Gereja Pentakosta Isa Almasih Indonesia Efata Salatiga
article ini ditulis seperti opini yang menulis pendapat penulis Wikipedia mengenai suatu topik, daripada menuliskannya menurut pendapat para ahli mengenai topik tersebut.. Bantulah menyuntingnya dengan menghapus bagian tersebut dan menuliskannya sesuai dengan gaya penulisan ensiklopedia.
Esai ini berisi nasihat atau pendapat dari seorang atau beberapa kontributor di Wikipedia. Halaman ini bukan merupakan kebijakan atau pedoman Wikipedia, karena belum benar-benar disepakati oleh komunitas. Beberapa esai dapat menunjukkan norma yang berlaku secara luas; sedangkan yang lainnya mewakili sudut pandang minoritas.
Keberadaan gereja ini tidak dapat dilepaskan dari Pendeta (Pdt) Surya Kusuma yang telah ditahbiskan oleh Pdt. Darmowiyono pada 19 September 1977 menjadi Pendeta dan gembala sidang Gereja Isa Almasih (GIA) di Kalisombo, Salatiga. Pdt Surya Kusuma dan keluarga hadir di kota Salatiga pada 19 September 1976 dari GIA Tamansari VIII Jakarta menggantikan Pdt Tjondro Subianto yang mengundurkan diri. Pada 1977, muncullah visi misi dalam diri gembala sidang untuk membeli dan mencari tanah yang strategis guna dibangun gedung gereja yang permanen. Visi misi ini muncul dan berkembang karena jemaat yang terus bertumbuh dan rumah ibadah (bekas gedung tembakau) di Kalisombo no 2 kurang representative bagi pertumbuhan gereja di masa depan.
Akhirnya sekitar bulan Oktober 1977 didapatkan tanah di Jalan Brigjend Sudiarto milik Raden Ayu Saparinten Rekso Hadi Prodjo, isteri dari Soewarso Kartodinoto seorang penghayat kepercayaan kebatinan. Tanpa dana di kas gereja untuk pembelian dan pembangunan gereja, gembala sidang diantar oeh almarhum Bapak Yusuf Budiono menjumpai pemilik tanah. Berkat rahmat kasih karunia Allah Bapa, Kepala Gereja Tuhan Yesus dan Allah Roh Kudus, hati romo Soewarso Kartodinoto digetarkan dengan perasaan simpati untuk menjual tanah HM no 412 seluas 478 M2 di Jalan Brigjend Sudiarto, desa Kalicacing seharga Rp 3.300.000,- dengan waktu pembayaran 3 bulan kepada Pendeta Surya Kusuma dengan tambahan 10% tiap bulan; apabila tidak dapat melunasinya dalam jangka waktu tersebut di atas. Di dukung oleh + 50 warga jemaat (sebagian besar mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana) diadakan gerakan doa puasadan pencarian dana untuk pembayaran pembelian tanah tersebut. Walaupun ada keresahan warga jemaat selama 3 bulan menggumuli pembayaran tanah sehingga muncul suara sumbang dari seorang warga jemaat melewati ungkapan: “Kalau tidak bisa membayar, biarlah dengkul pendeta Surya Kusuma dipakai melunasi pembayaran tanah.” Namun Sang Kepala Gereja,Tuhan Yesus Kristus menggerakkan hati Bapak Sam Daniel (alm.) seorang warga jemaat GIA Pegangsaan Jakarta untuk mempersembahkan dana sebesar Rp 1.500.000,- untuk keprluan pelunasan tanah. Akhirnya pembelian tanah dapat dilunasi melewati berbagai mukjizat yang luar biasa sehingga tidak mempermalukan Nama Tuhan Yesus. Selanjutnya pada tanggal 26 Januari 1978 dilaksanakan jual beli di hadapan Ny. E. L. Matu, seorang Notaris PPAT di Salatiga.
Periode pembelian tanah dapat berlangsung mulus dan tibalah masa pembayaran gedung gereja. Setelah rehat beberapa waktu untuk mempersiapkan hati sidang jemaat bagi pembangunan gedung gereja dan mendapatkan gambar gedung gereja dari Ir Gunawan Karta Miharja, warga jemaat GIA Bandung. Setelah menerima blue print / gambar gedung gereja maka dilakukan pengurususan ijin ke Pemerintah Kota Salatiga. Tanpa melewati prosedur berbelit dengan cara yang amat mudah bahkan bebas biaya apapun, Walikota Madya Darerah Tingkat II Kota Salatiga Bapak S. Ragil PUdjono menerbitkan SK Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) No. 134/KEPDA/1978 tertanggal 9 Agustus1978. Dengan adanya IMB tersebut pembangunan gedung gereja segera digulirkan dan dapat diselesaikan serta diresmikan pada tanggal 31 Oktober 1979. Sehingga pembangunan gedung gereja di Jalan Brigjend. Sudiarto yang pertama berlangsung selama kurang lebih satu setengah tahun. Sebagaimana pernyataan Raja Salomo dalam Mazmur 127:7; “Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya.”
Dalam periode ini Tuhan Yesus, Kepala Gereja menyediakan malaikat-malaiat pendamping, penolong dan penunjang kepada Bapak gembala sidang untuk membangun gedung gereja Jalan Brigjend. Sudiarto 1A Salatiga, diantaranya adalah:
Liwandouw (†).
Yusuf Budiono (†).
Eko Guanwan (†).
Namun amat disayangkan bahwa gereja yang terus bertumbuh dan berkembang baik di gereja lokal dengan 24 Pos Pekabaran Injil di sekitar Salatiga harus terhenti beberapa saat karena ada perbedaan sudut pandang dengan Sinode GIAa perihal Yayasan Sosial Victory yang puncaknya pada tanggal 09 Mei 1985 sinode GIA menyatakan bahwa jemaat GIA Salatiga mengundurkan diri dari Sinode GIA. Sehingga sejak tanggal tersebut Gereja di Jalan Brigjend Sudiarto 1A, bergabung dalam Sinode Gereja Pantekosa Isa Almasih (GPIA). Selanjutnya atas binaan dari Dirjen Bimbingan Masyarakat Kristen Departemen Agama RI, pada tanggal 22 Agustus 1987 dengan SK No. 86 tahun 1987 badan hukum GPIA disahkan. Dengan demikian nama GPIAI berganti menjadi Sinode Gereja Pantekosa Isa Almasih Indonesia (GPIAI) dan berkantor pusat di Bogor, Jawa Barat.
Pengalaman selama dua tahun dalam tubuh GPIA badan hukum itu adalah seperti yang diungkapkan oleh Bonifasius seorang rahib misioner abad ke VIII, yakni: “Gereja bagaikan bahtera di tengah lautan yang dihantam gelombang … tugas kita bukanlah untuk meninggalkan bahtera, melainkan untuk menjaganya agar tetap pada jalannya.” Berbagai ujian dan cobaan bagaikan gelombang yang menghantam gereja, hanya karena kasih karunia Tuhan Yesus yang menjadi kapten dan juru mudi hahtera, maka bahtera dan seluruh penumpang dapat selamat dan bahtera tetap utuh. Bahkan kasih karunia Allah begitu luar biasa sehingga berada dalam kandungan GPIA, tetapi oleh Kepala Gereja dijadikan bidan bersama dengan Dirjen Bimas Kristen untuk melahirkan Gereja Pantekosa Isa Almasih Indonesia (GPIAI) di bumi pertiwi. Mengacu pada kasih karunia Allah sehingga mampu membidani dari kandungan sampai lahirnya GPIAI bukan karena kemauan sendiri namun ditunjuk oleh Pdt Ibrahim Tjokorkusumo (selaku ketua Sinode GPIA ) dan, Diren Bimas Kristen Depag RI dan mengamati kebenaran Firman Allah yang tersurat dalam Kitab Yesaya 66:7-9: ”Sebelum menggeliat sakit, ia sudah bersalin, sebelum mengalami sakit beranak, ia sudah melahirkan anak laki-laki. Siapakah yang telah mendengar hal yang seperti itu, siapakah yang telah melihat hal yang demikian? Masakan suatu negeri diperanakkan dalam satu hari, atau suatu bangsa dilahirkan dalam satu kali? Namun baru saja menggeliat sakit, Sion sudah melahirkan anak-anaknya.Masakan Aku membukakan rahim orang, dan tidak membuatnya melahirkan? firman TUHAN. Atau masakan Aku membuat orang melahirkan, dan menutup rahimnya pula? firman Allahmu.”
Maka hari jadinya GPIAI EFATA dihitung mulai dari beradanya dalam kandungan GPIA yaitu tanggal 09 Mei 1985. perjalanan sejarah GPIAI EFATA tak berhenti sebagaibidan atas kelahiran GPIAI di bumi pertiwi, karena atas keputusan Musyawarah Besar Sinode GPIAI ke __ pada tanggal ____ di dan telah dicatatkan dan ditandasahkan di notaris pada tanggal 8 Mei 2008 nomor 1 (satu) memutuskan kantor pusat Sinode GPIAI dipindahkan dari Bogor ke Salatiga. Secara defacto perpindahan tersebut berlangsung dengan berakhirnya Musyawarah Besar ke V namun baru direalisasikan setelah Bapak Pdt. Ibrahim Tjokrokusumo dan Ibu dipanggil pulang ke rumah Bapa di sorga. Akhirnya pada tanggal 6 Agustus 2008 Dirjen Bimas Kristen mencabut SK No. 86 tahun 1987 dan menggantikannya dengan SK No III/Kep/HK.00.5/257/2008 sehingga mulai tanggal dikeluarkan Surat Keputusan Dirjen Bimas Kristen tersebut secara resmi GPIAI EFATA mendapat mandat penuh untuk menjadi kantor pusat GPIAI seluruh Indonesia.
Abineno, J.L.Ch. (1989). Pokok-Pokok Penting dari Iman Kristen. Jakarta: Gunung Mulia. ISBN978-979-4154-48-9.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Abineno, J.L.Ch. (2007). Unsur-Unsur Liturgia yang Dipakai Gereja-Gereja di Indonesia. Jakarta: Gunung Mulia. ISBN978-979-4159-56-9.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Badan Pekerja Majelis Sinode Gereja Kristen Indonesia (2003). Tata Gereja-Gereja Kristen Indonesia. Jakarta: Badan Pekerja Majelis Sinode Gereja Kristen Indonesia. ISBN978-979-9775-50-4.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Trimargono, Meytrias Ebenheser (2021). Interfaith Marriage: A Study of Contextual Church Polity in the Religiously Plural Context of Indonesia. Münster: LIT Verlag Münster. ISBN978-364-3913-37-1.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)