Film sebagai Media Komunikasi Massa


Film sebagai Media Komunikasi Massa ― Sebuah film hidup dari bentukan teknologi rekaman gambar dan suara, dan termasuk ada di dalamnya berbagai unsur kesenian seperti sastra, teater, seni rupa, dan juga musik. Film saat ini menjadi salah satu pilihan hiburan bagi masyarakat di seluruh dunia.

Sejarah Perfilman Dunia

Awal penemuan film ditandai dengan adanya eksperimen terhadap konten dan bentuk, inovasi teknologi, termasuk juga mengenai siapa yang akan menggunakan, mengontrol dan memanfaatkan hasil penemuan ini. Bagaimanakah film ini pada awalnya dibuat? Hal pertama adalah bagaimana menangkap gerakan pada film. Selanjutnya, bagaimana cara untuk merekam dan menampilkan gambaran peristiwa dalam gerakan tersebut. Film mempunyai satu unsur penting dalam tampilannya yaitu gambar. Teknologi kamera yang pada awalnya hanya mampu menangkap gambar berkembang terus menerus dengan kualitas dan inovasi yang berbeda. Pada tahun 1888, Thomas Edison, mengembangkan teknologi kamera dengan fungsi menangkap dan merekam gambar yang bergerak, bukan hanya memotret objek diam. Setelah itu, munculah inovasi baru dari Lumiere bersaudara untuk menampilkan film pada layar. Pada era ini, film masih ditampilkan hitam putih tanpa adanya audio. Yang dilakukan untuk mendukung audio dalam pemutaran film kala itu adalah adanya pemain musik yang langsung mengiringi sepanjang pertunjukan film. Sebuah film karya Edwin S. Poter yang berjudul The Great Train Robbery menjadi film cerita pertama dan sangat populer. Untuk pertama kalinya, penonton dikejutkan dan merunduk ketika adegan perampok menembakan pistol ke arah kamera. Tokoh lainnya, Edison dan Biograph, yang membuat teknologi baru pada kamera dan proyektor. Teknologi ini akan menggabungkan paten-paten untuk dibangun ke dalam satu bentuk standar gambar yang begerak. Produser independen saat itu mulai memindahkan produksi film mereka dari New York ke Hollywood, California. Mulai tahun 1915, Hollywood menjadi pusat industri perfilman dunia. Di periode tahun 1915 ini juga muncul seorang sutradara film, D. W. Griffth dengan kreasi bentuk film dan teknis yang lebih inovatif. Film dramanya yang cukup kontroversial dikenal dengan judul Birth of Nation. Di sini ia menampilkan produksi luar ruang yang sangat baik khususnya dalam adegan pertarungan. Film ini menjadi film pertama berdurasi lebih dari 90 menit, disebut dengan feature film. Yang menarik, film ini membawa isu rasis yaitu dianggap memberikan pandangan negatif terhadap warga kulit hitam. Dengan konten film tersebut, The National Association for the Advancemenet of Colored People (NAACP) memberikan koreksi dan menekankan penghapusan gambar yang dianggap ofensif. Dari peristiwa ini, warga kulit hitam terinspirasi dan terdorong untuk membuat film mengenai perlawanan terhadap isu rasis.[1]

Produksi Film

Dalam produksinya, proses pembuatan film dibagi dalam 3 tahap. Preproduction adalah tahap awal di mana ide dibentuk. Ide dapat diterjemahkan ke dalam tulisan seperti plot dalam novel ataupun pertunjukan teater. Selanjutnya, pembuatan skrip, dari mulai skrip naratif, adanya plot, gambaran karakter si pemain serta lokasi, kemudian skrip lebih detail dengan dialog, pengaturan pencahayaan dan gerak, sampai pada penulisan skrip akhir. Di saat yang bersamaan, seorang produser akan mencari aktor dan aktris yang akan dimunculkan dalam film tersebut. Pemilihan pemain ini menjadi pertimbangan penting dalam proses preproduction khususnya mengenai alokasi biaya. Pemilihan lokasi pengambilan gambar dan audio serta seluruh tim pendukung atau kru (make up, setting lokasi, lighting, audio, kostum dan lainnya) juga dipersiapkan dalam tahap ini. Tahap kedua adalah produksi. Di sini seluruh proses akting akan direkam dengan mengacu pada instruksi langsung dari seorang sutradara. Di tahap terakhir, postproduction, seluruh hasil dalam proses produksi akan diputar ulang, kemudian ditambahkan efek-efek spesial baik di bagian visual maupun audio, sound track akan melengkapi film pada proses akhir ini.[2]

Organisasi dalam Industri Film

Film sebagai salah satu hasil karya seni tentunya diproduksi dengan tujuan bisnis. Di samping idealis si penulis dan sutradara, film harus memperhatikan sisi pasar yang menjadi target penjualan, apakah film ini disukai pasar, apakah film ini memberikan profit? Untuk tujuan profit tersebut, ada beberapa organisasi yang mendukung dalam industri film. Dibagi ke dalam tiga area yaitu produksi (termasuk di dalamnya tim produksi film, produksi televisi dan bagian administrasi), distribusi (penyebaran film ke semua bioskop, termasuk juga distribusi ke siaran televisi ataupun dalam format DVD), dan pameran (semua tempat pertunjukan film semakin berkembang, baik secara jumlah maupun melalui inovasi dan fasilitas yang memberikan kenyamanan lebih bagi para penonton film).[2]

Film di Masa Digital

Produksi film tidak terlepas dari unsur teknologi di dalamnya. Untuk menangkap gambar, digunakan teknologi analog. Selanjutnya, teknologi digital memegang peran lebih, baik dalam proses produksi, distribusi dan pameran film. Disebut sebagai film digital, film yang diproduksi lewat kamera digital dan menggunakan komputer untuk mengeditnya. Belum lagi, penggunaan efek digital untuk audio maupun visual. Selanjutnya, dari sisi distribusi, film dapat disebar dengan mudahnya dengan sistem digital. Ribuan bahkan jutaan film dapat disalin dengan cepat dengan biaya yang relatif murah. Untuk persebaran ke bioskop misalnya, dapat dilakukan tanpa hambatan jarak dan waktu melalui transmisi digital seperti menggunakan internet dan satelit. Selain itu, konsumsi film di rumah juga dapat dilakukan melalui DVD. Selain DVD, berkembang teknologi lain untuk menonton film di luar bioskop. Masyarakat sudah mengenal dan banyak menggunakan fasilitas internet untuk menonton dan mengunduh film. Banyak website yang memberikan ragam film untuk konsumsi khalayak luas. Lebih lanjut, dalam perkembangan masyarakat saat ini, mobilitas yang semakin tinggi, perangkat mobile adalah salah satu media prioritas bagi masyarakat. Dalam hal memenuhi kebutuhan hiburan, masyarakat kota menggunakan perangkat mobile untuk menonton film. Dari awalnya film ditampilkan dalam format layar yang besar, kemudian bergerak ke medium lebih kecil seperti televisi, layar komputer dan laptop, dan saat ini semakin kecil pada tampilan perangkat mobile. Fenomena digital ini sangat mempengaruhi konsumsi masyarakat khususnya mengenai konsumsi informasi dan hiburan.

Film dalam Konteks Komunikasi

Keberadaan film di tengah kehidupan masyarakat memberikan beberapa nilai fungsi tertentu. Film dibuat dengan latar belakang produksi yang sangat rumit. Dari proses preproduction sampai kepada postproduction melibatkan banyak orang dengan fungsi yang berbeda. Film dikonsep sedemikian rupa, dengan pemilihan pemain, lokasi, kostum, musik dan unsur lainnya. Di samping mencapai suatu nilai profit bisnis, film juga berfungsi untuk mentransmisikan suatu pesan dari si pembuat film kepada khalayak luas. Dengan fungsi mentransmisikan pesan, menempatkan film dalam sebuah proses komunikasi. Salah satu bentuk komunikasi yang mentransmisikan pesan kepada khalayak dalam jumlah yang luas pada saat yang bersamaan disebut dengan komunikasi massa. Dalam bentuk komunikasi ini tidak ada kontak langsung antara si pengirim dan penerima pesan. Pesan akan disampaikan melalui beberapa media seperti televisi, radio, majalah, surat kabar, dan lainnya termasuk film. Film dalam bentuk komunikasi massa mengacu pada model komunikasi linear. Artinya bahwa film ada dalam proses komunikasi yang sifatnya searah. Bagaimana model komunikasi ini berjalan? Sender, dalam hal ini adalah si pembuat film, akan mengirimkan pesan melalui channel yaitu film itu sendiri. Pesan berisi tentang ide cerita yang disampaikan dalam film. Pesan akan ditujukan kepada receiver yaitu penonton film. Noise ataupun gangguan akan mempengaruhi proses transmisi pesan, misalnya kondisi tempat pertunjukan yang kurang nyaman, sikap audience saat menonton film, gangguan teknis saat menonton film dan hal lainnya. Penyampaian pesan melalui film juga sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan referensi si penonton saat mengintrepretasikan film. Film memiliki kemampuan untuk mengantarkan pesan secara unik. Dapat dilihat begitu banyak jenis film, diantaranya dokumenter, horor, drama, action, petualangan, komedi, kriminal, fantasi, musikal, animasi, dan lainnya. Tiap konsep film akan sesuai dengan konsep pesan yang akan disampaikan. Untuk itu setiap pembuat film berkewajiban membuat konsep film yang sesuai aturan dan layak dikonsumsi masyarakat. Film seharusnya bisa menjadi media komunikasi yang memberikan fungsi penerangan, pendidikan, pengembangan budaya, ekonomi, selain juga memberikan fungsi hiburan kepada masyarakat. Dalam kaitannya dengan teknologi, film dengan segala teknologi di dalamnya mempengaruhi masyarakat dalam mengkonsumsi pesan. Konsep McLuhan menyebutkan bahwa teknologi dapat mengekstensi kemampuan manusia.[3] Dilihat dari proses produksinya, teknologi pembuatan film dapat mengektensi kemampuan si pembuat film untuk membuat film dengan detail ruang dan waktu tertentu, yang jelas berbeda dengan kondisi asli saat film dibuat. Dari sisi penonton, dengan adanya teknologi, penonton dapat menikmati suasana dengan nuansa tahun tertentu, di negara tertentu melalui pertunjukan film. Teknologi digital juga memudahkan penonton untuk mengakses semua jenis film produksi negara mana pun tanpa harus pergi langsung ke negara tersebut. McLuhan juga memberikan konsep medium is the message. Diartikan bahwa teknologi yang menjadi media pembawa pesan.[3] Dalam hal ini teknologi film yang membawa pesan yaitu isi dari film itu sendiri. Pesan dikemas dengan audio dan visual, film mampu bercerita banyak hal dalam waktu yang singkat. Selanjutnya, mengenai media untuk mengakses film, berkaitan dengan teknologinya, masyarakat mempunyai keleluasaan dalam memilih teknologi media mana yang sesuai dengan kebutuhannya. Misalnya, beberapa orang lebih memilih menonton di bioskop daripada menonton film melalui DVD atau internet. Ada juga masyarakat yang saat ini lebih memilih menggunakan mobile phone untuk menonton film. Dalam teori technology determinsm memberikan pandangan bahwa teknologi memberikan pengaruh terhadap masyarakat dalam proses mengkonsumsi film.[1]

Perkembangan Film di Indonesia

Indonesia mengenal film pertama kali sekitar tahun 1900 di Jakarta. Dikenal dengan Gambar Idoep, film pertama ini merupakan jenis film dokumenter yang menceritakan perjalanan Ratu dan Raja Belanda di Den Haag. Pada tahun 1905, untuk pertama kalinya film hasil impor dari Amerika masuk ke Indonesia. Film ini mendapat sambutan yang baik dari masyarakat Indonesia. Ini berdampak pada peningkatan jumlah penonton dan bioskop. Film cerita pertama yang diproduksi Indonesia adalah Loeteong Kasaroeng. Film lokal asal Jawa Barat ini merupakan hasil produksi NV Jawa Film Company. Kemudian muncul beberapa perusahaan film lainnya seperti Halimun Film Bandung dan Central Java Film (Semarang). Pada masa ini film masih diproduksi tanpa suara. Sampai pada tahun 1931, Tans Film Company bekerjasama dengan Kruegers Film Bedrif sukses memproduksi film bersuara. Dari sini, semakin banyak film diproduksi dan jumlah bioskop sudah mencapai 227 pada tahun 1936. Dunia perfilman semakin menunjukan eksistensinya di Indonesia dengan diadakannya Festival Film Indonesia tahun 1955. Dalam festival ini, film terbaik diraih Usmar Ismail dalam karyanya Jam Malam. Bukan hanya di tingkat nasional, film ini juga mewakili Indonesia dalam Festival Film Asia II di Singapura. Film ini berisi cerita para pejuang setelah era kemerdekaan. Film sudah menjadi salah satu pilihan hiburan bagi masyarakat pada saat itu. Jumlah film produksi lokal meningkat pesat pada tahun 80an. Film bertemakan komedi, musik, horor dan seks horor sangat populer. Peningkatan jumlah produksi film ini juga berpengaruh terhadap peningkatan aktor dan aktris Indonesia, sebut saja Warkop dan Rhoma Irama yang menjadi bintang dalam pertunjukan film kala itu. Namun, dicatat sebuah film lokal yang paling fenomenal di era itu adalah film Pengkhianatan G-30S/PKI. Penontonnya mencapai angka 699.282. Pencapaian ini didukung oleh pemerintah Orde Baru saat itu yang mewajibkan murid-murid sekolah untuk menonton film tersebut [4] Perkembangan dunia perfilman di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh produksi film lokal tetapi juga produksi Hollywood. Bioskop pada tahun 80an terpisah dengan kelas yang berbeda. Dikenal dengan bioskop 21, film produksi lokal mulai tidak diminati di sini karena dari sisi konten dan kemasan yang monoton dan seperti dibuat hanya untuk kepentingan bisnis, jadi kualitas film tidak lagi dipentingkan. Selain itu, kebanyakan film lokal juga diedarkan di bioskop kecil dan pinggiran. Bahkan ada beberapa bioskop 21 yang hanya memutar film Hollywood. Kondisi film Indonesia semakin terpuruk dengan adanya film impor, sinetron dan telenovela yang dihadirkan pada televisi. Di era tahun 90an, industri film harus bersaing kuat dengan industri televisi. Saat itu sudah muncul VCD dan DVD yang semakin mempermudah masyarakat untuk mengkonsumsi film impor. Namun, dunia perfilman tetap mempunyai kelas dan pasarnya tersendiri. Film lokal tetap diproduksi, salah satu film karya Garin Nugroho yang berjudul Cinta dalam Sepotong Roti, Daun di atas Bantal menunjukan eksistensi perfilman Indonesia di kancah dunia internasional dengan meraih beberapa penghargaan. Selain adanya faktor film impor, ada beberapa masalah terkait dengan produksi film di Indonesia seperti kendala dana, sumber daya manusia sampai kepada kebijakan pemerintah. Namun, kini perfilman Indonesia hidup kembali dengan karya yang mendapat apresisasi yang tinggi dari masyarakat. Film dapat menjadi aset potensial sebagai cermin karakter dan kondisi bangsa Indonesia. Film Indonesia sangat kaya dengan tampillan bumi dan segala keindahan alam, budaya, tradisi, kebiasaan dan nilai historikal yang terkandung di dalamnya. Dilihat dari jumlah penonton, berikut lima film terlaris di Indonesia periode tahun 2007 sampai 2015. Di urutan pertama, Laskar Pelangi (2008) karya Riri Riza mencapai 4.631.841 penonton. Kedua, Habibie dan Ainun (2012) karya Faozan Rizal dengan 4.488.889 penonton. Selanjutnya, Ayat-ayat Cinta (2008) karya Hanung Bramanyto (2008) dengan 3.581.947 penonton. Di urutan berikutnya Ketika Cinta Bertasbih (2009) karya Chaerul Umam dan 5 CM (2012) karya Riza.[5] Di era teknologi digital saat ini, berkembang produksi film baru yang disebut dengan film independen. Dengan teknologi kamera digital memacu anak muda yang mempunyai ketertarikan pada dunia film, dapat memproduksi film namun dengan peredaran film yang masih terbatas. Biasanya film independen ini ditampilkan pada ajang festival film. Ini akan memacu pembuatan karya film yang inovasi dan sisi kreatif serta lebih jujur, bukan hanya sekadar faktor komersial.

Referensi

  1. ^ a b Straubhaar, J., LaRose, R.& Davenport R., (2011). Media Now: Understanding Media, Culture, and Technology, 2011 Update Seventh Edition. Thomson-Wadsworth
  2. ^ a b Dominick, J. R. (2008). The Dynamics of Mass Communication: Media in the Digital Age, Tenth Edition, McGraw-Hill, International Edition.
  3. ^ a b McLuhan, M. (1964). Understanding Media: The Extensions of Man. Bergen Field, NJ: New American Library
  4. ^ http://perfilman.perpusnas.go.id Diarsipkan 2019-02-05 di Wayback Machine..
  5. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-03-08. Diakses tanggal 2015-09-24. 

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Trying to get property of non-object

Filename: wikipedia/wikipediareadmore.php

Line Number: 5

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Trying to get property of non-object

Filename: wikipedia/wikipediareadmore.php

Line Number: 70

 

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Undefined index: HTTP_REFERER

Filename: controllers/ensiklopedia.php

Line Number: 41