Hukum Gereja

Gambar salah satu halaman Burchard of Worms' Decretum, buku ke-11 Undang-Undang Gereja.

Hukum Gereja adalah istilah untuk aturan-aturan dalam gereja, khususnya dalam lingkungan Kristen. Juga merupakan subyek sebuah studi teologi yang secara sistematis mengkaji prinsip-prinsip ekklesiologis dari aturan-aturan dalam gereja.

Istilah

Kata "hukum gereja" secara langsung mengarah kepada peraturan-peraturan dalam gereja. J. L. Ch. Abineno, mengartikan hukum gereja sebagai peraturan gereja yang digunakan untuk menata dan mengatur kehidupan pelayanan dalam gereja.[1] Demikian juga dengan definisi yang diberikan oleh Dr. M. H. Bolkestein, yang menyatakan bahwa hukum gereja merupakan aturan tentang perbuatan dan kehidupan gereja untuk menyatakan gereja sebagai Tubuh Yesus. Namun sesungguhnya, hukum gereja tidak hanya sekadar mengenai peraturan. Cakupan hukum gereja lebih luas dari sekadar aturan, sebab berbicara mengenai pertanggungjawaban teologis dari aturan gereja.

Keberadaan aturan dalam gereja adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat dihindari. Setiap gereja—baik yang baru dirintis maupun yang telah mapan dalam proses pelembagaan—tentunya memiliki aturan untuk menata dirinya. Aturan gereja berhubungan dengan seluruh fase kehidupan setiap anggotanya. Anggota gereja terikat dengan aturan gereja. Aturan gereja menjadi hal yang tidak terhindarkan dalam gereja.

Landasan

Sebagai hal yang tidak terhindarkan dalam gereja, penyusunan aturan gereja dilandaskan pada hakikat gereja. Proses pelembagaan gereja adalah bagian dari usaha gereja untuk terus mengkontekstualisasikan cerita keselamatan Allah Tritunggal dan mewujudnyatakan karya keselamatan Allah Tritunggal bagi dunia. Usaha ini dilaksanakan oleh gereja hingga sampai pada eskaton. Hakikat gereja ini sekaligus menegaskan bahwa sebagai lembaga gereja tidak dapat disamakan dengan lembaga lainnya, sehingga penyusunan aturan dalam gereja disusun dengan dilandasi pada eklesiologi sebagai rumusan teologis-sistematis mengenai pemahaman gereja tentang dirinya.

Pendasaran eklesiologi menjadikan peraturan-peraturan dalam gereja tidak hanya memiliki makna teologis yang baik, tetapi sekaligus mampu menjawab kebutuhan dan pergumulan hidup jemaat. Eklesiologi selalu berada dalam ruang dan waktu tertentu sebab eklesiologi lahir dalam konteks pergumulan gereja tertentu. Konteks gereja yang berbeda, menghasilkan pemaknaan diri yang juga berbeda. Pemaknaan diri dapat terbentuk dengan baik bila gereja mengenal konteks pelayanannya dengan baik. Jika aturan gereja disusun dengan didasarkan pada eklesiologi, dengan sendirinya aturan gereja hadir dari kebutuhan konteks pelayanannya.

Pendasaran hukum gereja pada eklesiologi berbeda dari pendekatan penataan/pemerintahan (stelsel). Pendekatan penataan memberikan penekanan pada penyusunan aturan gereja yang diteruskan karena tradisi. Sistem penataan yang terpaku pada sistem episkopal, kongregasional, dan presbiterial sinodal, dapat menjebak gereja untuk mempertahankan tradisi tanpa peka terhadap tuntutan perubahan konteks pelayanannya. Tradisi hanyalah salah satu sumber pemaknaan diri gereja (eklesiologi).

Fungsi

  1. Memampukan gereja untuk melayani sesuai dengan hakikat dirinya.
    Hukum gereja sebagai salah satu studi teologi yang secara sistematis mengkaji prinsip-prinsip ekklesiologis dari aturan-aturan dalam gereja memampukan gereja untuk menyusun aturan sesuai dengan hekekat dirinya. Pengenalan diri yang baik memampukan gereja untuk tidak dengan mudah untuk mengambil alih aturan-aturan pemerintahan atau lembaga lainnya untuk menyusun aturan gereja.
    Gereja tidak hadir karena dirinya dan oleh dirinya. Gereja hadir sebagai karya Allah Tritungal untuk menjalankan misi Allah Tritunggal. Dalam kesadaran ini gereja menata dirinya sehingga mampu melayani sesuai dengan hakikat dirinya. Dari sudut pandang ini terlihat bahwa adanya aturan dalam gereja merupakan sebuah komitmen iman gereja untuk menata diri dan melayani sesuai hakikat dirinya.
  2. Membantu gereja untuk mewujudnyatakan kehadirannya.
    Pendasaran eklesiologi terhadap aturan dalam gereja menuntut pengenalan konteks pelayanan. Melalui pengenalan konteks pelayanan, kekayaan dan kebutuhan jemaat dapat terbaca dengan jelas. Dengan didasarkan pada pergumulan jemaat inilah gereja menata dirinya. Jabatan, persidangan, relasi, dan hal-hal lain yang diatur oleh aturan gereja disistimatisasikan sesuai pergumulan konteks pelayanan jemaat. Melalui proses ini gereja tidak hanya akan hadir tetapi menyentuh kebutuhan nyata dari anggotanya. Aturan gereja membantu gereja untuk mewujudnyataan kehadirannya.

Tujuan

Hukum gereja tidak bertujuan pada dirinya sendiri. Pendasaran eklesiologi terhadap aturan gereja memampukan gereja untuk melayani sesuai dengan hekakat dirinya dan dengan demikian gereja menjadi gereja yang nyata. Penataan diri yang sesuai dengan hakikat diri menjadikan proses pembangunan jemaat dapat berjalan dengan baik. Adanya aturan gereja jangan sampai menjadi batu sandungan bagi pembangunan jemaat. Hukum gereja menjadi alat bagi pembangunan jemaat.

Referensi

  1. ^ J.L. Abineno, Garis-Garis Besar Hukum Gereja, (Jakarta: Bpk. Gunung Mulia, 2006). hlmn 1.

Lihat pula