Gulir petakaPengguliran malapetaka, gulir petaka, atau selancar malapetaka (bahasa Inggris: doomscrolling, doomsurfing) adalah tindakan menghabiskan terlalu banyak waktu di depan layar yang ditujukan untuk menyerap berita negatif.[1][2] Peningkatan penyerapan berita yang sebagian besar negatif adakalanya dapat mengakibatkan tanggapan psikofisiologis yang berbahaya.[3] SejarahAsal-usulMenurut pemberita keuangan, Karen Ho, istilah ini diperkirakan berasal dari situs media sosial Twitter pada Oktober 2018.[4][5] Namun, kata ini mungkin mempunyai asal-usul yang lebih awal dan fenomena ini sudah ada jauh sebelum istilah ini diciptakan.[6] Kebiasaan pengguliran malapetaka dapat dibandingkan dengan fenomena lama dari tahun 1970-an yang disebut sindrom dunia kejam: "keyakinan bahwa dunia adalah tempat yang lebih berbahaya untuk ditinggali daripada yang sebenarnya—akibat pemajanan jangka panjang terhadap konten berkaitan dengan kekerasan di televisi."[7] Kajian menunjukkan bahwa melihat berita yang mengecewakan menyebabkan orang mencari informasi lebih lanjut tentang topik tersebut[8] sehingga menciptakan daur yang terus berlanjut. Dalam bahasa umum, kata doom (terj. nasib celaka, kemalangan, malapetaka, kiamat, maut) berkonotasi kegelapan dan kejahatan yang mengacu kepada nasib seseorang (lihat. pelaknatan).[9] Pada zaman awal internet, surfing (terj. berselancar) adalah kata kerja yang biasa digunakan untuk merujuk kepada perambanan internet. Demikian pula, kata scrolling (terj. pengguliran) mengacu kepada menggeser teks, gambar, dll. pada tampilan layar ke atas atau ke bawah.[9] Istilah doomscrolling tidak ditemukan dalam kamus seperti Merriam-Webster karena istilah tersebut belum memenuhi syarat atau kriteria untuk dimasukkan ke dalam kamus.[2] Dictionary.com memilihnya sebagai tren bulanan teratas pada Agustus 2020.[10] Kamus Macquarie menamakan doomscrolling sebagai Kata Tahun Ini Pilihan Komite 2020.[11] KepopuleranIstilah doomscrolling menjadi populer[1][12] selama pandemi Covid-19, unjuk rasa George Floyd, pemilihan umum Presiden Amerika Serikat 2020, penyerbuan Gedung Kapitol 2021, dan invasi Rusia ke Ukraina 2022.[13] Peristiwa-peristiwa tersebut dianggap telah memperburuk kebiasaan pengguliran malapetaka.[5][9][14] Pengguliran malapetaka menyebar luas selama pandemi Covid-19.[15] Dengan kurangnya data Covid-19 baru yang andal pada layar utama, banyak pengguna sebaliknya menjumpai "berita palsu" yang bersifat menghasut saat menggulir.[16] Daur berita negatif yang terus berlanjut cukup meluas sehingga istilah tersebut melonjak populer pada saat ini, terutama pada platform seperti Twitter dan Instagram. PenjelasanBias negatifTindakan pengguliran malapetaka dapat dikaitkan dengan bias negatif alami yang ada pada orang saat menyerap informasi.[12] Bias negatif adalah gagasan bahwa peristiwa buruk mempunyai dampak yang lebih besar terhadap kesehatan jiwa seseorang daripada dampak yang baik.[17] Jeffrey Hall, profesor pengkajian komunikasi di Universitas Kansas di Lawrence, menyatakan bahwa potensi ancaman memancing perhatian seseorang disebabkan kepuasan biasa seorang individu.[18] Seorang psikiater di Pusat Pengobatan Wexner Universitas Negeri Ohio menyatakan bahwa manusia "dilatih untuk melihat yang negatif dan tertarik kepada yang negatif karena dapat membahayakannya dari segi fisik."[19] Beliau menyebut evolusi menjadi sebab mengapa manusia mencari hal-hal negatif tersebut: contohnya, jika nenek moyang seseorang mendapati bagaimana makhluk purba dapat melukai mereka, mereka dapat menghindari nasib itu.[6] Walau bagaimanapun, kebanyakan orang pada zaman modern yang berbeda dengan manusia primitif ini tidak menyadari bahwa mereka mencari informasi negatif. Algoritme media sosial memperhatikan konten yang digunakan pengguna dan menampilkan pos yang serupa, yang dapat memperburuk tindakan pengguliran malapetaka.[18] Menurut direktur klinik Pusat Perawatan dan Kajian Kecemasan Sekolah Kedokteran Perelman: "Orang-orang bertanya, menginginkan jawaban, dan menganggap mendapatkan jawaban akan membuat mereka merasa lebih baik...sehingga terus menggulir dan menggulir. Pemikiran seperti itu akan membantu, tetapi pada akhirnya membuat mereka merasa lebih buruk setelah itu."[6] Anatomi otakPengguliran malapetaka, dorongan kuat untuk menyibukkan diri dengan berita negatif, mungkin merupakan hasil dari mekanisme evolusioner ketika manusia "dilatih untuk menyaring dan menduga bahaya".[20] Dengan kerap memantau peristiwa seputar berita utama yang negatif, tetap terinformasi dapat memberikan perasaan lebih siap. Walau bagaimanapun, pengguliran yang berkepanjangan juga dapat menyebabkan suasana hati dan kesehatan jiwa yang memburuk karena ketakutan pribadi mungkin tampak meningkat.[20] Girus frontal inferior (IFG) berperan penting dalam mengolah informasi dan menyepadukan informasi baru ke dalam keyakinan tentang kenyataan.[20][21] Dalam IFG, otak "secara selektif menyaring berita buruk" ketika memperoleh informasi baru pada saat meningkatkan keyakinan.[20] Ketika seseorang melakukan pengguliran malapetaka, otak mungkin merasa terancam dan berhenti untuk menyaring berita buruk sebagai tanggapan. [20] Dalam kajian tempat peneliti memanipulasi IFG kiri menggunakan rangsangan magnetik transkranial (TMS), pasien lebih cenderung untuk memasukkan informasi negatif ketika meningkatkan keyakinan.[21] Hal ini menunjukkan bahwa IFG kiri mungkin bertanggung jawab untuk menghambat berita buruk dari mengubah keyakinan pribadi. Ketika peserta disajikan dengan informasi yang menguntungkan dan menerima TMS, otak masih meningkatkan keyakinan dalam menanggapi berita positif.[21] Kajian ini juga menunjukkan bahwa otak secara selektif menyaring informasi dan meningkatkan keyakinan dengan cara yang mengurangkan stres dan kecemasan dengan mengolah berita baik dengan lebih memperhatikan (lihat bias optimistis).[21] Pengguliran malapetaka yang semakin meningkat memajankan otak pada lebih banyak berita yang tidak menyenangkan dan dapat membatasi kemampuan otak untuk menerima berita baik dan mengabaikan berita buruk.[21] Hal ini dapat mengakibatkan emosi negatif yang membuat seseorang merasa cemas, tertekan, dan terasing.[6] Efek kesehatanEfek psikologisProfesional kesehatan telah menasihatkan bahwa pengguliran malapetaka yang berlebihan dapat berdampak negatif terhadap masalah kesehatan jiwa yang ada.[20][22][23][24] Meskipun dampak keseluruhan pengguliran malapetaka terhadap orang mungkin berbeda-beda,[25] hal ini sering kali dapat membuat seseorang merasa cemas, tertekan, takut, dan terasing.[22][26] Orang yang menderita penyimpangan kognitif dapat mengalami peningkatan pemikiran suka merenung (ruminatif) dan serangan panik karena pengguliran malapetaka.[26] Kajian juga menunjukkan kaitan antara penyerapan berita buruk dengan tingkat kecemasan, kemurungan, stres yang lebih tinggi dan juga gejala yang serupa dengan gangguan stres pascatrauma (PTSD).[20] PenelitianProfesor psikologi di Universitas Sussex melakukan penelitian dengan peserta yang menonton berita televisi yang terdiri dari "materi bermuatan positif, netral, dan negatif".[27][28] Kajian itu mengungkapkan bahwa peserta yang menonton program berita negatif menunjukkan peningkatan kecemasan, kesedihan, dan kecenderungan malapetaka mengenai kekhawatiran pribadi.[27] Kajian yang dilakukan oleh para peneliti psikologi bersama Huffington Post mendapati bahwa peserta yang menonton berita negatif selama tiga menit pada pagi hari berkemungkinan 27% lebih besar untuk mengalami hari yang buruk enam hingga delapan jam kemudian.[28] Sebagai perbandingan, kelompok yang menonton berita berfokuskan penyelesaian mengalami hari yang baik sebanyak 88%.[28] Efek fisikPsikolog klinis, Dr. Carla Marie Manly, menyarankan bahwa pengguliran malapetaka bagi sebagian orang dapat menyebabkan kecanduan, menciptakan perasaan aman dan nyaman selama masa-masa yang tidak menentu.[29] Para ahli juga mengatakan pengguliran malapetaka dapat mengganggu pola tidur, menurunkan perhatian, dan menyebabkan makan berlebihan.[26] Ahli klinis mendapati bahwa media berdasar rasa takut juga dapat melemahkan kemampuan seseorang untuk memproses trauma. Deborah Serani, seorang profesor di Institut Pengkajian Psikologi Lanjutan di Universitas Adelphi mengatakan jenis media ini memicu operasi bertahan. Lebih khusus lagi, dia mendapati bahwa garis pertahanan pertama adalah mengurung diri (enkapsulasi). Selama mengurung diri, seseorang "berusaha untuk menyertakan atau menutup gambaran trauma", mengakibatkan penyangkalan atau penolakan. Para ahli menggambarkan fenomena yang serupa dengan tindakan membungkam atau menutup diri dan dapat mengakibatkan kelelahan, bicara datar, dan penurunan kognitif.[26] Lihat pulaRujukan
Pranala luar
|