Gerakan Minahasa Merdeka
Gerakan Minahasa Merdeka, merupakan sebuah gerakan Politik di Minahasa , Sulawesi Utara. Gerakan yang Dideklarasikan di Manado ini menyerukan referendum kemerdekaan dengan mengecam isu-isu mengenai diskriminasi politik terutama pembatasan dalam Beragama.
Sejarah1945Sepanjang dekade 1930-an, Alex Maramis dikenal masyarakat sebagai pengacara ulung pembela rakyat kecil. Ia bahkan lebih sering bekerja tanpa bayaran. Saat bekerja di Palembang, ia bertemu perempuan bernama Elizabeth Marie Diena Velhoed yang kelak menjadi istrinya. Di masa pendudukan Jepang, reputasinya kian melejit. Saat bertugas di Jakarta, ia menjadi pegiat di Majelis Pertimbangan Poesat Tenaga Ra'jat (Poetera). Usai Poetera bubar pada 1944, ia direkrut sebagai penasihat di Kaigun Bukanfu, kantor penghubung Angkatan Darat dan Angkatan Laut Jepang di Indonesia. Masuk 1945, pada pengujung Perang Dunia II, Dai Nippon yang kian terdesak oleh Sekutu di medan tempur Pasifik mulai menjanjikan kemerdekaan pada Indonesia. Sebagai bukti bahwa ini tak sekadar "mulut manis", mereka membentuk BPUPK pada 1 Maret 1945. Sekitar dua bulan berselang, ke-67 orang anggotanya diumumkan. Ada nama Alex Maramis tertera dalam daftar Terpilihnya Alex Maramis didasarkan pada dua pertimbangan. Pertama, ia adalah praktisi hukum, yang dijamin sangat membantu perumusan konstitusi. Kedua, ia berasal dari golongan Kristen minoritas sekaligus wakil dari Sulawesi dan Indonesia bagian timur (bersama Johannes Latuharhary asal Ambon). Sebagai tindak lanjut sidang pertama BPUPK pada 29 Mei hingga 1 Juni 1945, Panitia Sembilan dibentuk untuk menyusun prinsip dasar sebuah negara. Hari Jumat 22 Juni 1945, setelah berembuk selama tiga pekan, terbitlah Piagam Jakarta yang kelak jadi cikal bakal Pancasila. Tetapi, masih ada yang mengganjal di benak Alex Maramis, satu-satunya pemeluk Kristen di Panitia Sembilan. IDN Times menulis, peran Alex Maramis dalam merumuskan lima sila sangat penting. Di antaranya poin pertama ("Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya") dianggap oleh Alex Maramis bisa berujung pada diskriminasi. Keresahannya dituturkan langsung kepada sang kolega di Panitia Sembilan, Mohammad Hatta. Sang Wapres Pertama menceritakannya kembali dalam buku Mohammad Hatta: Memoir (Tintamas Indonesia, 1979). Penolakan datang dari orang-orang Kristen di Sulawesi Utara, tempat asal Alex Maramis. Rasa cemas juga terasa di Kepulauan Maluku. Tetapi, upaya mengusulkan perubahan terhalang oleh beberapa hal. Mulai dari situasi genting Jepang di medio Juli-Agustus 1945, hingga sengitnya debat antara Golongan Tua dan Muda perihal kapan mengumumkan kemerdekaan. Rasa lega dirasakan pada Jumat 17 Agustus 1945, setelah Soekarno mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Tetapi, keresahan tetap muncul. Negara baru sudah lahir, maka nasibnya ke depan bisa langsung dibahas. Jumat sore, selepas acara bersejarah di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Hatta melihat seorang anggota Kaigun sedang memasuki halaman rumahnya. Rupanya seorang anggota Kaigun Bukanfu (namanya tidak diketahui hingga sekarang) bertamu. Ia menyampaikan resahnya orang-orang Indonesia timur atas poin pertama Piagam Jakarta. Bung Hatta sadar perkara ini memang krusial. Ia pun sadar negeri baru ini terdiri dari banyak suku, budaya dan agama. Kemajemukan sudah menjadi fakta, bahkan di saat masa VOC bercokol di Nusantara sekalipun. Apa yang dikemukakan Alex Maramis padanya selepas Piagam Jakarta diteken memang benar. Tepat sebelum sidang pertama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada Sabtu 18 Agustus 1945 pagi, Hatta mengumpulkan beberapa tokoh untuk membahas hal ini. Singkat cerita, disepakati bahwa beberapa kata di poin pertama Piagam Jakarta dihilangkan hingga menjadi "Ketuhanan yang Maha Esa." Hasil kompromi ini dibawa ke majelis, dan diterima oleh peserta sidang. Alex Maramis sendiri tak menjadi anggota PPKI. Hadir sebagai wakil dari Sulawesi Utara adalah Dr. Sam Ratulangi. Tetapi, sebagai masyarakat, perubahan ini ia sambut baik. Keresahannya pun hilang. 2000“Orang-orang Kristen yang berasal dari Sulawesi Utara, tanah kelahiran A.A. Maramis, secara serius menolak satu ungkapan dalam piagam tersebut,” tulis Nurcholish Majid dalam Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia (1995). Belakangan redaksional sila pertama pun dipangkas setelah kaum minoritas Indonesia Timur keberatan. Sila itu berubah menjadi: “Ketuhanan yang Maha Esa.” Di masa Sukarno menjadi presiden, juga Soeharto, sila pertama ini tidak berubah. Setelah Soeharto lengser pada 1998, isu merealisasikan Piagam Jakarta sempat menguat lagi. Kembali orang-orang di Minahasa, Sulawesi Utara, yang mayoritas Kristen, bereaksi lagi. Orang-orang Minahasa, termasuk tokoh masyarakat dan pejabat lokal setempat, seperti Wakil Gubernur F.H. Sualang dan Bupati Minahasa Drs. Dolvie Tanor hadir dalam Forum Kongres Minahasa Raya pada sabtu, 5 Agustus 2000 di Tomohon, Sulawesi Utara. “Forum Kongres Minahasa Raya yang berlangsung Sabtu lalu itu sepakat mengultimatum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bahwa jika Sidang Tahunan itu mengamandemen UUD '45 dengan memasukkan Piagam Jakarta ke dalamnya, tanah Toar Lumimuut akan merdeka." Poin ketiga yang dihasilkan kongres tersebut menyebut, “Menolak segala kecenderungan dan usaha yang hendak memecah-belah keutuhan dan kebersamaan bangsa Indonesia di dalam NRI dengan cara memasukan gagasan Piagam Jakarta dan bentuk-bentuk sejenisnya dalam bentuk apa pun ke dalam UUD 1945 - Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan. Keinginan politik sektarian berbasis agama seperti ini hanya akan membatalkan seluruh komitmen kebangsaan Indonesia yang telah melahirkan NKRI bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa pandang bulu.” Jika Piagam Jakarta itu dipaksakan, demikian bunyi kongres tersebut, “maka rakyat Minahasa berhak menentukan nasibnya sendiri untuk masa depan". Meski mengancam berpisah dari NKRI, “Kita berdiri negara sendiri dengan tetap berasaskan Pancasila,” ujar Dolfie Maringka. 2006Enam tahun kemudian, setelah Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu—kebetulan beragama Kristen—dieksekusi terkait kerusuhan di Poso, Dolfie Maringka lagi-lagi menjadi berita. Bersama Revly O.A. Pesak, pada 25 September 2006, dia mendeklarasikan Gerakan Kemerdekaan Minahasa. Nama gerakan yang diinisiasi Dolfie tentu mudah dianggap separatis. Namun, seperti dalam Kongres Minahasa Raya di tahun 2000, Gerakan Kemerdekaan Minahasa lagi-lagi tak bisa lepas dari Pancasila. “Merdeka dari ketidakbebasan menjalankan ibadah, termasuk penistaan terhadap berbagai simbol ke-Tuhan-an Yang Maha Esa dan pemaksaan penerapan tatakrama menurut ajaran agama tertentu bagi semua masyarakat di berbagai daerah yang bertentangan dengan Pancasila dan prinsip-prinsip Ke-Bhineka Tunggal Ika-an,” demikian bunyi salah satu paragraf deklarasinya. 2016-2017setelah 10 Tahun Tak terdengar kabar ,akhirnya Kembali muncul saat Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dibui karena pasal karet penodaan agama, muncul isu “Minahasa Merdeka” di Sulawesi Utara. Terkait atau tidak, pada 13 Mei 2017 lalu, barisan massa bergerak di bandara Sam Ratulangie untuk menolak kedatangan politikus dan wakil ketua DPR Fahri Hamzah yang dianggap oleh peserta aksi sebagai pemecah-belah. Pada 15 Mei pun muncul gerakan Referendum Minahasa. Benderanya mirip bendera pasukan konfederasi Amerika dalam Perang Saudara Amerika (1861-1865). Bedanya jika Konfederasi bentuk barisan bintangnya diagonal, sementara itu Minahasa Merdeka silang barisan bintangnya berbentuk salib. Keduanya berwarna dasar merah. Menurut Sejarawan Sulawesi Utara Bode Talumewo, momen ini muncul di awal Desember 2016 dan Mei 2017 dengan koordinator Rocky Oroh. Terkait dengan Minahasa Merdeka yang dikait-kaitkan dengan Ahok, pengajar sejarah Universitas Sam Ratulangie, Roger Allan Kambuan, angkat bicara. Katanya: “Bagi orang Minahasa bukan soal Ahok. Tapi (masalahnya) lebih kompleks.” Setidaknya, Roger Allan Kambuan melihat: “Di sini juga, kan, ada Kristen fundamental. Dan (ada) yang ingin membangkitkan adat.” Bagi Allan, “Merdeka itu pembebasan.” Baginya, isu Minahasa Merdeka yang muncul sekarang bukan berarti makar. “Cuma ekspresi budaya dan (pe)rasa(an) terpinggirkan,” ujar Allan. Lihat PulaReferensihttps://tirto.id/benarkah-minahasa-ingin-merdeka-coXg
|