Ibrahim Gidrach Zakir (31 Mei 1951 – 31 Januari 2009)[1] merupakan aktivis mahasiswa dekade 1970'an. Ia merupakan keponakan dari Dr. Sjahrir yang pernah ditangkap karena dituduh sebagai dalang Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) tetapi kemudian dilepas.[1] Ia pernah menjadi salah satu anggota penandatangan Petisi 50 dan mengenalkan istilah "di bawah sepatu lars tentara" untuk menggambarkan kehidupan di era Orde Baru.[2]
Riwayat Hidup
Ia merupakan anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orang tuanya bernama (Alm.) M. Anwar Zakir dan (Almh.) Ratna Susilowati (85). Sang ayah merupakan seorang dokter yang sempat menjadi tentara di masa lampau sedangkan ibunya adalah seorang guru piano. Meski dididik dengan disiplin yang cukup tinggi, tidak menghalangi Bram menjadi sosok anak ‘nakal’ yang kerap mencoba suatu hal baru. Bahkan, di masa mudanya Bram kerap berkelahi dengan anak-anak seumurannya. “Dulu saya suka berkelahi,” kenang Bram sembari tersenyum. Sang ayah pun sempat bingung dengan sifat anaknya tersebut bahkan tak tahu bagaimana mengubah kenakalan anak laki-lakinya itu.
Di waktu mudanya, Bram kerap berpindah-pindah tempat tinggal. Pasalnya, sang ayah yang kala itu masih berdinas di TNI Angkatan Udara harus berpindah tempat tugas. Tak pelak, Bram pun harus mengikuti kepindahan sang ayah tersebut. Meski berpindah tempat tinggal, Bram tetaplah menjadi sosok anak ‘nakal’ yang kerap menimbulkan kericuhan bila tengah berkelahi dengan anak lainnya. “Saya hanya sebatas berkelahi saja nakalnya,” aku Bram. Di masa mudanya, ia juga dikenal sebagai pemuda yang sangat menyukai musik. Tak heran, ia kerap bermain band dengan teman-teman sebayanya. Salah seorang teman satu bandnya adalah Bambang Trihatmodjo, salah satu anak Soeharto, mantan penguasa Orde Baru.
Pindah ke Jakarta dan Menjadi Pelaku Sejarah
Setelah berpindah-pindah daerah tempat tinggal, Bram beserta keluarga lantas pindah ke Jakarta ketika ia menginjak kelas 2 SMA di SMA I Budi Utomo. Pada saat SMA itulah ketertarikan Bram terhadap dunia politik muncul. Ketertarikan tersebut membuatnya memutuskan untuk mengambil kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI). Tak hanya itu, Bram juga memiliki hobi menulis. Hobi menulis tersebut membawa Bram terjun di dunia jurnalistik. Selain itu, Bram juga dikenal sebagai seorang aktivis kampus yang getol mengkritisi kepemimpinan Orde Baru kala itu dengan ikut serta dalam demonstrasi yang berujung kerusuhan Malari serta ikut dalam penandatangan Petisi 50.
Selepas meraih gelar Sarjana di Program Studi Ilmu Politik, Bram lantas menjadi seorang jurnalis di beberapa media cetak seperti surat kabar Sinar Harapan, Majalah Editor, dan majalah Mutiara. Selain menjadi seorang jurnalis, Bram juga dikenal sebagai seorang pengamat politik dari RIDEP Institute. Selain itu, ia pernah menjadi salah satu petinggi STIE Kerjasama di Yogyakarta.[3]
Kehidupan Pribadi
Dalam kehidupan rumah tangganya, Bram memiliki tiga anak, yakni Anissa Zakir, Amalia Rahmani Zakir dan Arief Rabani Zakir. Anak sulungnya merupakan hasil pernikahan pertamanya yang gagal di tengah jalan dan bercerai pada tahun 1981. Gagal pada pernikahan pertama, Bram lantas menikah kembali pada tahun 1990 dengan Dewi Meilani dan menghasilkan dua anak yaitu Amalia dan Arif.[4]
Buku Yang Pernah Ditulis
- Dari Jenggawah ke Siria-ria: Sebuah Peneguhan Sikap Di Hadapan Pengadilan Mahasiswa (1980).[5]
Referensi
- ^ a b "Bram Zakir, Aktivis Malari Meninggal". Tempo.co. 2009-01-31. Diakses tanggal 2019-01-24.
- ^ "Skenario Dinosaurus". Kompas.com. 2012-10-22. Diakses tanggal 2019-01-24.
- ^ "Majalah Gatra :: Artikel". arsip.gatra.com. Diakses tanggal 2019-01-24.
- ^ Aryanto, Fajar (2010-06-09). "Artikel Saya: Ibrahim Gidrach Zakir, Editor Surat Kabar The Point". Artikel Saya. Diakses tanggal 2019-01-24.
- ^ Zakir, Ibrahim Gidrach; Mahasiswa, Indonesia Pengadilan (1980). Dari Jenggawah ke Siria-ria : sebuah peneguhan sikap dihadapan pengadilan mahasiswa (dalam bahasa Indonesian). Jakarta : Badan Kerjasama Pembelaan Mahasiswa Indonesia.