Efek ilusi kebenaran (disebut juga efek keabsahan, pengaruh kebenaran, atau efek pengulangan) adalah fenomena timbulnya kecenderungan untuk mempercayai informasi yang salah sebagai suatu kebenaran, setelah adanya proses repetisi atau pengulangan.[1][2][3][4]
Efek ilusi kebenaran ini pertama kali diperkenalkan lewat penelitian yang dilakukan oleh Lynn Hasher, David Goldstein dan Thomas Toppino pada tahun 1977. Pada penelitian ini, sekelompok responden diberikan 60 pernyataan (ada yang benar ada yang salah) dan diminta untuk menandai apakah pernyataan itu benar atau salah menurut mereka. Dua minggu kemudian mereka kembali diberikan 60 pernyataan yang lain yang 20 diantaranya sudah diberikan di awal penelitian. Para peneliti menemukan bahwa responden-responden ini menganggap pernyataan yang sudah pernah mereka baca sebelumnya sebagai kebenaran.[1][5]
Mungkin kelihatannya sederhana bagaimana suatu informasi memiliki efek yang besar hanya dengan repetisi. Tapi tepat seperti itulah yang ditunjukkan oleh penelitian-penelitian di bidang psikologi. Repetisi adalah metode persuasi yang paling mudah dan paling banyak digunakan. Kita bisa melihat efek repetisi ini di berbagai bidang. Di bidang politik, di dunia periklanan atau di industri media.[6]
Para peneliti menyatakan fenomena efek ilusi kebenaran ini timbul karena adanya perasaan familier. Pada saat kita mendengar satu informasi berulang-ulang, secara otomatis informasi itu familier atau akrab dengan kita. Dan otak manusia menerjemahkan perasaan familier ini sebagai kebenaran, karena otak kita cenderung lebih mudah memproses sesuatu yang sudah kita kenali sebelumnya. Ini disebut kelancaran kognitif.[1][6]
Sejarah
Ulangilah kebohongan sesering mungkin maka dia akan menjadi kebenaran.[2]
Adalah hukum propaganda yang diucapkan oleh mantan Kanselir Jerman Joseph Goebbels yang kini banyak diadaptasi oleh orang-orang di dunia politik, bahkan media. Di dunia psikologi, hal ini telah dibuktikan kebenarannya dan dikenal dengan istilah efek ilusi kebenaran.[2][7][8]
Fenomena ini pertama kali ditemukan dari penelitian yang dilakukan oleh psikolog Dr. Lynn Hasher, David Goldstein dan Thomas Toppino dari Universitas Temple. Efek ilusi kebenaran akan timbul karena suatu informasi yang salah dianggap benar akibat proses pengulangan yang meningkatkan level validitasnya. Penelitian-penelitian lanjutan setelahnya mengungkapkan lebih banyak dan lebih luas lagi tentang efek ilusi kebenaran ini. Seperti misalnya fenomena ini terjadi karena otak manusia lebih cepat dan mudah memproses sesuatu yang bersifat familier (karena sering diulang).[8]
Dari penelitian meta-analitik pada tahun 2010 menunjukkan bahwa efek ilusi kebenaran ini akan tetap ada bahkan bila sumber informasinya tidak jelas dan kurang bisa dipercaya. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun kita tetap memeriksa validitas sumber informasinya, bila informasi yang kita terima ini sudah mengalami repetisi, maka kita lebih cenderung menganggapnya sebagai kebenaran. Ini terjadi karena paparan berulang terhadap suatu informasi, meningkatkan nilai kebenarannya.[8]
Penelitian lain
Ian Maynard Begg, Ann Anas dan Suzanne Farinacci pada tahun 1992 menemukan bahwa orang-orang akan menyatakan suatu informasi sebagai suatu kebenaran, bahkan bila hanya diulang sekali.[6]
Penelitian yang dilakukan oleh Jonas De keermaecker di Universitas Ghent menunjukkan bahwa tingkat kecerdasan dan perilaku kognitif tidak membuat seseorang imun terhadap efek ilusi kebenaran. Dengan enam kelompok percobaan jumlah responden hingga 336 orang, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa variasi kognisi tidak ada hubungannya dengan kuat tidaknya efek ilusi kebenaran. Variasi kognitif penelitiannya sendiri memiliki tiga aspek, kemampuan kognitif atau intelegensia, kebutuhan untuk menuntaskan kognitif (misalnya keinginan untuk mengakhiri keragu-raguan) dan gaya atau model kognitif seseorang (apakah seseorang berpikir cepat dan mengandalkan intuisi atau berpikir lambat dan analitis). Ini berarti, kebanyakan dan hampir sebagian besar dari kita akan mulai mempercayai informasi yang berulang.[3][7]
Penelitian ini dimulai dengan responden membaca pernyataan-pernyataan sepele (trivia) yang sebagian salah dan sebagian lainnya benar. Kemudian tahap kedua dilakukan survei dan tes kognitif. Mereka lalu membaca ulang trivia di bagian pertama dan memberikan penilaian mereka terhadap kebenaran trivia tersebut. Yang terakhir mereka diminta menilai kebenaran pernyataan seorang politikus. Hasilnya memperlihatkan bahwa kita semua memang cenderung mempercayai informasi berulang terlepas dari apapun profil kognitif kita.[7]
Penelitian lain yang dipimpin oleh Nadia Brashier dari Universitas Harvard memperlihatkan bahwa kebiasaan kita untuk melakukan pengecekan ulang pengetahuan kita, dapat membantu dalam hal menentukan apakah informasi tersebut akan kita percayai atau tidak.[3]
Untuk masalah kesalahan informasi dalam efek ilusi kebenaran, peran pendidikan hanya sebagian saja. Kita juga tetap harus mendesak orang-orang untuk berhati-hati dalam membandingkan informasi baru dengan apa yang sudah mereka ketahui sebelumnya.[3]
Hasil penelitian-penelitian sebelumnya telah menunjukkan lemahnya kemampuan manusia untuk memproses argumen rasional. Namun penelitian yang dilakukan oleh Jason D. Ozubko dan Jonathan Fugelsang pada tahun 2010 menunjukkan bahwa kemampuan tersebut bahkan sudah di batas yang mengkhawatirkan jika dihubungkan dengan informasi yang tersimpan di memori. Hasilnya memperlihatkan bahwa suatu informasi yang diambil dari memori kita, efek persuasifnya sama besarnya dengan informasi yang sudah diulang dua kali.[6][9]
Hampir semua penelitian yang dilakukan menunjukkan besarnya efek repetisi terhadap penerimaan seseorang. Namun penelitian yang dilakukan oleh Wesley G. Moons, Diane M. Mackie, Garcia Marques dan Teresa pada tahun 2008 memberikan hasil yang sedikit berbeda. Mereka menarik kesimpulan bahwa efek repetisi akan efektif jika orang-orang menerimanya sambil lalu dan hanya memberikan sedikit perhatian saja. Tapi bila mereka berkonsentrasi dan menyadari jika argumentasi yang diulang tersebut lemah, maka efeknya akan menghilang. Dengan kata lain, tidak tepat untuk mengulang argumentasi yang lemah di hadapan orang yang memberikan perhatian penuh.[6][10]
Penelitian yang dilakukan oleh Brinol dan kawan-kawan pada tahun 2008 menyimpulkan bahwa butuh 3 hingga 5 kali pengulangan untuk mendapatkan efek maksimal dari efek ilusi kebenaran ini pada seseorang.[6]
Referensi
- ^ a b c "The Illusion of Truth: Believing Something is True When it's Not". Exploring your mind (dalam bahasa Inggris). 2018-04-15. Diakses tanggal 2020-01-25.
- ^ a b c Stafford, Tom. "How liars create the 'illusion of truth'". www.bbc.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-01-25.
- ^ a b c d "Why the illusory truth effect works". Big Think (dalam bahasa Inggris). 2019-09-15. Diakses tanggal 2020-01-25.
- ^ "The illusory truth effect on social media | How it affects your marketing". KUB | Digital Marketing | Social Media | Business Coaching (dalam bahasa Inggris). 2018-09-17. Diakses tanggal 2020-01-25.
- ^ "Illusory truth effect - Biases & Heuristics". The Decision Lab (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-01-25.
- ^ a b c d e f "The Illusion of Truth". PsyBlog (dalam bahasa Inggris). 2010-12-08. Diakses tanggal 2020-01-25.
- ^ a b c "Higher Intelligence And An Analytical Thinking Style Offer No Protection Against "The Illusory Truth Effect" – Our Tendency To Believe Repeated Claims Are True". Research Digest (dalam bahasa Inggris). 2019-06-26. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-11-16. Diakses tanggal 2020-01-25.
- ^ a b c "Illusory Truth, Lies, and Political Propaganda: Part 1". Psychology Today (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-01-25.
- ^ Ozubko, Jason D.; Fugelsang, Jonathan (2011-01). "Remembering makes evidence compelling: retrieval from memory can give rise to the illusion of truth". Journal of Experimental Psychology. Learning, Memory, and Cognition. 37 (1): 270–276. doi:10.1037/a0021323. ISSN 1939-1285. PMID 21058878.
- ^ Moons, Wesley G.; Mackie, Diane M.; Garcia-Marques, Teresa (2009). "The impact of repetition-induced familiarity on agreement with weak and strong arguments". Journal of Personality and Social Psychology (dalam bahasa Inggris). 96 (1): 32–44. doi:10.1037/a0013461. ISSN 1939-1315.
Bacaan lanjutan