Jalur hijau di Indonesia adalah jalur penempatan tanaman serta elemen lansekap lainnya yang terletak di dalam Ruang Milik Jalan (RUMIJA) maupun di dalam Ruang Pengawasan Jalan (RUWASJA).[1] Jalur hijau termasuk ke dalam ruang terbuka hijau publik bersama dengan taman kota, taman pemakaman umum, pantai, dan sungai.[2] Susunan atau tata letak jalan yang ideal harus menyertakan jalur hijau di dalamnya, biasanya menjadi pemisah antara jalan yang digunakan kendaraan bermotor dan jalur sepeda dan/atau pedestrian.[3][4]:80 Jalur hijau dapat dihitung sebagai ruang terbuka hijau suatu kota yang ingin memenuhi target luasan ruang terbuka hijau di wilayahnya.
Dalam klasifikasi Ruang Terbuka Hijau Kota, jalur hijau termasuk dalam bagian RTH Pertamanan, di mana jalur hijau terbagi menjadi:[5]
Jalur hijau tepian air
Jalur hijau pengaman yang memagari jalur kereta, saluran pipa gas, dan saluran kabel tegangan tinggi
Jalur hijau jalan
Sedangkan vegetasi yang sesuai untuk mengisi jalur hijau adalah tanaman khas daerah setempat, disukai burung-burung, serta rendah evapotranspirasinya.[6]:17
Definisi Umum
Jalurhijau biasanya merupakan jalur atau jalan umum di sepanjang sebidang tanah yang belum dikembangkan, di daerah perkotaan atau pedesaan, yang disisihkan untuk penggunaan rekreasi atau perlindungan lingkungan. Jalur hijau sering kali dibuat dari rel kereta api bekas , jalan setapak kanal , utilitas atau hak jalan serupa , atau lahan industri yang terbengkalai. Jalur hijau juga bisa menjadi taman linier , dan bisa berfungsi sebagai lintasan satwa liar . Permukaan jalur mungkin diaspal dan sering melayani banyak pengguna: pejalan kaki, pelari, pengendara sepeda, peseluncur papan, dan pengelana alam. Karakteristik jalur hijau, seperti yang didefinisikan oleh Asosiadi Jalur Hijau Eropa, adalah "kemudahan perjalanan": yaitu bahwa mereka memiliki "gradien rendah atau nol", sehingga dapat digunakan oleh semua "jenis pengguna, termasuk orang dengan gangguan mobilitas"
Jalur hijau produktif menggabungkan jalur hijau dan lanskap produktif, yaitu arsitektur lanskap yang memiliki fungsi tidak hanya untuk keindahan tapi juga dapat menghasilkan produk. Untuk tetap dapat menyediakan fungsi kehijauan dan fungsi penyediaan, tanaman pada jalur hijau produktif harus memenuhi syarat sebagai berikut:[7][4]:79
Perakaran tanaman kuat tapi tidak mengganggu perkerasan jalan,
Batang dan ranting tidak mudah patah dan menjuntai ke bawah,
Daun tidak mudah rontok dan tidak terlalu rimbun,
Bunga tidak mudah rontok dan tidak beracun,
Buah tidak berbuah besar, tidak mudah rontok, dan tidak beracun,
Tidak menghalangi pandangan pengendara,
Tidak mengganggu pandangan penyeberang jalan,
Tinggi dan tajuk tanaman tidak merusak fasilitas jalan.
Bioswale
Salah satu bentuk jalur hijau yang inovatif adalah bioswale, yaitu jalur hijau yang dengan cekungan landai dan berfungsi sebagai penampungan ekstra air hujan sebelum melimpas menuju saluran air. Bioswale, dengan ekosistem biotik dan abiotik di dalamnya, dapat menetralkan polutan yang terkandung di dalam air hujan.[4]:100
^Arif Kusumawanto; Zulaikha Budi Astuti (2014). Arsitektur Hijau Dalam Inovasi Kota (dalam bahasa Indonesia). Gadjah Mada University Press. hlm. 87. ISBN9789794209462.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
^ abcSiti Nurul Rofiqo Irwan; Retno Nur Utami; Ahmad Sarwadi; Alia Bihrajihant Raya; Riri Chairiyah; Ade Intan Christian; Dina Aulia (2021). Lanskap Produktif Perkotaan: Pengembangan Ekosistem Kota Menuju Kota Ekologis (dalam bahasa Indonesia). Lily Publisher. ISBN9786237267621.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
^Nirwono Joga; Iwan (2013). RTH 30% Resolusi Kota Hijau (dalam bahasa Indonesia). Gramedia Pustaka Utama. hlm. 104. ISBN9786020366913.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
^ abcdeHanny Maria Caesarina; Noor Aina (2020). Alternatif Ruang Terbuka Hijau Untuk Permukiman Bantaran Sungai (dalam bahasa Indonesia). MBUnivPress. ISBN9786025203756.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)