Orang Cheq Wong adalah Orang AsliSemenanjung Melayu dari kelompok Senoi. Meski mereka memiliki penampilan fisik khas kelompok Senoi, bahasa Cheq Wong yang mereka gunakan termasuk kelompok bahasa Asli Utara.[2]
Bahasa
Bahasa Cheq Wong merupakan bagian dari rumpun bahasa Asli Utara.[3] Bahasa ini meminjam sejumlah kata dari bahasa Kensiu, meskipun kedua suku tersebut terpisah jauh.[4] Namun, bahasa Cheq Wong juga memiliki ciri khas bahasa Senoik.[5] Banyaknya kata pinjaman dari bahasa Asli Selatan terutama dari bahasa Semaq Beri (yang juga banyak dipengaruhi oleh bahasa Asli Utara) menunjukkan bahwa nenek moyang orang Cheq Wong berinteraksi dengan penutur bahasa Proto-Asli Selatan seperti orang Semelai dan Temoq.[6]
Kediaman
Pada mulanya, suku ini hanya ditemukan di dua wilayah, yaitu Suaka Alam Krau dan Distrik Raub di Pahang.[7] Desa Cheq Wong lainnya juga ditemukan di daerah lain seperti di Temerloh dan Jerantut di Pahang.[8]
Pembangunan infrastruktur telah membuat daerah orang-orang Cheq Wong terekspos ke dunia luar melalui pembalakan, pembuatan jalan dan penangkaran gajah untuk tujuan pariwisata.[1] Pembangunan tersebut telah menyebabkan banjir dan pencemaran sungai di tanah mereka.[9]
Populasi
Perubahan populasi orang Cheq Wong di Malaysia tercantum dalam tabel berikut.
Selama Perang Dunia II, Partai Komunis Malaya mencari bantuan dari orang-orang Cheq Wong dalam perjuangan melawan penjajah Jepang.[14] Setelah perang berakhir, muncul kekacauan baru, yakni pemberontakan kaum komunis yang dikenal sebagai Darurat Malaya. Pada masa itu, suku Cheq Wong cenderung mendukung pemberontak dengan menyediakan makanan, karena trauma akan perbudakan yang dilakukan oleh orang Melayu yang ada di pihak Inggris. Pemerintah Inggris kemudian berusaha mencari dukungan Orang Asli dengan menyediakan tempat tinggal, membangun sarana kesehatan, serta membentuk lembaga khusus yang mengatur urusan suku-suku pribumi.[14] Akhirnya, beberapa orang Cheq Wong dibunuh oleh pemberontak komunis yang menuduh mereka membantu pemerintah sementara yang lainnya diserang oleh pemerintah karena dikira mendukung pemberontakan.[15]
Kepercayaan
Orang-orang Cheq Wong secara tradisional menganut suatu bentuk kepercayaan animisme yang membedakan makhluk bernyawa (dalam bahasa Cheq Wong disebut ruwai) dengan yang tidak. Mereka juga mengenal sebuah lagu yang menyebut pesawat perang Jepang yang terbang di atas hutan sebagai makhluk bernyawa.[16]
Serupa dengan talan milik orang Semaq Beri[17] dan celau milik suku Temuan,[18] suku Cheq Wong memiliki hukum adat yang disebut talaiden, yang melarang berbagai hal termasuk mentertawakan atau menggoda satwa.[19] Pelanggaran hukum tersebut dipercaya akan mendatangkan hukuman berupa badai, hujan dan guntur.[20] Bentuk lain dari talaiden yang diyakini oleh masyarakat Cheq Wong berkenaan dengan harimau, di mana pencampuran makanan atau benda yang tidak semestinya akan mengundang serangan harimau terhadap pelakunya.[20]
Referensi
^ abcKirk Endicott (2015). Malaysia's Original People: Past, Present and Future of the Orang Asli. NUS Press. hlm. 2. ISBN978-99-716-9861-4.
^Signe Howell (1984). Society and Cosmos: Chewong of Peninsular Malaysia. Oxford University Press. hlm. 6. ISBN01-958-2543-8.
^Đăng Liêm Nguyêñ (1974). South-East Asian Linguistic Studies, Volume 2. Department of Linguistics, Research School of Pacific Studies, Australian National University. hlm. 82. ISBN08-588-3143-0.
^Signe Howell (1984). Society and Cosmos: Chewong of Peninsular Malaysia. Oxford University Press. hlm. 8. ISBN01-958-2543-8.
^Martin Haspelmath & Uri Tadmor, ed. (2009). Loanwords in the World's Languages: A Comparative Handbook. Walter de Gruyter. hlm. 668. ISBN978-31-102-1843-5.
^ abSigne Howell (1982). Chewong Myths and Legends. Council of the M.B.R.A.S. hlm. xiii.