] Panglima lapangan pasukan ekspedisi Sekutu adalah Laksamana Madya Frank Fletcher (kapal induk USS Saratoga sebagai kapal bendera). Panglima pasukan amfibi adalah Laksamana Muda Richmond K. Turner. Vandegrift memimpin 16.000 pasukan infanteri (sebagian besar terdiri dari Marinir Amerika Serikat) yang disiapkan untuk pendaratan.[21] PendaratanCuaca buruk memungkinkan pasukan ekspedisi Sekutu untuk tiba di sekitar Guadalkanal, pagi hari 7 Agustus 1942 tanpa terlihat oleh Jepang.[22] Pasukan pendarat dibagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok menyerang Guadalkanal, sementara kelompok lainnya menyerang Tulagi, Florida, pulau-pulau terdekat.[23] Kapal-kapal perang Sekutu membombardir pantai untuk pendaratan, sementara pesawat-pesawat dari kapal induk Amerika Serikat mengebom posisi-posisi Jepang di pulau-pulau yang menjadi sasaran dan menghancurkan 15 pesawat amfibi Jepang di pangkalan mereka dekat Tulagi.[24] Tulagi dan dua pulau kecil yang berdekatan, Gavutu dan Tanambogo, diserbu oleh 3.000 Marinir Amerika Serikat.[25] Sejumlah 886 personel Angkatan Laut Jepang yang berada di pangkalan-pangkalan laut dan pesawat amfibi di ketiga pulau dengan gigih melawan serbuan Marinir Amerika Serikat.[26] Dengan susah payah ketiga pulau dapat direbut oleh Marinir Amerika Serikat, Tulagi pada 8 Agustus, Gavutu dan Tanambogo pada 9 Agustus.[27] Tentara Jepang yang bertahan hampir semuanya tewas hingga prajurit terakhir yang tersisa, sementara 122 Marinir tewas.[28] Bertolak belakang dari pendaratan Tulagi, Gavutu, dan Tanambogo yang menemui perlawanan mati-matian dari Jepang, pendaratan di Guadalkanal menghadapi perlawanan yang hampir-hampir tidak berarti. Pada tanggal 7 Agustus pukul 09.10, Vandegrift dan 11.000 pasukan Marinir Amerika Serikat mendarat di pantai Guadalkanal antara Tanjung Koli dan Tanjung Lunga. Mereka bergerak maju ke arah Tanjung Lunga tanpa menemui perlawanan sama sekali kecuali oleh hutan hujan yang "sulit ditembus", dan mereka berhenti untuk bermalam sekitar 910 m dari lapangan terbang Tanjung Lunga. Keesokan harinya, lagi-lagi tanpa mendapat perlawanan berarti, pasukan Marinir maju hingga ke Sungai Lunga, dan merebut lapangan udara pada pukul 16.00 tanggal 8 Agustus. Unit-unit konstruksi Angkatan Laut Jepang dan pasukan Pembangunan unit angkatan laut Jepang dan pasukan tempur, di bawah komando Kapten Kanae Monzen, panik akibat bombardemen dari kapal-kapal dan pesawat-pesawat terbang Amerika, dan telah meninggalkan area lapangan udara. Mereka melarikan diri hingga sekitar 4,8 sebelah barat Sungai Matanikau dan daerah Point Cruz. Tiga belas rekan mereka yang tewas ditinggalkan. Makanan, perbekalan, peralatan konstruksi, dan kendaraan juga ditinggalkan dalam keadaan utuh.[29] Selama operasi pendaratan tanggal 7 dan 8 Agustus, pesawat angkatan laut Jepang yang berpangkalan di Rabaul, di bawah komando Sadayoshi Yamada beberapa kali menyerang kekuatan amfibi Sekutu. Kapal angkut USS George F. Elliot terbakar dan tenggelam dua hari kemudian. Serangan juga mengakibatkan kerusakan berat pada kapal perusak USS Jarvis.[30] Dalam serangan udara yang berlangsung lebih dari dua hari, Jepang kehilangan 36 pesawat, sementara Amerika Serikat hanya kehilangan 19 pesawat yang jatuh dalam pertempuran atau kecelakaan, termasuk di antaranya 14 pesawat tempur dari kapal induk.[31] Setelah bentrokan melawan Jepang, Fletcher cemas dengan kerugian besar yang diderita pesawat tempur kapal induk Amerika Serikat. Ia juga khawatir Jepang akan kembali melakukan serangan udara ke kapal-kapal induknya, sementara persedian bahan bakar kapal mulai menipis. Fletcher akhirnya menarik mundur gugus tugas kapal induk dari laut sekitar kawasan Kepulauan Solomon pada senja hari 8 Agustus.[32] Akibat kehilangan perlindungan udara dari pesawat yang berbasis di kapal induk, Turner memutuskan untuk menarik mundur kapal-kapalnya dari Guadalkanal, walaupun baru separuh dari peralatan berat dan perbekalan yang dibutuhkan oleh pasukan darat berhasil diturunkan.[33] Meskipun demikian, Turner berencana untuk membongkar sebanyak mungkin perbekalan di Guadalkanal dan Tulagi sepanjang malam 8 Agustus sebelum memberangkatkan kapal-kapalnya pada dini hari 9 Agustus.[34] Pada malam itu ketika kapal-kapal angkut sedang membongkar muatan, dua gugus pelindung kapal perang Sekutu di bawah komando Laksamana Muda Britania Victor Crutchley diserang mendadak dan menderita kekalahan dari 7 kapal penjelajah dan 1 kapal perusak Jepang dari Armada VIII Angkatan Laut Kekaisaran Jepang di bawah komando Laksamana Madya Gunichi Mikawa yang berkedudukan di Rabaul dan Kavieng. Satu kapal penjelajah Australia dan tiga kapal penjelajah Amerika tenggelam, serta satu kapal penjelajah dan dua kapal perusak Amerika rusak dalam Pertempuran Pulau Savo. Sementara itu, Jepang hanya menderita kerusakan sedang pada satu kapal penjelajah. Laksamana Madya Mikawa khawatir datangnya serangan udara siang hari Sekutu bila tetap berada di daerah tersebut. Turner telah menarik mundur semua kekuatan laut Sekutu yang tersisa pada malam hari 9 Agustus. Marinir yang berada di darat dibiarkan tanpa dilengkapi cukup alat-alat berat, perbekalan, dan pasukan yang masih berada di atas kapal-kapal angkut. Meskipun memiliki kesempatan, keputusan Mikawa untuk tidak menyerang kapal-kapal angkut Sekutu nantinya terbukti sebagai kesalahan strategis yang amat besar.[35] Operasi pendahuluanSejumlah 11.000 marinir mulanya awalnya berkonsentrasi membentuk perimeter defensif yang longgar sekitar Tanjung Lunga dan lapangan udara, memindahkan perbekalan yang berhasil didaratkan di dalam perimeter, dan menyelesaikan pembangunan lapangan terbang. Dalam usaha intensif yang memakan waktu 4 hari, perbekalan dipindahkan dari pantai pendaratan ke titik-titik pembekalan yang tersebar di dalam perimeter. Pekerjaan membangun lapangan terbang segera dimulai, terutama dengan memakai peralatan yang ditinggalkan Jepang. Pada 12 Agustus, lapangan udara tersebut diberi nama Lapangan Udara Henderson untuk menghormati penerbang Marinir bernama Lofton R. Henderson yang tewas dalam Pertempuran Midway. Pada 18 Agustus, lapangan udara sudah siap dioperasikan.[36] Perbekalan makanan untuk lima hari berhasil didaratkan dari kapal-kapal angkut, dan ditambah perbekalan yang ditinggalkan Jepang, pasukan Marinir memiliki total makanan untuk 14 hari.[37] Pasukan hanya diberi makan dua kali sehari dengan alasan untuk menghemat perbekalan.[38] Tentara Sekutu menderita strain disentri ganas tidak lama setelah mendarat. Satu dari lima anggota Marinir sudah terserang disentri sekitar pertengahan Agustus. Penyakit-penyakit tropis memengaruhi kekuatan tempur kedua belah pihak. Selain beberapa pekerja konstruksi Korea yang menyerah kepada Marinir, sebagian besar personel Jepang dan Korea yang tersisa, berkumpul tidak jauh dari perimeter Lunga di tepi barat Sungai Matanikau, dan bertahan hidup hanya dari buah kelapa. Sebuah pos terdepan angkatan laut Jepang juga berada di Tanjung Taivu, sekitar 35 kilometer timur perimeter Lunga. Pada 8 Agustus, kapal perusak Jepang dari Rabaul mendaratkan pasukan tambahan yang terdiri dari 113 tentara angkatan laut ke posisi Jepang di Matanikau.[39] Pada senja 12 Agustus, 25 patroli Marinir pimpinan Letnan Kolonel Frank Goettge yang terutama terdiri dari personel intelijen, mendarat dengan perahu di sebelah barat perimeter Lunga, antara Point Cruz dan Sungai Matanikau. Mereka dalam misi pengintaian dengan tugas tambahan menghubungi sekelompok tentara Jepang yang dipercaya bersedia untuk menyerah ke pihak Amerika. Segera setelah patroli mendarat, satu peleton pasukan angkatan laut yang berdekatan menyerang, dan seluruh anggota patroli Marinir hampir semuanya tewas.[40] Sebagai balasan, Vandegrift pada 19 Agustus mengerahkan tiga kompi Resimen V Marinir untuk menyerang konsentrasi tentara Jepang di barat Matanikau. Satu kompi menyerang dari seberang gosong di mulut Sungai Matanikau, sementara kompi lainnya menyeberangi sungai sejauh 1.000 meter masuk ke darat dan menyerang tentara Jepang yang sedang berada di desa Matanikau. Kompi ketiga mendarat dengan perahu agak di sebelah barat, dan menyerang desa Kokumbuna. Setelah secara singkat menduduki dua desa, ketiga kompi Marinir kembali ke perimeter Lunga setelah membunuh sekitar 65 tentara Jepang dan kehilangan empat Marinir. Peristiwa ini kadang-kadang disebut "Pertempuran Pertama Matanikau", dan merupakan pertempuran pertama dari beberapa aksi militer sepanjang Matanikau.[41] Pada 20 Agustus, kapal induk pengawal USS Long Island mengantarkan dua skuadron pesawat Marinir ke Lapangan Udara Henderson. Satu skuadron terdiri dari 19 Grumman F4F Wildcats, dan satu skuadron lagi terdiri dari 12 SBD Dauntless. Pesawat di lapangan udara Henderson dikenal sebagai "Angkatan Udara Kaktus" (Cactus Air Force, disingkat CAF). Nama tersebut diambil dari sandi Sekutu untuk Guadalkanal. Pesawat-pesawat tempur Marinir segera beraksi pada hari berikutnya, untuk melakukan serangan udara pertama dalam rangkaian serangan ke posisi-posisi Jepang yang hampir dilakukan setiap hari. Pada 22 Agustus, 5 pesawat P-400 Airacobra dari Angkatan Darat Amerika Serikat beserta pilotnya juga tiba di Lapangan Udara Henderson.[42] Pertempuran TenaruSebagai tindakan balasan pendaratan Sekutu di Guadalkanal, Markas Umum Kekaisaran Jepang mengerahkan korps infanteri Angkatan Darat 17 Kekaisaran Jepang untuk merebut kembali Guadalkanal dari Sekutu. Angkatan Darat 17 berkedudukan di Rabaul di bawah komando Letnan Jenderal Harukichi Hyakutake, dan didukung oleh Armada Gabungan di bawah komando Isoroku Yamamoto yang bermarkas di Truk. Pada waktu itu Angkatan Darat 17 sedang diterjunkan dalam besar dalam kampanye di New Guinea, dan hanya memiliki beberapa unit yang tersisa. Di antaranya, Brigade Infanteri 35 di bawah komando Mayor Jenderal Kiyotake Kawaguchi sedang berada di Palau. Resimen Infanteri 4 (Detasemen Aoba) sedang berada di Filipina, sementara Resimen Infanteri 28 di bawah komando Kolonel Kiyonao Ichiki sedang berada di kapal-kapal transpor yang membawa mereka di dekat Guam. Unit-unit Angkatan Darat 17 tersebut segera digerakkan menuju Guadalkanal via Truk dan Rabaul. Namun resimen infanteri Ichiki yang berada paling dekat dengan Guadalkanal, tiba paling nomor satu. "Bagian pertama" dari unit Ichiki sejumlah 917 prajurit didaratkan dari kapal-kapal perusak di Tanjung Taivu, sebelah timur perimeter Lunga, lepas tengah malam 19 Agustus, dan melakukan mars sepanjang malam hari ke arah barat menuju ke perimeter Marinir.[43][44] Unit resimen Ichiki meremehkan kekuatan pasukan Sekutu di Guadalkanal, dan melakukan serangan frontal malam hari ke posisi-posisi Marinir di Sungai Alligator (sering pula disebut "Sungai Ilu" pada peta Marinir AS) di sisi timur perimeter Lunga pada dini hari Agustus 21. Serangan Ichiki mengakibatkan kerugian besar bagi Jepang dalam peristiwa yang kemudian dikenal sebagai Pertempuran Tenaru. Setelah fajar, unit-unit Marinir melakukan serangan balasan terhadap pasukan Ichiki yang masih tersisa hingga jatuh korban tewas lebih banyak lagi, termasuk Kolonel Ichiki. Secara total, hanya 128 dari 917 anggota asli Resimen Ichiki yang selamat dari pertempuran. Tentara Jepang yang selamat kembali ke Tanjung Taivu, dan memberi tahu markas besar Angkatan Darat 17 tentang kekalahan mereka, sambil menunggu pasukan bantuan dan instruksi lebih lanjut dari Rabaul.[45] Pertempuran Kepulauan Solomon TimurKetika pertempuran di Tenaru hampir berakhir, bala bantuan Jepang sudah dalam perjalanan. Tiga kapal angkut berkecepatan rendah diberangkatkan dari Truk pada 16 Agustus membawa 1.400 sisa prajurit dari Resimen Infanteri Ichiki, ditambah 500 Marinir Jepang dari Korps Khusus Pendarat Angkatan Laut 5 Yokosuka.[46] Kapal-kapal angkut Jepang dijaga oleh 13 kapal perang di bawah komando Laksamana Muda Raizo Tanaka yang merencanakan untuk mendaratkan pasukan di Guadalkanal pada 24 Agustus.[47] Untuk menutupi pendaratan pasukan dan menyediakan dukungan untuk perebutan kembali Lapangan Udara Henderson dari Sekutu, Yamamoto memerintahkan Chuichi Nagumo untuk melakukan serangan dengan kapal induk yang diberangkatkan dari Truk pada 21 Agustus, dan berlayar ke selatan Kepulauan Solomon. Armada Nagumo terdiri dari tiga kapal induk dan 30 kapal perang.[48] Secara bersamaan, tiga gugus tugas kapal induk di bawah komando Fletcher mendekati Guadalkanal untuk melawan upaya ofensif Jepang. Pada 24 Agustus dan 25 Agustus, armada kapal induk Sekutu berhadapan dengan armada kapal induk Jepang dalam Pertempuran Kepulauan Solomon Timur. Kedua belah pihak mundur dari pertempuran setelah menderita kerusakan. Kerugian besar diderita pihak Jepang yang kehilangan satu kapal induk ringan. Setelah menderita kerusakan berat termasuk tenggelamnya satu kapal angkut akibat serangan udara dari Angkatan Udara Kaktus yang berpangkalan di Lapangan Udara Henderson, konvoi kapal-kapal pimpinan Tanaka berbelok arah ke Kepulauan Shortland di Solomon utara untuk memindahkan prajurit yang masih hidup ke kapal-kapal perusak yang akan mengantarkan mereka ke Guadalkanal[49] Pertempuran udara di Lanud HendersonSepanjang Agustus 1942, pesawat Amerika dalam jumlah kecil beserta awaknya terus berdatangan di Guadalkanal. Pada akhir Agustus, Lapangan Udara Henderson sudah dijadikan pangkalan untuk 64 pesawat dari berbagai tipe.[50] Pada 3 September, Komandan Wing Udara Marinir 1 Brigadir Jenderal Marinir Amerika Serikat Roy S. Geiger tiba beserta staf untuk mengambil komando semua operasi udara dari Lapangan Udara Henderson.[51] Pertempuran udara pesawat Sekutu dari Henderson melawan pesawat tempur dan pengebom Jepang dari Rabaul berlangsung hampir setiap hari. Antara 26 Agustus dan 5 September, Amerika Serikat kehilangan sekitar 15 pesawat, sementara Jepang kehilangan sekitar 19 pesawat. Lebih dari setengah awak pesawat Amerika Serikat yang ditembak jatuh berhasil diselamatkan, sementara sebagian besar awak pesawat Jepang tidak pernah ditemukan. Penerbangan sejauh 1.800 km (1.120 mil) yang ditempuh selama 8 jam bolak-balik antara Rabaul dan Guadalkanal secara serius menghambat usaha Jepang memenangi supremasi udara di atas Lapangan Udara Henderson. Intelijen penjaga pantai di Pulau Bougainville dan Kepulauan Georgia sering dapat memberikan peringatan dini kepada tentara Sekutu di Guadalkanal tentang datangnya serangan udara Jepang. Peringatan tersebut juga memberi kesempatan bagai pesawat-pesawat tempur Amerika untuk lepas landas dan sudah berada dalam posisi menyerang ketika pesawat tempur dan pengebom Jepang mendekat ke Guadalkanal. Sebagai akibatnya, kekuatan udara Jepang kalah secara perlahan-lahan dalam pertempuran di atas Guadalkanal.[52] Pada waktu itu, Vandegrift terus mengarahkan usaha-usaha memperkuat dan meningkatkan pertahanan perimeter Lunga. Antara 21 Agustus dan September 3, tiga batalion Marinir, termasuk Batalion Raider 1, di bawah Merritt A. Edson (Raider Edson) dan Batalion Parasut 1 dari Tulagi dan Gavutu dipindahkan ke Guadalkanal. Sekitar 1.500 prajurit dari unit-unit tersebut merupakan tambahan bagi 11.000 pasukan inti Vandegrift yang mempertahankan Lapangan Udara Henderson.[53] Batalion Parasut 1 yang telah menderita banyak korban jiwa dalam Pertempuran Tulagi dan Gavutu-Tanambogo Agustus 1942, ditempatkan di bawah komando Edson.[54] Batalion hasil relokasi yang lain, Batalion 1 Resimen Marinir V (1/5) didaratkan dengan memakai perahu di sebelah barat Matanikau dekat desa Kokumbuna pada 27 Agustus. Misi mereka menyerang unit-unit Jepang di daerah tersebut, seperti halnya aksi Matanikau pertama 19 Agustus. Dalam hal ini, Marinir terhambat oleh medan yang sulit, matahari panas, dan posisi-posisi pertahanan Jepang yang diatur dengan baik. Keesokan paginya, Marinir mengetahui bahwa tentara Jepang yang bertahan sudah pergi pada malam sebelumnya, sehingga Marinir dapat kembali ke perimeter Lunga dengan naik perahu.[55] Aksi ini mengakibatkan kerugian 20 tentara Jepang dan 3 Marinir tewas.[56] Konvoi kecil kapal Sekutu tiba di Guadalkanal pada 23 Agustus, 29 Agustus, 1 September, dan 8 September dengan membawa lebih banyak makanan, amunisi, bahan bakar pesawat, dan teknisi pesawat untuk Marinir di Lunga. Konvoi 1 September juga mengantarkan 392 insinyur konstruksi yang ditugaskan mempertahankan dan memperbaiki Lapangan Udara Henderson.[57] Tokyo ExpressPada 23 Agustus, Brigade Infanteri 35 Kawaguchi telah sampai di Truk, dan dinaikkan ke kapal-kapal angkut lambat yang mengantarkan mereka ke Guadalkanal. Kerusakan yang dialami konvoi Tanaka selama Pertempuran Kepulauan Solomon Timur menyebabkan Jepang menghentikan pengiriman pasukan bantuan dengan memakai kapal berkecepatan rendah ke Guadalkanal. Sebagai gantinya, Brigade Kawaguchi diantar hingga ke Rabaul, dan dari sana diangkut memakai kapal-kapal perusak melewati pangkalan angkatan laut Jepang di Kepulauan Shortland. Kapal-kapal perusak Jepang biasanya dapat melakukan perjalanan bolak-balik melalui Selat Georgia Baru dalam semalam, dan memperkecil kemungkinan dijadikan sasaran udara Sekutu. Pihak Sekutu menyebut rute bolak-balik antara Rabaul–Guadalkanal yang dilakukan Jepang sebagai "Tokyo Express", sementara Jepang menyebutnya "Transportasi Tikus".[58] Cara mengantarkan pasukan seperti yang dilakukan Jepang ini tidak memungkinkan terbawanya peralatan berat dan perbekalan, seperti artileri berat, kendaraan, makanan, serta amunisi tambahan diangkut bersama pasukan ke Guadalkanal. Selain itu, kegiatan mengantar pasukan telah menyibukkan kapal-kapal Angkatan Laut Jepang yang sebetulnya sangat dibutuhkan untuk mengawal kapal dagang. Ketidakmampuan atau mungkin keengganan pimpinan angkatan laut Sekutu menantang angkatan laut Jepang pada malam hari menyebabkan kapal-kapal Jepang menguasai lautan sekitar Kepulauan Solomon ketika malam tiba. Namun pada siang hari, kapal-kapal Jepang yang berada dalam jarak jelajah pesawat dari Lapangan Udara Henderson (320 km) dalam bahaya serangan udara. Situasi taktis seperti ini berlangsung hingga beberapa bulan berikutnya.[59] Antara 29 Agustus dan 4 September, beberapa kapal penjelajah ringan, kapal perusak, dan kapal patroli Jepang berhasil mendaratkan hampir 5.000 prajurit di Tanjung Taivu, termasuk hampir seluruh anggota Brigade Infanteri 35, sebagian besar Resimen IV Aoba, dan sisa resimen Ichiki. Mayor Jenderal Kawaguchi ditempatkan sebagai panglima semua kekuatan militer Jepang di Guadalkanal setelah tiba di Tanjung Taivu dengan menumpang Tokyo Express 31 Agustus.[60] Sebuah konvoi lainnya membawa 1.000 prajurit lainnya dari brigade Kawaguchi di bawah komando Kolonel Akinosuke Oka ke Kamimbo yang berada di sebelah barat perimeter Lunga.[61] Pertempuran Punggung Bukit EdsonPada 7 September, Mayor Jenderal Kawaguchi mengumumkan rencana serangan untuk "mengusir dan memusnahkan musuh di sekitar lapangan terbang Pulau Guadalcanal." Dalam rencana serangan yang disusunnya, pasukan Kawaguchi dibagi menjadi tiga divisi yang bergerak mengurung perimeter Lunga dari arah pedalaman, dan berpuncak dengan serangan malam secara mendadak. Pasukan Oka menyerang perimeter dari arah barat, sementara pasukan kedua Ichiki yang diganti namanya sebagai Batalion Kuma menyerang dari arah timur. Serangan utama datang dari "pasukan inti" 3.000 pasukan Kawaguchi yang dibagi menjadi 3 batalion menyerang dari hutan di selatan perimeter Lunga.[62] Pada 7 September, sebagian besar pasukan Kawaguchi telah berangkat dari Taivu menyusuri garis pantai menuju Tanjung Lunga. Sekitar 250 tentara Jepang tetap berada di belakang untuk menjaga pangkalan perbekalan brigade di Taivu.[63] Sementara itu, pandu setempat di bawah pengarahan penjaga pantai Martin Clemens yang juga perwira di Pasukan Pertahanan Protektorat Kepulauan Solomon, dan perwira distrik asal Britania yang ditempatkan di Guadalkanal, memberitakan kepada Marinir Amerika Serikat tentang kehadiran tentara Jepang di Taivu, dekat desa Tasimboko. Edson lalu merencanakan sergapan ke konsentrasi tentara Jepang di Taivu.[64] Pada 8 September, setelah diturunkan dari perahu di dekat Taivu, anak buah Edson merebut Tasimboko sementara tentara Jepang yang bertahan, mundur ke hutan.[65] Di Tasimboko, pasukan Edson menemukan depot perbekalan utama Kawaguchi. Di dalamnya terdapat timbunan makanan dalam jumlah besar, amunisi, pasokan medis, dan sebuah radio gelombang pendek yang berkemampuan tinggi. Setelah semua yang terlihat dihancurkan, kecuali beberapa dokumen dan perlengkapan yang dapat dibawa pulang, para Marinir kembali ke perimeter Lunga. Tumpukan perbekalan serta data dari dokumen yang berhasil disita menunjukkan paling sedikit ada 3.000 tentara Jepang di Pulau Guadalkanal, dan mereka sedang merencanakan sebuah serangan.[66] Edson bersama dengan Kolonel Gerald C. Thomas (perwira operasi Vandegrift) dengan tepat menebak serangan Jepang akan datang dari punggung bukit karang yang sempit dan berumput. Punggung bukit karang ini disebut Punggung Bukit Lunga panjangnya 910 m, sejajar dengan Sungai Lunga, dan terletak persis di sebelah selatan Lapangan Udara Henderson. Punggung Bukit Lunga menyediakan jalur pendekatan alami ke lapangan udara, dengan pemandangan bebas ke daerah sekeliling yang waktu itu hampir-hampir tidak dijaga Sekutu. Pada 11 September, 840 prajurit dari batalion Edson dikerahkan ke punggung bukit dan daerah sekelilingnya.[67] Pada malam hari 12 September, Batalion 1 Kawaguchi menyerang pasukan raider Marinir antara Sungai Lunga dan punggung bukit Lunga, memaksa satu kompi Marinir untuk mundur ke punggung bukit sebelum tentara Jepang menghentikan serangannya malam itu. Malam berikutnya, 3.000 prajurit dari batalion Kawaguchi berhadapan dengan 830 pasukan raider Edson, ditambah berbagai jenis artileri ringan. Serangan Jepang dimulai setelah malam tiba. Batalion 1 Kawaguchi menyerang sayap kanan Edson, tepat di sebelah barat punggung bukit. Setelah menembus garis depan Marinir, serangan batalion Kawaguchi akhirnya dihentikan unit Marinir yang mempertahankan bagian utara punggung bukit.[68] Dua kompi dari Batalion 2 Kawaguchi bergerak maju ke tepi selatan punggung bukit dan mendesak pasukan Edson kembali ke Bukit 123 di bagian tengah punggung bukit. Sepanjang malam, Marinir di Bukit 123, didukung oleh artileri, mengalahkan gelombang demi gelombang serangan frontal Jepang. Beberapa di antaranya berakhir dengan pertarungan satu lawan satu. Unit tentara Jepang yang menyusup melewati punggung bukit hingga ke tepi lapangan udara juga berhasil dipukul mundur. Serangan oleh Batalion Kuma dan unit Oka di tempat-tempat lainnya di perimeter Lunga juga dapat dikalahkan. Pada 14 September, Kawaguchi memimpin anak buahnya yang selamat untuk melakukan long mars selama lima hari ke Lembah Matanikau untuk bergabung dengan unit Oka.[69] Secara keseluruhan, brigade Kawaguchi hancur dan 850 prajurit tewas, sementara pihak Amerika hanya mengalami kerugian 104 marinir tewas.[70] Pada 15 September, Letnan Jenderal Hyakutake di Rabaul mendapat berita kekalahan brigade Kawaguchi, dan meneruskannya ke Markas Besar Kekaisaran di Jepang. Dalam rapat daruratnya, staf komando Angkatan Darat dan Angkatan Laut Jepang menyimpulkan bahwa "Guadalkanal mungkin berkembang menjadi pertempuran menentukan dalam perang ini." Hasil-hasil pertempuran di Guadalkanal mulai terlihat memiliki dampak strategis bagi operasi militer Jepang di tempat-tempat lain di Pasifik. Hyakutake menyadari bahwa usaha pengiriman cukup pasukan dan materiil untuk mengalahkan Sekutu di Guadalkanal tidak dapat dilakukan bersamaan dengan usahanya mendukung ofensif Jepang yang sedang dilancarkan melalui Jalur Kokoda di Guinea Baru. Setelah mendapat persetujuan Markas Umum, Hyakutake memerintahkan pasukannya di Guinea Baru yang sudah berada 30 mil (48 km) dari sasaran mereka di Port Moresby untuk mundur hingga "masalah Guadalkanal" terselesaikan. Hyakutake sedang bersiap untuk mengirim pasukan tambahan ke Guadalkanal dalam upaya lainnya untuk merebut kembali Lapangan Udara Henderson.[71] Bala bantuanKetika Jepang kembali menggalang pasukan di barat Matanikau, pasukan AS berkonsentrasi pada konsolidasi dan memperkuat pertahanan mereka di Tanjung Lunga. Pada 14 September, Vandegrift memindahkan sebuah batalion lainnya, Batalion 3, Resimen Marinir 2 (3/2) dari Tulagi ke Guadalkanal. Pada 18 September, sebuah konvoi laut Sekutu mengantarkan 4.157 prajurit dari Brigade Marinir Interim 3 (Resimen Marinir 7 ditambah batalion dari Resimen Marinir 11 dan beberapa unit dukungan tambahan), 137 kendaraan, tenda, bahan bakar pesawat terbang, amunisi, ransum, dan peralatan teknik untuk Guadalkanal. Bantuan penting ini memungkinkan Vandegrift memulai pembangunan garis pertahanan tak terputus di sekeliling perimeter Lunga sejak tanggal 19 September. Sewaktu melindungi konvoi tersebut, kapal induk Wasp ditenggelamkan oleh kapal selam Jepang I-19 di tenggara Guadalkanal. Sebagai akibatnya, untuk beberapa waktu, hanya ada satu kapal induk Sekutu (USS Hornet) yang beroperasi di kawasan Pasifik Selatan.[72] Vandegrift juga membuat beberapa perubahan dalam tampuk kepemimpinan senior unit tempurnya. Beberapa perwira yang menurutnya tidak memenuhi standar kecakapan dikirim ke luar pulau, sementara perwira muda yang telah membuktikan dirinya mampu dipromosikan sebagai pengganti. Salah seorang perwira yang baru dipromosikan waktu itu adalah Kolonel Merritt Edson yang ditempatkan sebagai komandan Resimen Marinir 5.[73] Langit sempat tenang tanpa pertempuran udara di atas Guadalkanal. Jepang tidak melakukan serangan udara sejak 14 September hingga 27 September karena cuaca buruk. Masa tenang dipakai kedua belah pihak untuk memperkuat unit udara masing-masing. Jepang mengirimkan 85 pesawat tempur dan pengebom ke Rabaul sementara Amerika mengirim 23 pesawat tempur dan penyerang ke Lapangan Udara Henderson. Pada 20 September, Jepang memiliki total 117 pesawat di Rabaul sedangkan Sekutu memiliki 71 pesawat di Lapangan Udara Henderson Field.[74] Pertempuran udara berlanjut dengan serangan udara Jepang atas Guadalcanal pada 27 September yang mendapat perlawanan dari pesawat-pesawat tempur Marinir dan Angkatan Laut Amerika Serikat dari Lapangan Udara Henderson.[75] Jepang segera mulai bersiap melancarkan serangan berikutnya untuk merebut kembali Lapangan Udara Henderson. Pada 11 September, Batalion 3 dari Resimen Infanteri 4 (Aoba) didaratkan di Teluk Kamimbo yang berada di ujung barat Guadalkanal, namun terlambat untuk bergabung dengan serangan yang dipimpin Mayor Jenderal Kawaguchi. Batalion 3 lalu bergabung dengan pasukan yang dipimpin Oka di dekat Matanikau. Kapal-kapal perusak yang beroperasi sebagai Tokyo Express tiba di Kamimbo, Guadalcanal pada 14, 20, 21, dan 24 September membawa makanan dan amunisi, serta 280 orang dari Batalion 1, Resimen Aoba. Sementara itu, Divisi 2 dan Divisi Infanteri 38 Jepang mulai diberangkatkan dari Hindia Belanda ke Rabaul pada 13 September 1942. Rencana Jepang adalah mengirimkan pasukan berjumlah total 17.500 tentara dari kedua divisi tersebut ke Guadalkanal untuk mengambil bagian dalam serangan besar berikutnya terhadap Perimeter Lunga yang dijadwalkan pada 20 Oktober 1942.[76] Aksi-aksi di MatanikauVandegrift dan staf mengetahui bahwa pasukan Kawaguchi telah mundur ke daerah barat Matanikau, dan berbagai kelompok pasukan Jepang yang tertinggal sedang tersebar di seluruh wilayah antara Perimeter Lunga dan Sungai Matanikau. Oleh karena itu Vandegrift memutuskan untuk melakukan serangkaian operasi mencari mereka dengan mengutus unit-unit kecil ke Lembah Sungai Matanikau. Tujuan dari operasi tersebut untuk menyapu kelompok-kelompok pasukan Jepang yang tersebar di sebelah timur Matanikau, dan menjaga agar pasukan inti tentara Jepang tetap dalam keadaan berantakan. Maksudnya agar Jepang tidak dapat mengkonsolidasi posisi-posisi mereka begitu dekat dengan pertahanan utama Marinir di Tanjung Lunga.[77] Operasi terhadap pasukan Jepang di sebelah barat Matanikau pertama kali dilancarkan antara 23 dan 27 September 1942 oleh unsur-unsur dari tiga batalion Marinir Amerika Serikat. Serangan tersebut dipukul balik oleh pasukan Kawaguchi di bawah komando Akinosuke Oka. Dalam operasi tersebut, 3 kompi Marinir yang dikepung pasukan Jepang dekat Point Cruz sebelah barat Matanikau, menderita kerugian berat, dan hanya dapat lolos berkat bantuan dari sebuah kapal perusak Amerika Serikat dan kapal pendarat yang diawaki oleh personel Penjaga Pantai Amerika Serikat.[78] Dalam aksi kedua antara 6 dan 9 Oktober 1942, kekuatan Marinir yang lebih besar berhasil menyeberangi Sungai Matanikau. Pasukan Jepang dari Divisi Infanteri 2 di bawah komando Jenderal Masao Maruyama dan Jenderal Yumio Nasu yang baru mendarat, diserang. Marinir Amerika Serikat berhasil menyebabkan kerugian besar bagi Resimen Infanteri 4 Jepang. Aksi kedua memaksa Jepang untuk mundur dari posisi-posisi mereka di sebelah timur Matanikau dan menghambat persiapan Jepang untuk melakukan ofensif besar-besaran terhadap kubu-kubu pertahanan Amerika Serikat di Lunga seperti yang mereka rencanakan sebelumnya.[79] Antara 9 Oktober dan 11 Oktober 1942, Batalion 1 Resimen 2 Marinir menyerang dua pos terdepan Jepang sekitar 30 mil (48 km) di timur perimeter Lunga (di Gurabusu dan Koilotumaria) dekat Teluk Aola. Serangan tersebut menimbulkan korban sebesar 35 tewas di pihak Jepang. Sebaliknya di pihak Amerika Serikat, 17 Marinir dan 3 personel Angkatan Laut yang tewas.[80] Pertempuran Tanjung EsperanceSepanjang minggu terakhir September dan minggu pertama Oktober 1942, pasukan dari Divisi Infanteri 2 Jepang diantarkan ke Guadalkanal oleh konvoi kapal-kapal Tokyo Express. Angkatan Laut Jepang berjanji untuk tidak hanya mendukung ofensif Angkatan Darat dengan mengantarkan pasukan, peralatan, dan perlengkapan ke Guadalkanal, melainkan juga meningkatkan serangan-serangan udara ke Lapangan Udara Henderson, dan mengirimkan kapal-kapal perang untuk melakukan bombardemen.[81] Sementara itu, Millard F. Harmon, komandan Angkatan Darat Amerika Serikat di Pasifik Selatan, meyakinkan Ghormley bahwa kekuatan Marinir Amerika Serikat di Guadalkanal perlu segera diperkuat bila Sekutu bermaksud mempertahankan pulau itu dari serangan Jepang yang berikutnya. Selanjutnya pada 8 Oktober di Kaledonia Baru, 2.837 prajurit dari Resimen Infanteri 164 dari Divisi Americal menaiki kapal-kapal yang mengangkut mereka ke Guadalkanal. Mereka diperkirakan akan tiba di Guadalkanal, 13 Oktober 1942. Ghormley menugaskan Gugus Tugas 64 yang terdiri dari empat kapal penjelajah dan lima kapal perusak di bawah komando Laksamana Amerika Serikat Norman Scott sebagai pelindung kapal-kapal transpor yang mengangkut Resimen 164 ke Guadalkanal. Gugus Tugas 64 diperintahkan untuk mencegat dan memerangi setiap kapal Jepang yang mendekati Guadalkanal dan mengancam kedatangan konvoi kapal transpor.[82] Staf Armada 8 di bawah pimpinan Gunichi Mikawa menjadwalkan konvoi Tokyo Express yang besar dan penting pada malam 11 Oktober 1942. Dua kapal induk pesawat amfibi dan enam kapal perusak ditugaskan untuk mengirimkan 728 prajurit ditambah artileri dan amunisi ke Guadalkanal. Pada saat yang bersamaan namun dalam operasi terpisah, tiga kapal penjelajah berat dan dua kapal perusak di bawah komando Laksamana Muda Aritomo Gotō ditugaskan membombardir Lapangan Udara Henderson dengan peluru peledak khusus dengan tujuan menghancurkan Angkatan Udara Kaktus sekaligus fasilitas lapangan udara. Mengingat sebelumnya tidak ada kapal-kapal perang Angkatan Laut Amerika Serikat yang pernah mencoba menyergap misi-misi Tokyo Express ke Guadalkanal, pihak Jepang sama sekali tidak menantikan adanya perlawanan dari kekuatan laut Sekutu pada malam itu.[83] Tepat sebelum tengah malam, kapal-kapal perang Scott mendeteksi kehadiran kapal-kapal Gotō di radar dekat pintu masuk selat antara Pulau Savo dan Guadalkanal. Kapal-kapal Scott berada dalam posisi memotong di hadapan formasi Gotō yang sama sekali tidak mencurigai kehadiran kapal-kapal Sekutu. Kapal-kapal Scott membuka tembakan, dan menenggelamkan satu dari kapal penjelajah serta satu kapal perusak Gotō. Satu kapal penjelajah rusak berat, dan Gotō tewas setelah terluka parah. Pada akhirnya kapal-kapal perang Jepang yang tersisa harus membatalkan misi bombardemen dan mundur. Di tengah tembak-menembak, satu dari kapal perusak Scott tenggelam, serta satu kapal penjelajah dan satu kapal perusak rusak berat. Sementara itu, konvoi Tokyo Express berhasil tiba dan menyelesaikan bongkar muat di Guadalkanal. Kapal-kapal Tokyo Express diberangkatkan untuk memulai perjalanan pulang tanpa pernah ditemukan oleh Scott dan kapal-kapal Sekutu yang dipimpinnya. Kemudian pada pagi hari 12 Oktober, empat kapal perusak Jepang dari konvoi Tokyo Express berbalik arah untuk membantu kapal-kapal perang Gotō rusak. Serangan udara oleh Angkatan Udara Kaktus dari Lapangan Udara Henderson menenggelamkan 2 dari 4 kapal perusak Jepang tersebut. Konvoi tentara Angkatan Darat Amerika Serikat tiba di Guadalkanal sesuai jadwal pada hari berikutnya, dan berhasil membongkar muatan dan menurunkan para prajurit.[84] Bombardemen Jepang ke Lanud HendersonMeskipun Amerika sudah menang di Tanjung Esperance, Jepang terus melanjutkan rencana dan bersiap-siap untuk melakukan ofensif skala besar yang sesuai jadwal akan dilancarkan pada Oktober 1942. Kalau sebelumnya mereka hanya mau memakai kapal-kapal perang berkecepatan tinggi untuk mengangkut pasukan dan materiil di jalur Tokyo Express, Jepang waktu itu memutuskan untuk mengambil risiko dengan memakai kapal kargo. Pada 13 Oktober 1942, sebuah konvoi yang terdiri dari 6 kapal kargo dilindungi 8 kapal perusak berangkat dari Kepulauan Shortland menuju Guadalkanal. Konvoi tersebut membawa 4.500 prajurit dari Resimen Infanteri 16 dan 230, sejumlah marinir Angkatan Laut, dua meriam artileri berat, dan satu kompi tank.[85] Sebagai pelindung konvoi dari serangan pesawat-pesawat Angkatan Udara Kaktus, Yamamoto mengirim dua kapal perang dari Truk untuk membombardir Lapangan Udara Henderson. Pada pukul 01.33 tanggal 14 Oktober 1942, Kongō dan Haruna dengan dikawal satu kapal penjelajah ringan dan 9 kapal perusak, tiba di Guadalkanal dan menembaki Lapangan Udara Henderson dari jarak 16.000 meter. Selama 1 jam dan 23 menit berikutnya, dua kapal tempur Jepang paling tidak menembakkan sejumlah 973 peluru meriam 14 inci (356 mm) ke arah perimeter Lunga. Sebagian besar darinya jatuh di area sekitar 2200 m² di lapangan terbang. Sebagian besar dari peluru meriam adalah peluru yang memiliki efek fragmentasi, dan secara khusus dirancang untuk menghancurkan target darat. Pengeboman Jepang mengakibatkan dua landas pacu rusak berat, semua bahan bakar yang tersedia terbakar, serta menghancurkan 48 dari 90 pesawat milik CAF, dan menewaskan 41 prajurit, termasuk 6 pilot CAF. Kapal-kapal tempur Jepang kemudian segera kembali ke Truk.[86] Meskipun menderita kerusakan berat, personel di Lanud Henderson mampu mengembalikan salah satu dari landasan pacu ke dalam kondisi operasional dalam beberapa jam. Sejumlah 17 pesawat SBD dan 20 Wildcats di Espiritu Santo dengan segera diterbangkan ke Henderson. Pesawat-pesawat Angkatan Darat dan Marinir Amerika Serikat juga segera melakukan penerbangan bolak-balik Espiritu Santo-Guadalkanal untuk mengangkut bahan bakar yang diperlukan Lanud Henderson. Setelah serangan Henderson, Amerika tersadar bahwa akan ada konvoi bala bantuan Jepang dalam skala besar. Pihak Amerika Serikat melakukan segala upaya untuk mencegat konvoi Jepang sebelum mencapai Guadalkanal. Dengan bermodalkan bahan bakar yang diambil dari pesawat yang rusak dan dari persediaan kecil di hutan terdekat, pesawat-pesawat CAF dua kali menyerang konvoi pada 14 Oktober, tapi tidak menyebabkan kerusakan apa pun di pihak Jepang.[87] Konvoi Jepang sampai di Tassafaronga, Guadalkanal pada tengah malam 14 Oktober dan mulai bongkar muat. Sepanjang hari 15 Oktober, sejumlah pesawat CAF dari Henderson datang untuk mengebom dan menembaki kapal-kapal Jepang yang sedang bongkar muat. Akibatnya, 3 kapal kargo hancur. Sisa dari konvoi diberangkatkan pada malam itu juga setelah menurunkan semua pasukan dan sekitar dua pertiga dari persediaan dan peralatan. Beberapa kapal penjelajah berat Jepang juga membombardir Henderson pada malam 14 dan 15 Oktober, serta sempat menghancurkan beberapa pesawat CAF, namun gagal menyebabkan kerusakan lebih lanjut di Lanud Henderson.[88] Pertempuran Lapangan Udara HendersonAntara 1 Oktober 1 dan 17 Oktober, Jepang mendaratkan 15.000 prajurit di Guadalkanal, sehingga Hyakutake memiliki total 20.000 prajurit untuk ofensif besar-besaran yang sedang direncanakannya. Setelah kehilangan posisi mereka di sisi timur Matanikau, Jepang menyadari kesulitan pasti akan ditemui bila menyerang pertahanan Amerika di sepanjang pantai. Oleh karena itu, Hyakutake memutuskan serangan utama yang diaturnya datang dari arah selatan Lapangan Udara Henderson. Divisi 2 (ditambah pasukan dari Divisi 38) di bawah komando Letnan Jenderal Masao Maruyama yang terdiri dari 7.000 prajurit dalam tiga resimen infanteri berasal tiga batalion, masing-masing direncanakan untuk menyusun serangan melalui hutan, dan menyerang pertahanan Amerika dari selatan dekat tepi timur Sungai Lunga.[89] [127] Tanggal serangan ditetapkan 22 Oktober 1942, namun kemudian diubah menjadi 23 Oktober. Sebagai pengalih perhatian Amerika dari serangan Jepang dari selatan, artileri berat Hyakutake ditambah lima batalion infanteri (sekitar 2.900 prajurit) di bawah Mayor Jenderal Tadashi Sumiyoshi diperintahkan untuk menyerang pertahanan Amerika dari barat sepanjang pesisir. Jepang hanya memperkirakan ada sekitar 10.000 prajurit Amerika di pulau Guadalkanal, padahal Amerika Serikat berhasil menempatkan sekitar 23.000 prajurit.[90] Pada 12 Oktober, satu kompi zeni Jepang mulai merintis jalan setapak yang disebut "Jalan Maruyama", dari Matanikau menuju bagian selatan perimeter Lunga. Jalur sepanjang 24 km tersebut melintasi beberapa medan yang paling sulit di Guadalkanal, termasuk berbagai aliran sungai, jurang dalam dan berlumpur, pegunungan terjal, dan hutan lebat. Antara Oktober 16 dan 18 Oktober, Divisi 2 mulai melakukan perjalanan di sepanjang Jalan Maruyama.[91] Pada 23 Oktober 1942, pasukan Maruyama masih berjuang menaklukkan hutan dan belum sampai di garis pertahanan Amerika. Senja itu, setelah mengetahui pasukannya belum sampai di posisi siap menyerang, Hyakutake menunda serangan hingga 24 Oktober pukul 19.00. Pihak Amerika hingga saat itu sama sekali tidak menyadari bahwa pasukan Maruyama makin mendekat.[92] Sumiyoshi diberi tahu oleh staf Hyakutake tentang penundaan ofensif hingga 24 Oktober, namun tidak dapat menghubungi pasukannya untuk memberitahu tentang adanya penundaan itu. Akibatnya pada senja 23 Oktober, dua batalion dari Resimen Infanteri 4 dan 9 tank dari Kompi Tank Independen 1 melancarkan serangan terhadap pertahanan Marinir AS di mulut Sungai Matanikau. Serangan Jepang dihalau tembakan artileri, meriam, dan senjata api ringan oleh Marinir AS, dan berhasil menghancurkan semua tank dan membunuh banyak prajurit Jepang, sementara hanya mengakibatkan korban ringan di pihak Amerika.[93] Pada akhirnya, malam 24 Oktober, pasukan Murayama mencapai perimeter Lunga. Selama dua malam berturut-turut pasukan Murayama melakukan sejumlah serangan frontal yang gagal terhadap posisi-posisi Amerika yang dipertahankan oleh Batalion 1 Resimen 7 di bawah komando Letnan Kolonel Chesty Puller, dan Batalion 3, Resimen Infanteri 164 yang dikomandani Letnan Kolonel Robert Hall. Marinir dan Angkatan Darat AS bertahan dengan tembakan senapan, senapan mesin, mortir, artileri, dan tembakan canister dari senjata anti-tank 37 mm M3 "mengakibatkan pembantaian mengerikan" di pihak Jepang.[94] Beberapa kelompok kecil tentara Jepang menerobos pertahanan Amerika, tapi semua diburu dan tewas terbunuh selama beberapa hari berikutnya. Lebih dari 1.500 prajurit Maruyama tewas dalam serangan sementara Amerika hanya kehilangan sekitar 60 prajurit tewas. Selama dua hari itu, pesawat Amerika dari Lapangan Henderson bertahan dari serangan pesawat terbang dan kapal perang Jepang, dan berhasil menghancurkan 14 pesawat Jepang dan menenggelamkan satu kapal penjelajah ringan.[95] Serangan Jepang lebih lanjut dekat Matanikau pada 26 Oktober juga berhasil ditangkal dengan hasil kerugian berat bagi Jepang. Sebagai akibatnya, pada pukul 08:00 tanggal 26 Oktober, Hyakutake membatalkan semua serangan lebih lanjut, dan memerintahkan pasukannya untuk mundur. Sekitar setengah pasukan Maruyama yang selamat diperintahkan untuk mundur kembali ke bagian atas Lembah Matanikau, sementara Resimen Infantri 230 di bawah Kolonel Toshinari Shōji diperintahkan untuk menuju Koli Point, di sebelah timur perimeter Lunga. Pasukan terdepan dari Divisi 2 mencapai area markas besar Resimen 17 Angkatan Darat Amerika Serikat di Kokumbona, barat Matanikau pada 4 November. Pada hari yang sama, unit pimpinan Shoji mencapai Koli Point dan berkemah. Setelah hancur akibat prajurit yang tewas dalam pertempuran, luka tempur, malagizi, dan penyakit tropis, Divisi 2 Jepang sudah tidak mampu lagi melakukan serangan lebih lanjut, dan hanya bertempur sekadar untuk bertahan di sepanjang sisa pertempuran. Secara total Jepang kehilangan 2.200 hingga 3.000 prajurit dalam pertempuran sementara Amerika hanya kehilangan sekitar 80 tewas.[96] Pertempuran Kepulauan Santa CruzBersamaan dengan penyerangan pasukan Hyakutake ke perimeter Lunga, kapal-kapal induk dan kapal-kapal perang Jepang di bawah pimpinan Isoroku Yamamoto bergerak ke posisi dekat selatan Kepulauan Solomon. Dari lokasi ini, angkatan laut Jepang berharap dapat bertemu dan secara telak mengalahkan kekuatan laut Sekutu, terutama khususnya kapal-kapal induk Amerika Serikat yang pernah melakukan serangan di darat terhadap pasukan Hyakutake. Armada kapal induk Sekutu yang sekarang berada di bawah komando William Halsey, Jr. sedang berada di kawasan yang sama, dan berharap dapat bertemu dengan armada Jepang. Nimitz telah mencopot Ghormley dan menggantinya dengan Halsey pada 18 Oktober setelah menyimpulkan Ghormley telah menjadi terlalu pesimistis dan rabun untuk secara efektif terus memimpin pasukan Sekutu di kawasan Pasifik Selatan.[97] Kedua armada akhirnya saling berhadapan pada pagi hari 26 Oktober dalam pertempuran yang nantinya disebut Pertempuran Kepulauan Santa Cruz. Setelah saling menghantam dengan serangan pesawat-pesawat dari kapal induk, kapal-kapal Sekutu dipaksa untuk mundur setelah menderita kerugian satu kapal induk tenggelam (USS Hornet) dan 'USS Enterprise rusak berat. Armada Jepang juga ditarik mundur setelah menderita kerugian sejumlah besar pesawat kapal induk dan awaknya yang menjadi korban. Walaupun sepertinya Pertempuran Kepulauan Santa Cruz merupakan kemenangan taktis Jepang dilihat dari total kapal Sekutu yang tenggelam atau rusak, Jepang menderita kerugian yang tergantikan akibat tewasnya banyak penerbang veteran. Hal tersebut memberikan keuntungan strategis jangka panjang bagi Sekutu yang relatif hanya sedikit kehilangan para penerbang dalam pertempuran. Setelah Pertempuran Kepulauan Santa Cruz, kapal induk Jepang tidak lagi memainkan peranan penting dalam peperangan di Guadalkanal.[98] Aksi-aksi bulan November 1942Dalau usaha memanfaatkan kemenangan Amerika dalam Pertempuran Lapangan Udara Henderson, Vandegrift mengirim enam batalion Marinir yang kemudian ditambah satu batalion Angkatan Darat untuk menyerang posisi Jepang di barat Matanikau. Operasi yang dikomandani Merritt Edson ini bertujuan merebut Kokumbona di barat Tanjung Cruz yang dijadikan markas besar Angkatan Darat ke-17 Jepang. Tugas mempertahankan Tanjung Cruz merupakan tanggung jawab Angkatan Darat Jepang dari Resimen Infanteri ke-4 di bawah komando Nomasu Nakaguma yang sedang dalam keadaan lemah karena pertempuran, penyakit tropis, dan malagizi.[99] Serangan Amerika dimulai 1 November. Setelah mengalami beberapa hambatan, tentara Amerika berhasil menghancurkan kekuatan Jepang yang mempertahankan kawasan Tanjung Cruz pada 3 November, termasuk tentara baris belakang yang dikirim untuk memperkuat resimen Nakaguma yang sudah dalam keadaan payah. Tentara Amerika waktu itu tampaknya sudah hampir menembus pertahanan Jepang dan merebut Kokumbona. Namun terjadi bentrokan lainnya setelah tentara Amerika mencegat tentara Jepang yang baru mendarat dekat Tanjung Koli di sisi timur perimeter Lunga. Ancaman baru ini diatasi Vandegrift dengan cara menghentikan serangan ke Matanikau untuk sementara pada 4 November. Ketika itu pihak Amerika sudah menderita 71 tewas sementara tentara Jepang yang tewas sebanyak 400 orang.[100] Pada dini hari 3 November, 5 kapal perusak Jepang mendaratkan 300 tentara angkatan darat sebagai bala bantuan untuk Kolonel Shōji dan pasukan yang bergerak menuju Tanjung Koli setelah mundur dari Pertempuran Lapangan Udara Henderson. Rencana pendaratan pasukan Jepang sudah diketahui sebelumnya oleh Vandegrift yang mengerahkan satu batalion Marinir di bawah komando Herman H. Hanneken untuk mencegat Jepang di Koli. Segera setelah mendarat, tentara Jepang berhadapan dengan batalion Hanneken yang dipaksa mundur hingga ke perimeter Lunga. Sebagai balasan, Vandegrift memerintahkan batalion Marinir Puller ditambah dua batalion dari Resimen Infanteri 164 serta batalion Hanneken untuk bergerak ke arah Tanjung Koli menyerang pasukan Jepang.[101] Ketika pasukan Amerika mulai bergerak, Kolonel Shōji dan pasukannya mulai tiba di Tanjung Koli. Mulai 8 November, pasukan Amerika berusaha mengepung pasukan Shōji di Sungai Gavaga dekat Tanjung Koli. Namun Hyakutake sudah memerintahkan Shōji untuk meninggalkan posisi di Koli dan bergabung dengan pasukan Jepang di Kokumbona di kawasan Matanikau. Jepang memakai celah yang melewati sungai berawa-rawa di sebelah selatan garis pertahanan Amerika untuk melarikan diri. Antara 9 November dan 11 November, Shōji membawa sekitar 2.000 hingga 3.000 anak buahnya melarikan diri ke dalam hutan di selatan. Pada tanggal 12 November, tentara Amerika sudah berhasil mengejar dan membunuhi semua tentara Jepang yang tersisa di kantong-kantong perlawanan. Pihak Amerika menghitung sekitar 450-475 tewas di pihak Jepang di daerah Tanjung Koli. Hampir semua senjata berat dan perbekalan milik pasukan Shōji berhasil disita. Pihak Amerika menderita 40 tewas dan 120 terluka.[102] Sementara itu pada 4 November, dua kompi dari Batalion Raider Marinir 2 di bawah komandan Letnan Kolonel Evans Carlson mendarat dengan perahu di Teluk Aola Bay, 64 km sebelah timur Tanjung Lunga. Raider pimpinan Letkol Carlson bersama pasukan dari Resimen Infanteri 147 Angkatan Darat Amerika Serikat diturunkan untuk mengamankan 500 personel batalion konstruksi Seabee yang sedang berusaha membuat lapangan terbang di lokasi itu. Halsey yang bertindak atas rekomendasi Turner telah menyetujui pembangunan lapangan udara Teluk Aola. Namun pembangunan lapangan udara tersebut dibatalkan pada akhir November karena medan yang terlalu sulit.[103] Pada 5 November, Vandegrift memerintahkan Carlson untuk mengajak pasukan raider miliknya melakukan mars dari Aola dengan tujuan menyerang semua pasukan Shōji yang melarikan diri dari Tanjung Koli. Bersama kompi yang tersisa dari batalion yang tiba beberapa hari kemudian, Carlson bersama pasukannya memulai patroli selama 29 hari dari Aola hingga perimeter Lunga. Selama patroli, pasukan raider bertemu pasukan Shōji yang sedang mundur dan pecah beberapa kali pertempuran dengan korban 500 tewas di pihak Jepang. Sementara 16 tentara Jepang yang sudah tidak tahan menderita bunuh diri. Selain terbunuh akibat serangan-serangan raider Carlson, anak buah Shōji juga jadi korban penyakit tropis dan kurang makan. Pada saat pasukan Shōji tiba di Sungai Lunga pada pertengahan November (sekitar setengah jalan dari Matanikau) hanya 1.300 prajurit yang tersisa. Ketika Shōji tiba di posisi Angkatan Darat 17 Amerika Serikat di sebelah barat Matanikau, hanya ada 700 hingga 800 anak buahnya yang selamat. Sebagian besar di anak buah Shōji yang selamat akhirnya bergabung dengan unit-unit Jepang yang mempertahankan Gunung Austen dan kawasan hulu Sungai Matanikau.[104] Kedatangan kapal-kapal Tokyo Express pada 5 November, 7 November, dan 9 November mengantarkan pasukan tambahan dari Divisi Infanteri 38, termasuk sebagian besar Resimen Infanteri 228 ke Guadalkanal. Pasukan-pasukan Jepang yang masih segar ini dengan segera menempati posisi-posisi mereka di Tanjung Cruz dan kawasan Matanikau. Mereka berhasil membantu menangkal serangan-serangan selanjutnya Amerika pada tanggal 10 November dan 18 November. Selama 6 minggu berikutnya, tentara Jepang dan tentara Amerika terus berada saling berhadap-hadapan di sepanjang sebuah garis persis di sebelah barat Tanjung Cruz.[105] Pertempuran Laut GuadalkanalSetelah kalah dalam Pertempuran Lapangan Udara Henderson, Angkatan Darat Kekaisaran Jepang menyusun rencana baru untuk merebut kembali Lapangan Udara Henderson pada November 1942. Bala bantuan dalam skala besar diperlukan sebelum operasi dapat dimulai. Angkatan Darat meminta bantuan dari Yamamoto untuk mengirim bala bantuan ke Guadalkanal. Total 11 kapal transpor ukuran besar dikerahkan Yamamoto untuk membawa sisa 7.000 pasukan dari Divisi Infanteri 38, amunisi, makanan, dan peralatan berat dari Rabaul ke Guadalkanal. Yamamoto juga memberi dukungan kapal perang, termasuk di antaranya dua kapal tempur. Dua kapal tempur yang dikerahkan adalah Hiei dan Kirishima yang dilengkapi peluru meriam khusus yang dapat terfragmentasi. Keduanya membombardir Lapangan Udara Henderson pada malam 12 dan 13 November hingga menghancurkan bandara dan pesawat-pesawat yang ditempatkan di sana. Bombardemen ke Henderson bertujuan melindungi kapal-kapal transpor berat Jepang yang berkecepatan lambat hingga tiba di Guadalkanal dan membongkar muatan dengan selamat pada keesokan harinya.[106] Armada kapal-kapal perang Jepang dikomandani dari atas Hiei oleh Laksamana Madya Hiroaki Abe yang baru saja naik pangkat.[107] Pada awal November, intelijen Sekutu mengetahui bahwa Jepang sedang mencoba sekali lagi merebut Lapangan Udara Henderson.[108] Oleh karena itu, Amerika Serikat mengirimkan Gugus Tugas 67 dengan misi membawa bala bantuan secara besar-besaran dalam konvoi di bawah komando Turner ke Guadalkanal pada 11 November 1942. Konvoi membawa perbekalan berikut pasukan Marinir pengganti, dua batalion infanteri angkatan darat, amunisi, dan makanan. Kapal-kapal logistik Amerika dilindungi oleh dua gugus tugas yang dikomandani Laksamana Muda Daniel J. Callaghan dan Norman Scott, serta dibantu pesawat-pesawat dari Lanud Henderson.[109] Kapal-kapal Amerika Serikat sempat diserang beberapa kali pada 11 dan 12 November oleh pesawat-pesawat Jepang yang datang dari Rabaul setelah mengisi bahan bakar di Buin, Bougainville. Meskipun demikian, sebagian besar muatan kapal dapat dibongkar dengan selamat tanpa kerusakan serius.[110] Pesawat pengintai Amerika Serikat memergoki armada kapal-kapal Abe, dan menyampaikan sebuah peringatan ke markas komando Sekutu. Setelah berita diterima, Turner mengerahkan semua kapal-kapal perang di bawah komando Callaghan yang bisa dipakai untuk melindungi pasukan yang berada di darat dari serangan angkatan laut serta pendaratan pasukan Jepang. Turner juga memerintahkan kapal-kapal logistik Amerika di Guadalkanal untuk segera berangkat sebelum akhir petang 12 November.[111] Armada Callaghan terdiri dari dua kapal penjelajah berat, tiga penjelajah ringan, dan 8 kapal perusak.[112] Sekitar pukul 01.30 tanggal 13 November, kapal-kapal Callaghan mencegat armada bombardemen Abe di laut antara Guadalkanal dan Pulau Savo. Selain dua kapal tempur, armada Abe juga mengikutsertakan satu kapal penjelajah ringan dan 11 kapal perusak. Di tengah kegelapan malam,[113] kapal-kapal dari kedua armada berada dalam posisi bercampur-baur sebelum membuka tembakan dari jarak dekat. Semua kapal armada Amerika Serikat berhasil ditenggelamkan atau menderita kerusakan berat akibat serangan armada kapal perang Abe. Hanya satu kapal penjelajah dan satu kapal perusak milik armada Callaghan yang selamat. Laksamana Muda Callaghan dan Norman Scott tewas. Dua kapal perusak Jepang tenggelam sementara satu lagi kapal perusak dan Hiei dalam keadaan rusak berat. Walaupun armada Callaghan sudah dihancurkan, Abe memerintahkan kapal-kapal perangnya untuk mundur dan melupakan misi membombardir Lapangan Udara Henderson. Masih pada hari yang sama, Hiei tenggelam akibat serangan berulang dari pesawat Angkatan Udara Kaktus (CAF) dan pesawat dari kapal induk USS Enterprise. Akibat kegagalan Abe menetralisir Lanud Henderson, Yamamoto memerintahkan konvoi pengangkut pasukan di bawah komando Raizo Tanaka yang sudah berada di dekat Kepulauan Shortlan untuk menunggu beberapa hari sebelum melanjutkan pelayaran menuju Guadalkanal. Yamamoto memerintahkan Nobutake Kondo untuk menyusun armada bombardemen lain dari kapal-kapal perang yang didatangkan dari Truk dan kapal-kapal perang Abe yang direncanakan menyerang Lapangan Udara Henderson pada tanggal 15 November.[114] Sementara itu, sekitar pukul 02.00 tanggal 14 November, armada kapal penjelajah dan perusak di bawah komando Gunichi Mikawa melakukan bombardemen terhadap Lapangan Udara Henderson tanpa menemui perlawanan. Bombardemen tersebut menimbulkan kerusakan di sana-sini, namun kegiatan operasional lapangan udara tidak terhenti dan gagal menghancurkan sebagian besar pesawat yang ada. Ketika Mikawa mundur menuju Rabaul, konvoi kapal transpor Tanaka mulai berlayar menuju Guadalkanal karena percaya Lanud Henderson waktu itu sudah hancur atau rusak berat. Namun sepanjang hari tanggal 14 November, pesawat-pesawat dari Lanud Henderson dan kapal induk Enterprise menyerang armada kapal-kapal Mikawa dan Tanaka serta menenggelamkan satu kapal perusak berat dan 7 kapal transpor. Serangan udara Amerika dapat diterbangkan karena adanya persediaan 488 drum berukuran 55 galon berisi bahan bakar 100 oktan yang disembunyikan di bawah lindungan hutan lebat oleh pelaut Cub-1 bernama August Martello. Kapal-kapal perusak Tanaka menyelamatkan sebagian besar dari pasukan diselamatkan dari kapal-kapal transpor yang tenggelam dan diantar pulang ke Shortlands. Setelah hari gelap, kapal-kapal Tanaka dan empat kapal transpor yang tersisa terus berlayar menuju Guadalkanal. Sementara itu, armada kapal-kapal Kondo sudah berada di dekat Guadalkanal untuk memulai bombardemen Lanud Henderson.[115] Laksamana Halsey mencegat armada Kondo dengan mengirimkan dua kapal tempur, USS Washington dan USS South Dakota, ditambah empat kapal perusak dari gugus tugas Enterprise. Halsey memang hanya punya sedikit persediaan kapal-kapal yang tidak rusak. Armada kapal-kapal Amerika di bawah komando Willis A. Lee yang berada di atas USS Washington, tiba di Guadalkanal dan Pulau Savo persis sebelum tengah malam 14 November, tidak lama sebelum armada kapal-kapal Kondo yang bertugas melakukan bombardemen tiba. Armada Kondo terdiri dari kapal tempur Kirishima disertai dua kapal penjelajah berat, dua kapal penjelajah ringam, dan sembilan kapal perusak. Setelah kedua belah armada saling berhadap-hadapan, kapal-kapal Kondo dengan segera menenggelamkan 3 kapal perusak Amerika dan 1 kapal perusak dibuat rusak berat. USS South Dakota terlihat oleh armada Kondo yang langsung membuka tembakan. Sementara, kapal-kapal Kondo sibuk menembaki USS South Dakota, kedatangan USS Washington luput dari pengamatan armada Kondo dan langsung menembak ke arah Kirishima. Berkali-kali tembakan mengenai Kirishima dan menyebabkan kerusakan fatal. Setelah gagal mengejar USS Washington yang melarikan diri ke arah Kepulauan Russell, Kondo memerintahkan kapal-kapalnya untuk mundur dan melupakan tugas bombardemen ke Lanud Henderson. Kerugian di pihak Kondo juga termasuk satu kapal perusak yang tenggelam.[116] Setelah kapal-kapal Kondo mundur, empat kapal transpor Jepang berlabuh di dekat Tassafaronga, Guadalcanal pada pukul 04.00 dan segera melakukan bongkar muat. Pukul 05.55, serangan pesawat-pesawat Amerika dan tembakan artileri menyambut kapal-kapal Jepang yang sedang berlabuh. Akibat serangan, semua kapal transpor Jepang di Tassafaronga hancur bersama sebagian besar perbekalan yang diangkutnya. Hanya 2.000 hingga 3.000 tentara Jepang yang berhasil sampai di darat. Akibat kegagalan mendaratkan sebagian besar pasukan dan perbekalan, Jepang terpaksa membatalkan serangan ke Lanud Henderson yang menurut rencana akan dilaksanakan pada bulan November 1942.[117] Pada 26 November, Letnan Jenderal Hitoshi Imamura mengambil alih komando Angkatan Darat Area 8 yang baru dibentuk di Rabaul. Markas komando yang baru juga membawahi Angkatan Darat 17 pimpinan Hyakutake dan Angkatan Darat 18 di Nugini. Salah satu prioritas pertama Imamura setelah mengambil alih komando adalah kelanjutan usaha merebut kembali Lanud Henderson dan Guadalkanal. Namun serangan Sekutu terhadap Buna di Nugini akhirnya mengubah prioritas Imamura. Usaha Sekutu merebut Buna dianggap lebih merupakan ancaman serius Rabaul. Sebagai akibatnya, usaha-usaha berikutnya untuk mengirimkan bala bantuan besar-besaran ke Guadalkanal ditunda agar lebih dapat berkonsentrasi pada situasi di Nugini.[118] Pertempuran TassafarongaJepang terus mengalami masalah dalam mengantarkan perbekalan yang cukup untuk mempertahankan pasukan mereka di Guadalkanal. Upaya untuk hanya menggunakan kapal selam selama dua minggu terakhir bulan November gagal menyediakan makanan yang cukup bagi pasukan Hyakutake. Sebuah upaya terpisah untuk membangun pangkalan-pangkalan militer di Kepulauan Solomon tengah untuk mengakomodasi konvoi kapal tongkang ke Guadalkanal juga gagal akibat dihancurkan serangan udara Sekutu. Pada 26 November 1942, Angkatan Darat 17 memberitahu Imamura tentang krisis makanan yang sedang dialami mereka. Sejumlah unit-unit garis depan sudah tidak menerima pasokan makanan selama 6 hari dan pasukan di garis belakang hanya diberi makan sepertiga dari ransum harian mereka. Situasi kritis ini memaksa Jepang untuk kembali menggunakan kapal perusak untuk mengantar perbekalan.[119] Personel Armada ke-8 menyusun rencana untuk mengurangi risiko diserang Sekutu ketika kapal-kapal perusak Jepang mengantarkan logistik ke Guadalkanal. Drum-drum kosong bekas bahan bakar dan oli dibersihkan dan diisi dengan perbekalan medis dan makanan, namun tidak diisi sampai penuh agar masih dapat mengambang di laut. Drum-drum berisi perbekalan tersebut lalu dirangkaikan dengan tali. Setelah tiba di Guadalkanal, kapal-kapal perusak Jepang langsung berbalik arah, dan melepas rangkaian drum perbekalan. Perenang atau perahu Jepang dari pantai akan mengambil ujung tali yang diikat pada sebuah pelampung dan menarik drum-drum tersebut ke pantai untuk selanjutnya diangkut oleh para prajurit.[120] Raizo Tanaka yang saat itu komandan Unit Bala Bantuan Guadalkanal Armada ke-8 (julukan: Tokyo Express) diberi tugas oleh Mikawa untuk melakukan pelayaran pertama pada malam 30 November dari total 5 pelayaran membawa drum-drum logistik yang telah dijadwalkan sebelumnya ke Tassafaronga, Guadalkanal. Unit Tanaka berintikan delapan kapal perusak, enam kapal perusak di antaranya ditugaskan membawa antara 200 hingga 240 drum perbekalan.[121] Setelah diberi tahu sumber-sumber intelijen yang mengetahui upaya Jepang mengirimkan perbekalan, Halsey memerintahkan Gugus Tugas 67 yang baru dibentuk (terdiri dari 4 kapal penjelajah dan 4 kapal perusak di bawah komando Laksamana Muda (AS) Carleton H. Wright untuk mencegat armada Tanaka agar tidak dapat sampai di Guadalkanal. Dua kapal perusak tambahan bergabung dengan armada Wright di tengah pelayaran dari Espiritu Santo menuju Guadalkanal pada siang 30 November.[122] Pada pukul 22.40 tanggal 30 November, armada Tanaka sudah sampai di lepas pantai Guadalkanal, dan bersiap melepas drum-drum perbekalan. Sementara itu, armada Wright yang datang dari Selat Ironbottom sudah mendekat dari arah berlawanan. Setelah radar kapal-kapal perusak Wright mendeteksi armada Tanaka, komandan kapal perusak meminta izin untuk menyerang dengan torpedo. Wright menunggu hingga 4 menit sebelum mengeluarkan perintah sehingga kapal-kapal Tanaka sempat melepaskan diri dari jarak tembakan optimal torpedo Amerika. Semua torpedo Amerika luput. Namun pada saat yang bersamaan, kapal-kapal penjelajah Wright memulai tembakan yang mengenai salah satu kapal perusak Jepang dan menghancurkannya. Kapal-kapal Tanaka yang tersisa membatalkan misi perbekalan, menambah kecepatan, berbelok, dan meluncurkan sejumlah 44 torpedo ke arah kapal-kapal penjelajah Wright.[123] Torpedo Jepang tepat mengenai kapal penjelajah USS Northampton dan membuat tiga kapal penjelajah lainnya, USS Minneapolis, USS New Orleans, dan USS Pensacola rusak berat. Kapal perusak Tanaka yang lain berhasil selamat melarikan diri tanpa kerusakan, namun gagal menurunkan perbekalan di Guadalkanal.[124] Hingga 7 Desember 1942, setiap harinya pasukan Hyakutake kehilangan sekitar 50 prajurit yang tewas karena kekurangan gizi, penyakit, serta serangan darat/udara Sekutu.[125] Upaya lebih lanjut armada Tanaka untuk mengirim perbekalan pada 3 Desember, 7 Desember, dan 11 Desember, gagal mengatasi krisis. Satu dari kapal perusak Tanaka juga ditenggelamkan oleh tenggelam oleh sebuah kapal motor torpedo Amerika.[126] Keputusan Jepang untuk mundurPada 12 Desember 1942, Angkatan Laut Jepang mengusulkan agar Guadalkanal ditinggalkan. Pada waktu yang bersamaan, beberapa perwira staf angkatan darat di Markas Umum Kekaisaran Jepang juga berpendapat bahwa upaya berikutnya untuk merebut kembali Guadalkanal sudah tidak mungkin. Sebuah delegasi, yang dipimpin kepala seksi operasi markas umum, Kolonel (AD) Joichiro Sanada mengunjungi Rabaul pada 19 Desember untuk berkonsultasi dengan Imamura dan stafnya. Sekembalinya delegasi ke Tokyo, Sanada mengeluarkan rekomendasi untuk meninggalkan Guadalkanal. Pada 26 Desember, pemimpin puncak markas besar setuju dengan rekomendasi Sanada,dan memerintahkan staf mereka untuk mulai menyusun rencana penarikan mundur dari Guadalkanal, pembentukan garis pertahanan baru di bagian tengah Kepulauan Solomon, serta pergeseran prioritas dan sumber daya untuk kampanye Nugini.[127] Pada 28 Desember, Jenderal Hajime Sugiyama dan Laksamana Osami Nagano secara pribadi memberi tahu Kaisar Hirohito tentang keputusan untuk mundur dari Guadalkanal. Pada 31 Desember 1942, Hirohito secara resmi didukung keputusan tersebut. Jepang secara diam-diam mulai mempersiapkan operasi evakuasi yang diberi nama Operasi Ke. Operasi penarikan mundur dari Guadalkanal menurut rencana dimulai pada akhir Januari 1943.[128] Pertempuran Gunung AustenPada Desember 1942, Divisi Marinir 1 yang telah letih ditarik mundur untuk beristirahat. Operasi di Guadalkanal selama bulan-bulan berikutnya diambil alih oleh Korps XIV Amerika Serikat yang terdiri dari Divisi Marinir 2, Divisi Infanteri 25, dan Divisi Americal. Mayor Jenderal Alexander Patch menggantikan Vandegrift sebagai komandan pasukan Sekutu di Guadalkanal yang pada Januari 1943 berjumlah tidak lebih dari 50.000 orang.[129] Pada 18 Desember 1942, tentara Sekutu (terutama dari Angkatan Darat Amerika Serikat) mulai menyerang posisi tentara Jepang di Gunung Austen. Posisi pertahanan Jepang yang diperkuat (disebut Jepang sebagai benteng pertahanan Gifu) dapat mengatasi serangan, dan Amerika dipaksa untuk sementara menghentikan serangan mereka pada 4 Januari 1943.[130] Sekutu kembali menyerang posisi-posisi Jepang di Gunung Austen pada 10 Januari 1943, termasuk dua punggung bukit, yang disebut Sekutu sebagai Seahorse dan Galloping Horse yang berdekatan. Semuanya akhirnya direbut Sekutu pada 23 Januari. Pada saat bersamaan, Marinir Amerika Serikat sudah makin memperlebar wilayah setelah bergerak maju sepanjang pantai timur Guadalkanal. Korban di pihak Amerika sekitar 250 tewas sementara korban di pihak Jepang sekitar 3.000 tewas.[131] Operasi "Ke"Pada 14 Januari 1943, Tokyo Express mengantarkan satu batalion yang dimaksudkan sebagai garda belakang operasi evakuasi yang diberi nama Operasi Ke. Seorang perwira staf dari Rabaul menyertai pasukan untuk memberitahu keputusan Hyakutake untuk mundur. Pada saat yang sama, kapal-kapal perang dan pesawat Jepang dipindahkan ke posisi sekitar kawasan Rabaul dan Bougainville sebagai persiapan untuk melaksanakan operasi penarikan. Intelijen Sekutu mendeteksi gerak-gerik Jepang, namun disalahartikan sebagai persiapan usaha berikutnya Jepang untuk merebut kembali Lanud Henderson dan Guadalkanal.[132] Mayor Jenderal Patch cemas dengan serangan Jepang yang dikiranya akan tiba, dan hanya mengerahkan pasukannya dalam jumlah relatif kecil untuk melanjutkan ofensif terhadap pasukan Hyakutake. Pada 29 Januari 1943, Halsey yang bertindak berdasar info intelijen yang sama, mengirimkan sebuah konvoi logistik ke Guadalkanal dengan dilindungi oleh satu gugus tugas kapal penjelajah. Pesawat pengebom Angkatan Laut Jepang yang melihat gugus tugas kapal penjelajah Halsey langsung menyerangnya pada petang hari itu juga, dan menyebabkan kerusakan berat pada kapal penjelajah USS Chicago. Keesokan harinya, pesawat-pesawat torpedo Jepang kembali menyerang dan menjadikan USS Chicago sebagai sasaran hingga tenggelam. Halsey memerintahkan kapal-kapal yang selamat untuk kembali ke pangkalan. Kapal-kapal lainnya ditempatkan di Laut Koral selatan Guadalkanal, dan diperintahkan untuk bersiap menangkal serangan Jepang berikutnya.[133] Sementara itu, Angkatan Darat 17 Jepang mundur ke pantai barat Guadalkanal dan hanya meninggalkan unit-unit garda belakang untuk menahan serangan Amerika. Pada malam 1 Februari 1943, 20 kapal perusak dari Armada 8 Mikawa di bawah komando Shintarō Hashimoto berhasil mengevakuasi 4.935 prajurit, terutama dari Divisi 38. Dalam misi evakuasi tersebut, pihak Jepang dan Amerika sama-sama kehilangan 1 kapal perusak yang tenggelam akibat serangan laut dan udara.[134] Pada malam 4 Februari dan 7 Februari 1943, Hashimoto dan kapal-kapal perusaknya berhasil menyelesaikan misi evakuasi dari Guadalkanal. Selain mengirimkan beberapa serangan udara, tentara Sekutu yang masih mengantisipasi datangnya ofensif skala besar dari Jepang, tidak berusaha menghalangi misi evakuasi Hashimoto. Total tentara Jepang yang berhasil dievakuasi dari Guadalkanal berjumlah 10.652 orang. Pada 9 Februari 1943, Patch baru sadar tentara Jepang sudah tidak ada lagi di Guadalkanal. Guadalkanal dinyatakan dalam dalam keadaan aman, dan peperangan di Guadalkanal berakhir.[135] Akibat peristiwaSetelah tentara Jepang ditarik mundur, Guadalkanal dan Tulagi dibangun sebagai pangkalan militer utama untuk mendukung gerak maju Sekutu hingga Kepulauan Solomon. Walaupun sudah ada Lapangan Udara Henderson, dua landas pacu tambahan untuk pendaratan pesawat tempur dibangun di Tanjung Lunga, dan sebuah lapangan terbang pesawat pengebom dibangun di Tanjung Koli. Pelabuhan laut dan fasilitas logistik dibangun dalam skala besar di Guadalkanal, Tulagi, dan Florida. Pelabuhan sekitar Tulagi merupakan tempat persinggahan penting bagi kapal-kapal perang dan transpor Sekutu dalam kampanye Kepulauan Solomon. Unit-unit pasukan dikonsentrasikan di perkemahan besar dan barak-barak di Guadalkanal sebelum dikirim ke Kepulauan Solomon.[136] Setelah kehilangan Guadalkanal, Jepang secara nyata berada dalam posisi bertahan di Pasifik. Tekanan terus-menerus untuk memperkuat Guadalkanal telah melemahkan upaya Jepang di medan yang lain, dan secara tidak langsung turut mendorong keberhasilan serangan balik Australia dan Amerika di Nugini yang berpuncak pada direbutnya pangkalan-pangkalan militer kunci di Buna dan Gona pada awal 1943. Sejak itu pula inisiatif strategis telah beralih ke tangan Sekutu. Pada Juni 1943, Sekutu melancarkan Operasi Cartwheel yang setelah diperbarui pada bulan Agustus 1943 secara resmi merupakan strategi mengisolir Rabaul dengan cara memutus jalur komunikasi laut. Setelah Rabaul dan pasukan Jepang yang berada di sana berhasil dinetralisir, Sekutu melanjutkannya dengan mandala perang Pasifik Barat Daya Perang Dunia II di bawah komando Jenderal Douglas MacArthur dan strategi lompat pulau di Pasifik Tengah di bawah komando Laksamana Chester Nimitz. Pertahanan Jepang yang tersisa di kawasan Pasifik Selatan kemudian dihancurkan atau dilewati oleh Sekutu menjelang berakhirnya perang.[137] Arti pentingStrategisMeskipun Sekutu berhasil memperoleh kemenangan menentukan di Pasifik dalam Pertempuran Midway yang sekaligus menumpulkan inisiatif strategis dan kemampuan ofensif Jepang, kemenangan itu dengan sendirinya tidak mengubah jalannya perang seperti halnya Pertempuran Salamis atau Pertempuran Tsushima. Setelah Pertempuran Midway, Jepang masih mampu melanjutkan invasi mereka di Pasifik Selatan. Namun Kampanye Guadalcanal mengakhiri semua upaya ekspansi Jepang dan menempatkan Sekutu sebagai pemegang supremasi militer.[138] Oleh karena itu, kemenangan Sekutu di Guadalkanal merupakan langkah pertama dalam rangkaian panjang kesuksesan yang berakhir dengan kapitulasi Jepang dan pendudukan Amerika Serikat atas Jepang.[139] Kebijakan "Utamakan Eropa" yang dijalankan Amerika Serikat awalnya hanya membolehkan aksi defensif terhadap ekspansi Jepang dengan maksud lebih memusatkan sumber daya untuk mengalahkan Jerman. Namun, usulan Laksamana King mengenai invasi Guadalkanal yang kemudian sukses akhirnya membuat Presiden Franklin D. Roosevelt percaya bahwa Amerika Serikat dapat pula berperan secara ofensif dalam mandala perang Pasifik. Pada akhir 1942, Jepang kalah dalam kampanye Guadalkanal yang sekaligus merupakan pukulan keras bagi rencana strategis Jepang dalam mempertahankan kekaisaran dan kekalahan tidak terduga dari Amerika.[140] Kemenangan psikologis mungkin sama pentingnya dengan kemenangan militer bagi Sekutu. Di medan perang, Sekutu telah mengalahkan kekuatan terbaik angkatan laut, angkatan udara, dan angkatan darat Jepang. Setelah Guadalkanal, Sekutu tidak lagi begitu takut terhadap kekuatan militer Jepang seperti sebelumnya. Selain itu, Sekutu semakin optimis dapat memenangkan Perang Pasifik.[141] Tidak lama sesuai perang, beberapa pemimpin militer dan politikus Jepang, termasuk Naoki Hoshino, Osami Nagano, dan Torashirō Kawabe menyatakan bahwa Guadalkanal adalah titik balik yang menentukan dalam Perang Pasifik. Menurut Kawabe, "Sebagaimana halnya titik balik [dari perang], ketika tindakan positif sudah tidak ada atau bahkan menjadi negatif, saya merasa seperti berada di Guadalkanal."[142] Sumber dayaPertempuran Guadalcanal adalah salah satu dari perang berkepanjangan yang pertama di Pasifik, dan terjadi bersamaan dengan kampanye Kepulauan Solomon. Keduanya merupakan pertempuran yang menguras kemampuan logistik kedua pihak yang terlibat. Pengalaman di Guadalkanal dan Solomon menyebabkan Amerika Serikat untuk pertama kalinya mulai membangun lintas udara yang tangguh. Kegagalan untuk mencapai superioritas udara membuat Jepang terpaksa mengirim bala bantuan dengan mengandalkan kapal tongkang, kapal perusak, dan kapal selam, dengan hasil yang tidak memuaskan. Pada awal peperangan, pihak Amerika mengalami masalah kekurangan kapal akibat tenggelam dan rusaknya kapal induk serta kapal-kapal penjelajah. Walaupun kapasitas pembuatan kapal telah ditingkatkan, menunggu kapal pengganti berarti penantian selama berbulan-bulan.[143] Angkatan Laut Amerika Serikat menderita korban tewas yang begitu banyak selama Kampanye Guadalkanal sehingga selama bertahun-tahun menolak untuk mengeluarkan pernyataan tentang total korban yang sebenarnya. Namun, sejalan dengan berlanjutnya peperangan, tentara yang dikerahkan di Pasifik semakin banyak, terutama setelah publik Amerika mengetahui keadaan yang sebenarnya, dan kepahlawanan tentara Amerika di Guadalkanal mulai disanjung. Di lain pihak, Jepang mulai berada dalam kesulitan akibat ketidakmampuan kompleks industri-militer Jepang untuk menyaingi kemampuan industri dan sumber daya manusia di Amerika Serikat. Bertolak belakang dengan Jepang yang makin lelah berperang dan tidak dapat mengganti prajurit yang tewas, Amerika dengan cepat mendapat pengganti dan bahkan menambah kekuatan militer mereka.[143] Secara strategis, kampanye Guadalkanal harus dibayar mahal oleh Jepang dalam bentuk materiil dan sumber daya manusia. Paling tidak 25.000 tentara angkatan darat yang berpengalaman tewas. Kekurangan sumber daya secara langsung ikut mengakibatkan kegagalan Jepang mencapai tujuannya dalam kampanye Nugini. Jepang juga kehilangan kendali atas Kepulauan Solomon selatan dan tidak dapat lagi menghalangi kapal-kapal Sekutu tujuan Australia. Pangkalan utama Jepang di Rabaul bahkan secara langsung terancam oleh kekuatan udara Sekutu. Laju penggantian personel angkatan laut dan angkatan udara Jepang yang tewas bersama kapal dan pesawat mereka yang tenggelam atau dihancurkan dalam Kampanye Guadalkanal tidak sebanding dengan kemampuan yang dimiliki Sekutu.[139] Catatan kaki
ReferensiBuku
Situs web
Audio/visualWikimedia Commons memiliki media mengenai Guadalcanal Campaign.
|