Gadai

Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang berpiutang atas suatu barang bergerak (motor, dan mobil) atau tidak bergerak (tanah, sawah/kebun, dan rumah) yang diserahkan kepadanya oleh seorang yang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang yang berpiutang lainnya; dengan pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut. Dimana seseorang itu harus menggadaikan barangnya untuk mendapatkan uang.

Secara umum pengertian usaha gadai adalah kegiatan menjaminkan barang-barang berharga kepada pihak tertentu, guna memperoleh sejumlah uang dan barang yang dijaminkan akan ditebus kembali sesuai dengan perjanjian antara nasabah dengan lembaga gadai.[1]

Definisi gadai dalam Islam disebut dengan Rahn, yaitu suatu perjanjian untuk menahan suatu barang yang digunakan sebagai jaminan atau tanggungan utang. Rahn juga merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang mempunyai nilai ekonomis menurut pandangan syara’ sebagai jaminan, shingga pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.

Dasar Hukum Gadai

  • UU No.7 tahun 1992 yang kemudian disempurnakan menjadi UU No.10 tahun 1998 mengenai pembahasan tentang pokok-pokok perbankan yang di dalamnya mengatur “Perbankan Syariah memberi peluang berdirinya lembaga keuangan syariah dengan berbasis bagi hasil”.
  • PP No 103 tahun 2000,yang mengatur tentang Perusahaan umum (Perum) Pegadaian. Peraturan ini menjadi salah satu peraturan yang menguatkan status pegadaian sebagai perusahaan umum dan masuk pada wilayah BUMN tepatnya di lingkungan Departemen Keuangan RI.
  • Undang-Undang No. 9 tahun 1969, pada Pasal 6 tercantum bahwasannya sifat usaha yang dilakukan pegadaian adalah menyediakan pelayanan maksimal bagi kemanfaatan umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolahan perushaan yang ada.
  • Pasal 1150 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1160 yang berada di buku II KUH Perdata. Dalam pasal ini semuanya berbicara tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan prinsip, kinerja dan lainnya dari pegadaian.

Rukun dalam Gadai menurut Islam

Shigat, yaitu lafadz ijab dan qabul pada saat akad. Shigat (lafal), menurut ulama Hanafiyyah, Apabila akad itu dibarengi dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, maka syaratnya batal, sedangkan akadnya sah.

  1. ) Orang yang berakad (ar-rahin dan al-murtahin) harus cakap dalam bertindak hukum, menurut jumhur ulama orang dianggap cakap bertindak hukum adalah orang yang sudah baligh dan berakal.
  2. ) Barang yang digadaikan (al-murhun), barang jaminan merupakan barang yang memiliki nilai ekonomis secara hukum syara’ artinya barang itu dapat diperjual-belikan, dan merupakan barang yang halal dan milik sah orang yang berutang.
  3. ) Utang (al-marhunbih), merupakan hak wajib yang harus dikembalikan kepada orang tempat berutang; utang itu dapat dilunasi dengan barang jaminan sesuai dengan kesepakatan.

Skema atau Alur dalam Gadai yang sesuai Syariat Islam

  1. Nasabah memberikan barang yang akan digadaikan kepada Pegadaian Syariah sebagai jaminan.
  2. Pegadaian Syariah memberikan uang kepada nasabah sesuai dengan pertimbangan dari nilai barang yang digunakan sebagai jaminan.
  3. Pada saat jatuh tempo nasabah menebus barang yang digadaikan dengan memberikan uang yang dipinjamnya kepada Pegadaian Syariah.
  4. Pegadaian Syariah memberikan barang jaminan kepada nasabah.

Fatwa Dewan Syariah Nasional mengenai Pegadaian

  • Fatwa DSN No. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang RAHN (Gadai yang sesuai dengan syariat Islam)
  • Fatwa DSN No. 26/DSN-MUI/III/2002 tentang RAHN EMAS
  • Fatwa DSN No. 68/DSN-MUI/III2008 tentang RAHN TASJILY (Merupakan bentuk gadai, dimana barang yang digadaikan hanya dipindahkan kepemilikannya, namun barangnya sendiri masih tetap dikuasai dan dipergunakan oleh pemberi gadai)

Referensi

  1. ^ DR, Kasmir (2015). Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. hlm. 231. ISBN 978-979-769-736-5.