Cuti kehamilan adalah jaminan kerja yang tersedia di hampir semua negara di seluruh dunia.[1] Pada tahun 2014, Organisasi Buruh Internasional meninjau kebijakan cuti kehamilan di 185 negara dan wilayah dan menemukan bahwa semua negara memiliki undang-undang yang mengatur semacam cuti kehamilan (kecuali Papua Nugini).[2] Penelitian yang lain menunjukkan bahwa dari 186 negara, 96% menawarkan gaji untuk ibu yang mengambil cuti kehamilan, tetapi hanya 81 negara yang memberikan gaji untuk ayah yang mengambil cuti.[3]Amerika Serikat, Suriname, Papua Nugini, dan beberapa negara kepulauan di Samudra Pasifik adalah negara-negara yang tidak mewajibkan majikan memberikan cuti kehamilan yang dibayar untuk orang tua.[4]
Cuti Kehamilan di Indonesia
Berdasarkan UU Ketenagakerjaan no 13 Tahun 2003 Ketenagakerjaan bahwa pekerja/buruh perempuan (maksudnya, “karyawan wanita” atau karyawati), berhakmemperoleh istirahat atau cuti hamil selama 1,5 bulan (dalam arti, satu bulan dan lima belas hari) sebelum saatnya melahirkan anak, dan cuti melahirkan selama 1,5 bulan (satu bulan dan 15 hari) sesudah melahirkan, menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. Kumulatif “cuti hamil dan melahirkan” tersebut, adalah selama 3 (tiga) bulan berturut-turut dengan berhak -mendapat- upah penuh.[5] Hanya kebiasaan di Indonesia, para ibu mengambil cuti kehamilan menjelang kelahiran bayinya sehingga mempunyai masa menyusui yang cukup lama.
Sayangnya, di Indonesia seorang ayah hanya mendapat jatah cuti 2 hari. Hal ini seolah dianggap wajar dan bukan persoalan, padahal ini sangat patut untuk diperjuangkan. Karena banyak peran penting yang dipegang laki-laki saat istrinya tengah hamil dan melahirkan, belum lagi efeknya terhadap performa masing-masing di tempat kerja.
^Gualt, Barbara; Hartmann, Heidi; Hegewisch, Ariane; Milli, Jessica; Reichlin, Lindsey. "Paid Parental Leave in the United States"(PDF). Institute for Women’s Policy Research. Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 2019-09-30. Diakses tanggal 27 January 2017.