Frank Sinatra Has a Cold
Saat menulis artikel tentang Frank Sinatra, Gay Talese sama sekali tidak pernah mewawancarainya secara langsung. Semua hal yang ada di dalam artikel sepanjang 15.000 kata ini diperolehnya dari mewawancarai sekitar 100 orang yang ada di sekitar kehidupan Frank Sinatra.[3] Frank Sinatra Has a Cold adalah artikel tentang Sinatra yang paling mendalam yang pernah ditulis dan yang membuatnya lebih luar biasa adalah tidak adanya keterlibatan Sinatra dalam wawancara langsung.[3] Awal penugasanSemuanya di mulai pada pertengahan tahun 1965. Gay Talese adalah wartawan di surat kabar The Times. Setelah beberapa tanggapan positif atas artikelnya di The Times, dan permintaan untuk memiliki kolomnya sendiri tidak diluluskan oleh A.M. Rosenthal, editor baru The Times saat itu, Talese memutuskan untuk tidak lagi menulis di surat kabar. Sejak tahun 1958, Talese menjadi penulis pengganti untuk kolom Meyer Berger About New York saat wartawan kesayangan pemilik The Times, Arthur Hays Sulzberger itu meninggal dunia. Keterikatan Sulzberger secara emosional kepada Berger membuat Gay Talese tidak pernah bisa memegang kolom About New York sendiri dan hanya sebagai pengganti.
Demikian Talese menjelaskan alasannya keluar dari The Times. Talese menunggu hingga beberapa tahun sampai dia tiba pada kesimpulan di atas. Rosenthal berkata dia ingin sekali memberikan kolom itu untuk Talese tapi dia tidak punya wewenang karena bukan dia pemilik surat kabar tersebut. Jadi saat berusia 33 tahun, Talese mengundurkan diri dari The Times dan menerima kontrak setahun senilai $15.000 dari majalah Esquire untuk menulis 6 artikel.[1] Pada musim dingin 1965, Talese tiba di Los Angeles dalam rangka penugasan dari Majalah Esquire untuk menulis tentang Frank Sinatra setelah sebelumnya sudah membuat janji wawancara dengannya. Dalam salah satu wawancara dengan majalah Vogue, Gay Talese mengatakan bahwa ide untuk menulis Frank Sinatra datang dari editor Esquire saat itu, Harold Hayes, yang ditolaknya sejak awal karena berpikir apalagi yang harus ditulis tentang seseorang yang sudah sangat terkenal selama 30 tahun terakhir dengan kisah hidup dan wawancara tentangnya ada di mana-mana.[4][5] Penyanyi legendaris yang saat itu berusia 50 tahun menolak untuk diwawancarai terlepas dari janji yang sudah disetujuinya. Sinatra saat itu sedang dalam suasana hati yang jelek. Selain karena pilek akibat pengaruh cuaca, Sinatra juga sedang mengalami sejumlah tekanan dalam perjalanan kariernya. Sinatra sedang marah terhadap film dokumenter NBC tentang dirinya yang dianggap menyerang privasinya. Juga karena tajuk utama sejumlah media yang mengaitkannya dengan mafia. Talese memahami kecurigaan Sinatra terhadap media pada saat itu jadi dia memutuskan untuk tetap tinggal di Los Angeles dan berharap Sinatra dapat segera pulih dan mempertimbangkan permintaan wawancaranya. Talese kemudian memulai tugasnya dengan mewawancarai orang-orang di sekitar Sinatra, teman dekatnya, teman sejawatnya, keluarganya, teman bergaul Sinatra yang jumlahnya tidak terhitung dan mengamati penyanyi tersebut dalam setiap kesempatan yang dimilikinya.[2][4][6] Talese berbicara dengan ibu Sinatra, dengan wanita yang membawa tas berisi rambut palsu Sinatra, dengan pelayan yang membuatkan makan malam saat Sinatra sedang sendirian, dan kepada setiap orang, siapapun yang ada di kehidupan Sinatra yang bisa dan mau membahas penyanyi legendaris tersebut. Talese mewawancarai sekitar 100 orang kecuali Frank Sinatra sendiri.[3][6] Hasilnya adalah artikel Frank Sinatra Has a Cold yang terbit pada bulan April 1966 sepanjang kurang lebih 15.000 kata. Artikel ini menjadi salah satu kisah di majalah yang paling terkenal yang pernah terbit dan menjadi pionir dan contoh jurnalisme baru. Jurnalisme baru adalah gaya menulis kisah nonfiksi yang diceritakan sesuai dengan fakta sebenarnya namun secara terperinci dan dengan gaya bercerita yang biasanya dipakai untuk menceritakan kisah fiksi. Artikel ini bukan hanya menampilkan gambaran mendalam tentang Frank Sinatra, salah satu figur yang sangat menjaga privasinya, tetapi juga bercerita banyak tentang dunia hiburan, para selebritas, dan tentang Amerika itu sendiri.[1][4] PenulisanTalese mengatakan bahwa pada saat seseorang menulis tentang selebritas, mereka tidak akan belajar sesuatu yang baru. Para pesohor ini sudah terlalu sering diwawancarai oleh semua media. Mereka sudah kelelahan menjelaskan semua hal. Belum lagi ketakutan bahwa kalimat mereka akan dikutip dan direkam dengan alat perekam, benar-benar membatasi mereka. Talese tidak memakai alat perekam karena tidak ingin mengutip kalimat-kalimat orang yang dia wawancarai. Talese mengatakan dia tidak tertarik dengan apa yang pesohor itu katakan, tetapi tertarik dengan apa yang mereka pikirkan. Hal inilah yang ditandai oleh Tom Wolfe dalam tulisan Gay Talese Frank Sinatra Has a Cold, sebagai jurnalisme gaya baru. Saat seseorang mampu menulis hal yang sangat terperinci tentang seseorang yang notabene adalah tulisan nonfiksi dengan sangat detail, bahkan disebut-sebut sebagai tulisan tentang Frank Sinatra yang paling mendalam bila dibandingkan dengan tulisan yang diperoleh dari wawancara langsung.[3][6]
Gay Talese memulai artikelnya dengan menggambarkan Frank Sinatra sedang memegang segelas bourbon di satu tangan dan rokok di tangan yang lain, sedang berdiri di sisi bar yang gelap diapit dua gadis pirang yang menunggunya berbicara. Tapi Sinatra tidak berkata sepatah kata pun. Hanya menatap rokok dan ruangan di seberang yang dipenuhi kaum muda yang duduk mengelilingi meja atau sedang berdansa dibawah iringan musik folk-rock. Dua gadis pirang dan juga empat kawan pria Sinatra tahu persis untuk tidak mengajaknya bercakap-cakap saat dia sedang terdiam muram.[4] Talese menggambarkan kemurungan Sinatra dengan cara dan gaya bahasa yang tidak lazim dipakai saat menulis profil seseorang.
Ini adalah kutipan artikel asli Frank Sinatra with a Cold dengan gaya bahasanya yang tidak lazim untuk tulisan nonfiksi.
Referensi
|