Kamera tilang elektronik (bahasa Inggris: Electronic traffic law enforcement, disingkat ETLE) adalah kamera yang dipasang di samping atau di atas jalan atau dipasang di kendaraan aparat kepolisian lalu lintas untuk mendeteksi perilaku pengguna jalan dan pelanggaran lalu lintas, seperti melanggar batas kecepatan, melanggar lampu merah, tidak membayar tol, menggunakan lajur khusus bus, atau perilaku individu seperti menggunakan telepon seluler, merokok, atau mabuk saat berkendara. Kamera ETLE dapat memiliki satu atau bermacam-macam fungsi. Kamera ini umumnya terhubung dengan sistem tilang otomatis.
Tinjauan yang melibatkan lalu lintas di seluruh dunia membuktikan bahwa kamera pengukur kecepatan mampu mengurangi "angka kecelakaan fatal dan serius sebesar 11% hingga 44%".[1]Departemen Perhubungan Britania Raya memperkirakan bahwa pemasangan kamera telah mampu mengurangi korban luka ringan sebesar 22% dan korban tewas dan luka parah sebesar 42% di lokasi kamera. British Medical Journal baru-baru ini melaporkan bahwa kamera pengukur kecepatan efektif dalam mengurangi kecelakaan dan merekomendasikan pemasangan secara luas. Studi yang dibuat oleh LSE pada tahun 2017 menunjukkan bahwa "memasang 1.000 kamera lagi ke jalan-jalan Inggris dapat menyelamatkan hingga 190 nyawa setiap tahun, mengurangi hingga 1.130 tabrakan dan mengurangi 330 cedera serius." [2]
Sistem pengenal pelat nomor otomatis dapat digunakan untuk mendeteksi batas kecepatan rata-rata, tetapi sering kali meningkatkan kekhawatiran masyarakat atas bocornya data pribadi serta adanya peluang bagi pemerintah untuk melakukan pengawasan massal terhadap lalu lintas kendaraan dan juga pergerakan pemilik kendaraan. Pemilik kendaraan sering kali diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk ikut memantau dan mengidentifikasi perilaku pengemudi kendaraan dan ada kasus yang dibawa ke Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa yang menganggap bukan pelanggaran hak asasi manusia. Beberapa kelompok, seperti American Civil Liberties Union di Amerika Serikat, mengeklaim bahwa "penggunaan speed trap sebagai sumber pendapatan negara juga melemahkan legitimasi upaya keselamatan."[3]