Tengku Ismail, putra Tengku Buwang Asmara, ditabalkan menjadi Sultan Siak Sri Indrapura ke-3 menggantikan ayahandanya pada tahun 1760, bergelar Sultan Ismail Abdul Jallil Jalaluddin Syah. Beliau memerintah sampai tahun 1761.
Naik Tahta
Sultan Muhammad mangkat pada tahun 1760 dan diangkatlah putranya, Tengku Ismail sebagai pengganti dengan gelar Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah. Sultan Ismail mempertahankan sepupunya Tengku Muhammad Ali pada posisi panglima besar yang telah dijabatnya semenjak ayahanda sultan masih hidup.[1] Berita kemangkatan sultan Muhammad membuat Belanda girang, karena pada masa transisi itulah mereka dapat mencari celah untuk memasukkan pengaruh mereka atas Siak. Walaupun telah berkali-kali gagal, Belanda akhirnya dapat membujuk Tengku Alam untuk mendapatkan tahta dengan jaminan bahwa Belanda tidak akan mencampuri urusan keluarga kerajaan kelak.[2]
Ketika armada Belanda menyerang Mempura tahun 1761, armada perang Siak yang gagah berani dipimpin oleh panglima besar Muhammad Ali. Belanda telah melakukan persiapan dengan kapal-kapal perang besar. Pasukan Siak berhasil didesak hingga ke pinggir kota Mempura. Di sinilah terjadi pertempuran habis-habisan dari pahlawan-pahlawan Siak. Armada Siak hanya menggunakan rakit berapi-api dan kapal-kapal berisi mesiu dalam menghadapi Belanda. Namun, semangat jihad fi sabilillah mereka tidak surut. Dengan persenjataan terbatas tersebut, mereka berhasil menenggelamkan beberapa kapal Belanda. Belanda kewalahan dan mengeluarkan senjata terakhir mereka, Tengku Alamuddin yang mengirimkan surat kepada Sultan Ismail dan putranya, panglima besar Muhammad Ali. Maka, demi mendengar bahwa Tengku Alam berada di pihak Belanda, pertempuran pun dihentikan dan Tengku Alam didampingi Belanda berhasil masuk ke ibu kota[1]
Turun Tahta dan Berkelana
Sultan Ismail menyerahkan tahta kepada pamannya Tengku Alam, karena wasiat ayahandanya sebelum wafat yang berbunyi: Janganlah tunduk kepada Belanda yang kafir dan penjajah itu. Dan janganlah melakukan perang terhadap saudara, apalagi keluarga sendiri. Serta apabila pamanmu Raja Alamuddin datang ke negeri Siak, serahkanlah tahta kerajaan Siak ini kepada pamanmu Raja Alamuddin.[3] Kemudian Sultan Ismail memilih untuk berkelana di lautan.[4] Pada tahun 1761, Sultan Ismail pergi ke Siantan dan disini ia memperoleh dukungan dari Orang Laut. Setelah memiliki kekuatan serta dukungan Orang Laut, ia mengontrol perdagangan timah di Pulau Bangka dan menyerang Kesultanan Mempawah di Kalimantan Barat. Tindak-tanduknya di lautan tersebut membuat perdagangan Belanda menjadi kacau dan merugi. Makanya, Belanda tidak mengabulkan permintaan Sultan Ismail yang hendak merebut tahta Siak tahun 1768.[1]
Mengklaim Tahta Kembali
Setelah dukungan yang dimilikinya menjadi kuat, Sultan Ismail mulai menyerang pusat kekuasaan Siak. Serangannya dapat dipukul mundur pada tahun 1773. Tiga tahun setelahnya, secara terang-terangan ia mengklaim diri sebagai pewaris mahkota Siak yang sah dengan memakai gelar lamanya Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah. Pada tahun 1778 ia menetap di sungai Rokan dan berusaha melobi penguasa Panai, Asahan dan Batubara namun tidak membuahkan hasil. Meski demikian, pengikutnya di Siak bertambah banyak. Serangan habis-habisan kembali dilakukan pada tahun 1779 dan kali ini berhasil merebut ibu kota Siak. Sultan Muhammad Ali terpaksa berundur ke Petapahan mencari perlindungan dari Syarif Bendahara, tetapi tidak dikabulkan. Akhirnya, ia kembali ke ibu kota dan menyerahkan diri kepada sepupunya itu. Sultan Ismail lalu mengampuninya dan melantiknya menjadi Raja Muda.[1][5] Ia berkuasa hingga tahun 1781 sebelum akhirnya digantikan oleh Sultan Yahya.
Rujukan
- ^ a b c d Muchtar Lutfi, Suwardi MS, dkk (1998/ 1999), Sejarah Riau, Biro Bina Sosial Setwilda Tk. I Riau.
- ^ Amir Lutfi (1991), Hukum dan Perubahan Struktur Kekuasaan: Pelaksanaan Hukum Islam dalam Kesultanan Melayu Siak 1901 - 1942, Susqa Press Pekanbaru.
- ^ OK. Nizami Jamil dkk (2001), Sejarah Kerajaan Siak, CV. Sukabina Pekanbaru terbitan LAM Kab. Siak.
- ^ Cave, J., Nicholl, R., Thomas, P. L., Effendy, T., (1989), Syair Perang Siak: a court poem presenting the state policy of a Minangkabau Malay royal family in exile, MBRAS. A. Flicher, Les Etats princiers des Indes néerlandaises, Dreux 2009
- ^ Timothy P. Barnard, Texts, Raja Ismail and Violence: Siak and the Transformation of Malay Identity in theEighteenth Century, Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 32, No. 3 (Oct., 2001), pp. 331-342.
Daftar kepustakaan
- Donald James Goudie, Phillip Lee Thomas, Tenas Effendy, (1989), Syair Perang Siak: a court poem presenting the state policy of a Minangkabau Malay royal family in exile, MBRAS.
- Christine E. Dobbin, (1983), Islamic revivalism in a changing peasant economy: central Sumatra, 1784-1847, Curzon Press, ISBN 0-7007-0155-9.
- Journal of Southeast Asian studies, Volume 17, McGraw-Hill Far Eastern Publishers, 1986.