Dikili merupakan sebuah tradisi turun-temurun yang dilakukan oleh masyarakat Gorontalo dalam memperingati hari kelahiran Rasulullah Muhammad s.a.w. atau yang biasa dikenal dengan peringatan Maulid Nabi.
Dikili merupakan sebuah kata dalam bahasa Gorontalo yang memiliki sinonim dengan kata Dzikir dalam Bahasa Arab, yang artinya adalah menyebut, mengucapkan atau mengingat. Sebagai salah satu warisan budaya dan Adat Istiadat Gorontalo,[1]
Dikili oleh para akademisi dan sastrawan diklasifikasikan pula sebagai sebuah "Sastra Dzikir" yang mendapatkan pengaruh dari budaya Melayu dan budaya Arab dengan kandungan keislaman yang kuat.[2]
Waktu Pelaksanaan
Dikili merupakan sebuah tradisi peninggalan leluhur yang kegiatannya diisi dengan dzikir kepada Allah s.w.t. beserta puji-pujian kepada Nabi Muhammad s.a.w.[3] Dikili selalu digelar pada bulan Rabiul Awal pada tahun Hijriyah, tepat pada hari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w.
Rangkaian Acara
Dalam acara Dikili tersebut biasanya pula diisi dengan pembacaan Naskah atau Kitab yang berisi kisah kehidupan Nabi Muhammad s.a.w. yang patut diteladani oleh seluruh lapisan masyarakat. Naskah atau Kitab Dikili tersebut ditulis dengan aksara Arab atau huruf hijaiyah namun menggunakan bahasa Gorontalo (Aksara Arab Pegon atau Arab gundul).
Acara dimulai dengan pembacaan doa tahlilan dan dilanjutkan dengan melantunkan dzikir beserta shalawat Nabi dan puji-pujian kepada Allah s.w.t, semenjak pagi hingga menjelang siang. Selama semalaman penuh para imam, ulama, dan pegawai syara’ atau pemangku adat yang terus melantunkan syair-syair dzikir.[4]
Dalam Dikili, posisi para pelantun dzikir dipisahkan berdasarkan jenis kelamin. Mereka duduk di dalam Masjid dan biasanya dipisahkan oleh pagar bambu kuning yang dihiasi pula dengan janur kuning.
^Thaib, E.J., 2016. Diikili Sebagai Ekspresi Islam Nusantara dalam Budaya Islam Lokal Gorontalo: Perspektif Dakwah Islamiyah. Al-Ulum, 16(1), pp.103-125.
Artikel bertopik budaya ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.