Gerakan mahasiswa di Jerman (disebut juga 68er-Bewegung, gerakan tahun 1968, atau soixante-huitaires) adalah sebuah gerakan protes yang terjadi pada akhir tahun 1960-an di Jerman Barat. Gerakan ini sebagian besar dilatarbelakangi oleh reaksi terhadap otoritarianisme yang dirasakan masyarakat dan kemunafikan pemerintah Jerman Barat dan pemerintah Barat lainnya, dan kondisi kehidupan mahasiswa yang buruk. Gelombang protes, yang beberapa di antaranya berujung kekerasan, melanda Jerman Barat, yang didorong oleh reaksi berlebihan oleh polisi dan didorong oleh gerakan protes di seluruh dunia. Setelah lebih dari satu abad konservatisme di kalangan mahasiswa Jerman, gerakan mahasiswa Jerman ini juga menandai pergeseran yang disignifikan ke kiri dan radikalisasi aktivisme mahasiswa.[1]
Latar Belakang
Pada tahun 1966, menghadapi resesi ekonomi, dua partai politik besar Jerman Barat - Partai Demokrat Sosial (SPD) dan Persatuan Demokrat Kristen (CDU) - berkumpul untuk membentuk Koalisi Besar. Keputusan mereka mengangkat Kurt Georg Kiesinger dari CDU sebagai kanselir menuai kontroversi karena peran aktifnya dalam kementerian luar negeri Reich Ketiga. Banyak yang mengkritik koalisi tersebut sebagai kemunduran bagi Jerman Barat dan opini publik menjadi kacau setelah kementerian pertahanan memecat penerbit dan editor majalah Jerman, Der Spiegel, karena telah mencetak informasi terperinci tentang manuver NATO.[2] Pengajuan reformasi juga dikritik karena tidak bersifat demokratis. Statuta baru dalam Undang-Undang Darurat yang mengatur penggunaan kekuatan pada masa krisis seperti perang memberikan kekuatan berlebih untuk cabang eksekutif. Usul mereka untuk mereformasi berbagai universitas di Jerman Barat yang membuat bangsanya lebih kompetitif mengabaikan para mahasiswa yang menuntut hak untuk bersuara. Mahasiswa menolak perubahan yang memungkinkan pemerintah membatasi persyaratan kelulusan agar menghasilkan lebih banyak lulusan lebih cepat sebagai bagian dari rencana ekonominya.[2]
Resolusi
Pada tanggal 22 Juni 1966, 3.000 siswa dari Universitas Bebas Berlin mengadakan sebuah pertemuan di bawah jendela aula di mana senat sekolah, yang terdiri dari rektor, profesor, dan administrator perguruan tinggi lainnya, mengenai usulan resolusi seperti membatasi persyaratan kelas dan memberi wewenang kepada administrator untuk mengeluarkannya. Para mahasiswa menuntut dimasukkannya senat mahasiswa demi proses persidangan dan transparansi. Para siswa kemudian mengeluarkan sebuah resolusi sendiri di mana mereka mendemonstrasi kebutuhan untuk mendemokratisasikan sistem universitas dan masyarakat pada umumnya. Pertemuan tersebut disimpulkan dengan permintaan bagi perwakilan komisi reformasi mahasiswa dan sebuah resolusi:[3]
“Resolution of June 22, 1966, passed by the students of the Free University of Berlin gathered at the sit-in:
“We are fighting not only for the right to study for a longer period of time and to have a greater voice in expressing our opinions. That is only half of it. We are more concerned that decisions affecting students be made democratically and with student participation.
“What is going on right now in Berlin is a conflict, like that in society at large, the main point of which is neither longer periods of study nor increased vacation time. Instead, it is about dismantling oligarchic rule and implementing democratic freedom in all areas of society.
“We oppose all those who do not respect the spirit of the constitution, in whatever way, even if they presume to be grounded in the constitution. This is about viewing freedom in the university as a problem that points beyond the realm of the university itself. For this reason the students see the need to work together with all democratic organizations in society in order to assert their demands.”
Yang berarti:
“Resolusi 22 Juni 1966, yang disahkan oleh mahasiswa Universitas Bebas Berlin yang berkumpul di dalam pertemuan:
“"Kami berjuang tidak hanya untuk hak belajar dalam jangka waktu yang lebih lama dan memiliki suara yang lebih besar dalam mengekspresikan pendapat kami. Itu hanya setengah dari itu. Kami lebih peduli bahwa keputusan yang mempengaruhi siswa dibuat secara demokratis dan dengan partisipasi siswa.
“Apa yang sedang terjadi saat ini di Berlin adalah sebuah konflik, seperti di dalam masyarakat pada umumnya, yang utama bukanlah periode studi yang lebih lama ataupun waktu liburan yang meningkat. Sebaliknya, ini tentang pembongkaran kekuasaan oligarki dan menerapkan kebebasan demokratis di semua bidang masyarakat.
“Kami menentang semua pihak yang tidak menghormati semangat konstitusi, dengan cara apa pun, bahkan jika mereka dianggap didasarkan pada konstitusi. Ini adalah tentang melihat kebebasan di universitas sebagai masalah yang berada di luar wilayah universitas itu sendiri. Untuk alasan ini, para mahasiswa melihat kebutuhan untuk bekerja sama dengan semua organisasi demokratis di masyarakat untuk menegaskan tuntutan mereka.”