Acinonyx jubatus raineyi (Heller, 1913), A. j. ngorongorensis (Hilzheimer, 1913)[1]
Citah Afrika timur atau East African cheetah (Acinonyx jubatus jubatus) adalah suatu populasi citah di Afrika Timur. Citah hidup di padang rumput dan padang rumput yang sangat luas tak berpohon (savana) di Tanzania, Kenya, Uganda dan Somalia. Citah umumnya mendiami ekosistem Serengeti, termasuk bentang darat Maasai Mara dan Tsavo.
Citah yang berasal dari British East Africa digambarkan oleh Ahli ilmu hewan Amerika Edmund Heller pada tahun 1913. Ia mengusulkan trinomen Felis jubatus raineyi sebagai suatu subspesies berbeda.[2]
Itu juga diakui sebagai beberapa subspesies lain yang berbeda antara lain A. j. ngorongorensis dan A. j. velox. Pada tahun 2017, the Cat Classification Task Force dari the Cat Specialist Group menggolongkan A. j. raineyi ke A. j. jubatus.[3][4]
Pada tahun 2007, total jumlah Citah di Afrika Timur diperkirakan mencapai 1,960 sampai 2,572 dewasa dan remaja independen. Citah Afrika timur membentuk populasi kedua terbesar setelah citah Afrika selatan. Pada tahun 2007, ada sekitar 569 dan 1.007 citah di Tanzania, antara 710 dan 793 citah di Kenya, antara 40 dan 295 citah di Uganda dan sekitar 200 ekor citah yang tersisa di Somalia. Kenya merupakan benteng utama populasi citah Afrika timur,dengan populasi terbesar dari 800 hingga 1.200 ekor dewasa di negara sejak 2015. Pada tahun 2016, diperkirakan lebih dari 1.000 individu merupakan penghuni ekosistem Serengeti /Maasai Mara di Tanzania dan Kenya.
Sebelumnya tersebar luas di Afrika Timur, citah Afrika timur
kehilangan persen yang tinggi dari rentang dan telah punah di tiga negara; bagian timur Republik Demokratik Kongo (Utara Provinsi Kivu dan Selatan provinsi Kivu), Rwanda dan Burundi.[5]
Sistem klasifikasi
Pada abad ke-19 dan 20, beberapa contoh tipe citah dari Afrika timur digambarkan dan diusulkan sebagai subspesies:
Zoologi Skotlandia Andrew Smith mengusulkan nama ilmiah Felis Fearsoni pada tahun 1834 untuk sebuah contoh dari timur laut dari Republik Natalia. Nama itu juga dieja fearoni, fearonii atau bahkan fearonis oleh Leopold Fitzinger pada tahun 1869, meskipun A. J. fearsoni tak pernah diterima sebagai nama ilmiah atau suatu sinonim.[6]
Pada tahun 1913, zoologi Amerika Edmund Heller menggambarkan suatu citah dibawa trinomen Acinonyx jubatus raineyi, yang mana telah ditembak oleh pemburu Amerika Paul J Rainey di stasiun Ulu dari daratan Kapiti di Kenya pada tahun 1911. Citah Afrika timur juga dikenal sebagai Citah Rainey dinamakan untuk menghormati Rainey butuh rujukan
Heller juga mengusulkan nama ilmiah Acinonyx jubatus velox untuk citah yang ditembak oleh Kermit Roosevelt pada bulan juni pada tahun 1909 di daratan Loita, dekat Narok di British East Africa. Ia menamakannya citah pegunungan Afrika. Kulitnya lebih gelap pada warna dan memiliki bintik hitam yang luas, yang lebih banyak daripada di raineyi, dan memiliki ukuran tubuh terbesar diantara spesimen citah zoological.
Pada tahun 1913, Zoologi Jerman maks hilzheimer mengusulkan nama "acinonyx jubatus ngorongorensis" untuk jenis spesimen dari area ngorongoro di Tanzania.[7]
Naturalis dan Zoologi lainnya juga menjelaskan Citah dari bagian-bagian lain dari Afrika Timur yang semua dianggap sinonim dari A. j. raineyi.
Pada tahun 2005, penulis dari Mammal Species of the World mengakui A. j. raineyi dan A. j. velox sebagai taxa yang sah dan menganggap A. j. ngorongorensis sinonim dengan A. j. raineyi.
Pada tahun 2017 Cat Classification Task Force dari Cat Specialist Group menggolongkan A. j. raineyi dan A. j. velox ke A. j. jubatus, dengan demikian mengakui hanya satu subspesies di Timur dan Selatan Afrika.[4]
Sejarah evolusioner
Fosil Citah Afrika paling awal dari awal Pleistocene telah ditemukan di dasar terendah dari situs Olduvai di Utara Tanzania. Tidak banyak yang mengetahui cerita evolusioner Citah Afrika timur, meskipun pada awalnya, citah Afrika timur dan selatan
dianggap sama sebagai jarak genetika antara dua subspesies yang rendah. Pada tahun 1990-an, Berdasarkan dari penelitian DNA bahwa Citah Afrika timur merupakan suatu subspesies terpisah berbeda dengan citah Afrika yang berada di bagian selatan.[6][8]
Pada awal tahun 2011, hasil dari analisis genetika phylogeographic pada subspesies Citah mengungkapkan lebih lanjut tentang kekhasan dan perbedaan yang signifikan antara subspesies citah. Pernyataan hubungan antara populasi citah Afrika timur dan selatan. Data DNA mitochondrial menunjukkan bahwa citah Afrika timur tidak memiliki haplotype umum dengan citah Afrika selatan. Meskipun satu haplotype terdiri populasi citah dari Tanzania dan Kenya berkelompok dengan citah Afrika selatan. Disarankan bahwa suatu populasi di Afrika Timur mungkin berasal dari relatif yang baru dari peristiwa-peristiwa kolonisasi kembali. Penelitian mtDNA menunjukkan bahwa perbedaan antara kedua populasi terjadi antara 28,000 dan 36,000 tahun yang lalu.[9][10][11]
Karakteristik fisik
Citah Afrika timur berukuran sekitar 110–135 cm (3.61-4.43 ft)
Panjang di bagian kepala dan tubuh dan berat antara 70 dan 75 kg (154 dan 165 lb). Citah jantan biasanya lebih besar dari betina. Pengukuran di alam liar citah di Tanzania diambil, dan mereka dapat berukuran antara 200–220 cm (6.6-7.2 ft) panjang dan berat antara 50 dan 60 kg (110 dan 130 lb). Yang terbesar telah tercatat di Kenya. Kedalaman tengkorak dan panjang rahang secara signifikan lebih besar pada citah jantan.[12][13]
Citah Afrika timur merupakan citah termuda kedua setelah citah Afrika barat laut. Citah Afrika timur memiliki sebuah lipatan kulit berwarna putih kekuningan ke lipatan kulit kecoklatan. Bulu mereka biasanya cukup pendek dan lebih ramping, Namun beberapa dapat memiliki bulu tebal kasar pada bagian perut. Itu memiliki banyak putaran bintik-bintik hitam, beberapa dapat ditemukan di dada dan leher, kecuali pada bagian bawah yang berwarna putih bintik-bintik bergabung menuju ujung ekor untuk membentuk empat hingga empat belas lingkaran-lingkaran gelap diikuti oleh sebuah rumbai putih di ujung ekor. Dengan tanda air mata banyaknya dari sudut mata ke mulut yang mengurangi silau dari sinar matahari pada matanya, yang relatif tebal. Ini juga memiliki tubuh lebih langsing dari citah Afrika lainnya.
Telah ada laporan tentang variasi warna citah antara lain melanism dan ticked (bersih). Seekor citah berwarna hitam (melanistic) terlihat di distrik Trans-nzoia, Kenya pada tahun 1925. Citah yang tak bernoda (spotless) ditembak di Tanzania pada tahun 1921. Itu hanya beberapa sangat kecil bintik-bintik pada leher dan belakang. Citah yang lain dengan warna morph di foto di Kenya pada tahun 2012.[14]
^Wozencraft, W. C. (2005-11-16). Wilson, D. E., and Reeder, D. M. (eds), ed. Mammal Species of the World (edisi ke-3rd edition). Johns Hopkins University Press. hlm. 533. ISBN 0-8018-8221-4.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: editors list (link) Pemeliharaan CS1: Teks tambahan: editors list (link) Pemeliharaan CS1: Teks tambahan (link)
^eller, E. (1913). "New races of carnivores and baboons from equatorial Africa and Abyssinia". Smithsonian Miscellaneous Collections. 61 (19): 1–12.
^ abKitchener, A. C., Breitenmoser-Würsten, C., Eizirik, E., Gentry, A., Werdelin, L., Wilting A., Yamaguchi, N., Abramov, A. V., Christiansen, P., Driscoll, C., Duckworth, J. W., Johnson, W., Luo, S.-J., Meijaard, E., O’Donoghue, P., Sanderson, J., Seymour, K., Bruford, M., Groves, C., Hoffmann, M., Nowell, K., Timmons, Z. & Tobe, S. (2017). "A revised taxonomy of the Felidae: The final report of the Cat Classification Task Force of the IUCN Cat Specialist Group" (PDF). Cat News. Special Issue 11.
^Durant, S.; Marker, L.; Purchase, N.; Belbachir, F.; Hunter, L.; Packer, C.; Breitenmoser-Wursten, C.; Sogbohossou, E. & Bauer, H. (2015). "Acinonyx jubatus". IUCN Red List of Threatened Species. Version 2014.3. International Union for Conservation of Nature.
^ abKrausman, P. R.; Morales, S. M. (2005). "Acinonyx jubatus" (PDF). Mammalian Species. American Society of Mammalogists. 771: 1–6. doi:10.1644/1545-1410(2005)771[0001:aj]2.0.co;2.
^ Hilzheimer, M. (1913). "Über neue Gepparden nebst Bemerkungen über die Nomenklatur dieser Tiere". Sitzungsbericht der Gesellschaft Naturforschender Freunde zu Berlin (5): 283–292.