Father complexFather complex dalam psikologi adalah sekelompok asosiasi atau impuls bawah sadar yang secara khusus berkaitan dengan arketip ayah. Impuls ini bisa berupa aspek positif (mengagumi dan mencari seseorang dengan figur seperti ayah) atau negatif (tidak percaya atau takut). Sigmund Freud dan para psikoanalis setelahnya, menganggap bahwa father complex terkait erat dengan ambivalensi terhadap ayah di pihak anak laki-laki sebagai aspek dari kompleks Oidipus.[1] Sebaliknya, Carl Jung berpendapat bahwa pria dan wanita dapat memiliki father complex baik positif ataupun negatif.[2] Freud dan JungPemahaman bersamaIstilah father complex tercipta berkat kolaborasi penelitian yang dilakukan Freud dan Jung pada dekade pertama abad ke-20. Saat itu, Freud sedang menulis tentang neurotik, "seperti yang dikatakan Jung, mereka menderita sakit pada kompleks yang sama layaknya yang sedang dihadapi orang normal."[3] Pada tahun 1909, Freud menjadikan The Father Complex and the Solution of the Rat Idea sebagai pusat studinya tentang Rat Man (julukan yang diberikan Freud pada pasien dengan neurosis obsesional). Dalam studi tersebut, Freud memandang adanya reaktivasi pergulatan masa kanan-kanak melawan otoritas ayah sehingga menghasilkan kompulsi pada Rat Man saat ini.[4] Dalam kasus Schreber tahun 1911, Freud menyatakan bahwa orang normal juga bisa memiliki father complex.[4] Setahun sebelumnya, Freud berargumen bahwa father complex (rasa takut, pembangkangan, dan ketidakpercayaan terhadap ayah) membentuk resistensi psikologis paling krusial pada pasien pria terhadap pengobatannya.[5] Father complex juga menjadi inti konseptual diTotem dan Taboo (1912-1923). Bahkan ketika Jung tidak lagi membahas tentang father complex, konsep itu tetap menjadi hal penting dalam teori Freud di era 1920-an,[6] seperti yang dimuat dalam The Future of an Illusion (1927).[7] Peneliti lain yang mendukung gagasan Freud juga menyelidiki sifat ambivalen kompleks itu.[8] Namun, ringkasan singkat Otto Fenichel (1946) tentang setengah abad psikoanalisis pertama, lebih condong menyertakan father complex ke dalam lingkup kompleks Oidipus.[9] Setelah perpecahan Freud dan Jung, Jung tetap menggunakan father complex untuk menjelaskan hubungan ayah dan anak. Misalnya, dalam kasus ketergantungan pasien terhadap ayahnya (disebut Jung sebagai "a fils a papa")[10] atau dalam kasus father complex positif yang menghasilkan kesanggupan berlebihan terhadap otoritas.[11] Namun, Jung dan pendukung teorinya juga siap untuk menempatkan konsep tersebut dalam lingkup psikologi wanita. Sebagai contoh, dalam kasus father complex negatif yang membuat wanita merasa bahwa semua pria cenderung tidak kooperatif, menghakimi, dan kasar dalam citra yang sama.[2] Perpecahan Freud/JungFreud dan Jung sebetulnya menggunakan father complex untuk menjelaskan hubungan pribadi mereka sendiri. Misalnya, saat keakraban awal mereka semakin dalam, Jung menulis kepada Freud agar membiarkan persahabatan mereka berubah menjadi hubungan ayah dan anak.[12] Dalam retrospeksi, baik Jungian dan Freudian menilai betapa Jung terdorong untuk mempertanyakan teori-teori Freud dengan cara yang menunjuk keberadaan father complex negatif dari yang positif[2]—di bawah pendirian yang dipilihnya dan terang-terangan dari putra kesayangannya.[12] Pada akhirnya, tidak mengherankan bahwa father complex memicu konflik antara keduanya. Dalam hal ini, Jung menuduh Freud, "Memperlakuan anak anda (Jung) sebagai seorang pasien, sementara kamu dengan enaknya bertindak seperti ayah."[12] Dalam perjuangannya untuk terbebas dari figur ayah psikoanalitiknya, Jung menolak istilah father complex yang disematkan sebagai nama panggilan Wina-nya. Hal ini ia lakukan, meski di masa lalu ia gunakan istilah tersebut untuk menjelaskan situasi yang serupa.[12] Pascamodernisme: ketidakhadiran figur ayahGagasan father complex mulanya berkembang atas dasar perlawanan terhadap kekejaman patriarki Victoria, tetapi satu abad berikutnya berkembang gerakan pascamodernisme yang menghilangkan otoritas paternal (ketidakhadiran figur ayah).[13] Seiring dengan peralihan penekanan peran ayah ke teori hubungan objek pada ibu oleh Freudian, psikoanalisis menyoroti tentang pencarian figur ayah dan efek negatif dari ketidakhadiran sosok ayah.[14] Bahkan perspektif Prancis pun menyatakan bahwa ungkapan tersebut hampir tidak pernah dijumpai dalam psikoanalisis kontemporer.[5] Meskipun orang-orang pasca Lacania terus memperdebatkan gagasan Vatercomplex,[15] kamus psikoanalisis pascamodernisme lebih cenderung untuk memasukkan istilah James M. Herzog (1980) father hunger: kerinduan anak laki-laki akan kontak dengan figur ayahnya.[16] Namun, Jungian seperti Erich Neumann tetap menggunakan konsep father complex saat mengeksplorasi hubungan ayah-anak. Ia juga melihat implikasinya dalam aspek otoritas, menilai identifikasi dini dengan ayah, mempelajari pergulatan anak yang mengarah pada konservatisme tanpa kesadaran diri, dan adanya pemberontakan terhadap father complex yang dijumpai dalam arketip anak.[17] Jungian juga mengaplikasikan analisis serupa pada seorang wanita dengan father complex negatif, berupa tindakan penolakan saran dari pria dan anggapan otoritas pria itu membahayakan.[12] Father hungerMargo D. Maine selaku praktisi gangguan pola makan menggunakan istilah father hunger dalam bukunya Fathers, Daughters and Food (Nov 1991),[18] yang mengulas hubungan ayah dengan anak perempuannya. Father hunger terjadi akibat ketidakhadiran sosok ayah yang membuat anak perempuan menderita narsisme abnormal dan pencarian harga diri eksternal.[19] Maine lebih dalam menyelidiki kerinduan yang dimiliki semua anak akan kontak dengan ayahnya dan mengaitkan antara father hunger dengan gangguan pola makan dan penyakit mental.[18] Dalam teori psikoanalisis kontemporer, Father Hunger: Explorations with Adults and Children karya James M. Herzog mengulas rasa rindu bawah sadar yang dialami banyak pria dan wanita akan kehadiran sosok ayah.[20] Michael J. Diamond melalui karyanya yang berjudul My Father Before Me (W. W. Norton, 2007) juga membahas pentingnya sosok ayah pada anak-anak selama masa perkembangannya.[21] Jungian menekankan kekuatan parent hunger yang mendorong seseorang untuk mencari arketip ayah yang tidak terpenuhi di luar sana.[22] Salah satu solusi yang ia tawarkan pada pria adalah beralih ke generativitas. Maksudnya adalah seorang pria dapat menemukan sosok ayah yang hilang di dalam diri mereka sendiri, ayah internal, dan menjadi teladan ayah untuk generasi penerusnya.[23] Dengan demikian, mereka akan beralih dari yang tadinya menuntut bimbingan orang tua menjadi menyediakan bimbingan tersebut.[24] Contoh budayaGagasan father complex masih berkembang dalam budaya. Misalnya, Czesław Miłosz yang menulis tentang Albert Einstein, "Segala sesuatu tentangnya sejurus dengan father complex saya. Kerinduan saya akan seorang pelindung dan pemimpin."[25] Nama samaran Bob Dylan yang dianggap berkaitan dengan father complex. Dylan menggunakannya sebagai sebuah penolakan terhadap sosok dan nama ayahnya.[26] Namun, setelah menggunakan nama itu, ia kemudian mencari figur ayah, sebelum ia meninggalkannya.[27] Namun, novelis Inggris DH Lawrence menolak menyebut gagasan father complex seperti yang terjadi pada dirinya, Ia lebih condong menyebut konsep tersebut sebagai fool's complex.[28] Referensi
Pranala luar |