Cahaya gempa (bahasa Inggris: Earthquake light) atau Kilatan gempa adalah fenomena udara bercahaya yang dilaporkan muncul di langit pada atau dekat area tekanan tektonik, aktivitas seismik, atau letusan gunung berapi. Cahaya gempa muncul akibat terganggunya jaringan listrik – seperti kabel listrik yang melengkung – yang dapat menghasilkan kilatan cahaya yang terang akibat guncangan tanah.[1] Pandangan skeptis beranggapan bahwa fenomena tersebut kurang dipahami dan banyak penampakan cahaya gempa yang dilaporkan sebenarnya dapat dijelaskan dengan penjelasan biasa.[2] Cahaya gempa umumnya muncul saat malam terjadinya gempa bumi yang kuat, dan berlangsung saat atau setelah gempa terjadi. Kilatan ini mirip dengan fenomena Aurora atau sebuah Petir.[3][4]
Kemunculan
Kemunculan cahaya gempa tampaknya terjadi ketika gempa berkekuatan tinggi, cahaya gempa akan muncul jika gempa pada 5 Skala Richter atau lebih tinggi. Ada juga kejadian cahaya gempa berbentuk bola yang muncul sebelum gempa bumi.[5]
Salah satu catatan pertama mengenai cahaya gempa berasal dari gempa bumi Jōgan 869, yang digambarkan sebagai "cahaya aneh di langit" dalam Nihon Sandai Jitsuroku. Mereka digambarkan memiliki bentuk yang mirip dengan aurora, dengan rona putih hingga kebiruan, namun terkadang dilaporkan memiliki spektrum warna yang lebih luas.
Cahaya gempa muncul saat Gempa bumi Fukushima 2022, fenomena tersebut terekam dalam video dari berbagai sudut. Cahaya gempa juga muncul dalam rekaman saat Gempa bumi Kaikoura 2016 di Selandia Baru, dimana kilatan cahaya biru seperti petir terlihat di langit malam.[6]
Pada saat Gempa bumi Lombok Agustus 2018 cahaya gempa juga muncul, dalam kilatan cahaya berwarna biru dan kuning pada malam saat gempa terjadi. Dalam rekaman Gempa bumi Turki–Suriah 2023, banyak cahaya gempa muncul terus menerus di provinsi Kahramanmaras dan Hatay. Dan setelah itu, kilatan cahaya biru juga terlihat di Agadir saat Gempa bumi Maroko 2023.
Karateristik
Penelitian tentang cahaya gempa terus dilakukan; dengan demikian, beberapa mekanisme telah diusulkan. Teori lubang Positif adalah salah satunya.[1]
Beberapa penjelasan menyatakan bahwa munculnya cahaya gempa melibatkan ionisasi oksigen ke anion oksigen dengan memutus ikatan peroksi pada beberapa jenis batuan (dolomit, riolit, dll.) akibat tekanan tinggi sebelum dan selama gempa bumi.[7] Setelah ionisasi, ion bergerak melalui retakan di batuan. Begitu mereka mencapai atmosfer, ion-ion ini dapat mengionisasi kantong udara, membentuk plasma yang memancarkan cahaya.[8] Eksperimen laboratorium telah memvalidasi bahwa beberapa batuan benar-benar mengionisasi oksigen di dalamnya ketika mengalami tingkat tekanan yang tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa sudut patahan terkait dengan kemungkinan timbulnya cahaya gempa, dengan patahan subvertikal (hampir vertikal) di lingkungan retakan yang paling sering memunculkan cahaya gempa.[9]
Salah satu hipotesis juga melibatkan medan listrik yang kuat yang dibuat secara piezoelektrik oleh gerakan tektonik batuan yang mengandung kuarsa.[10]
Penjelasan lain yang mungkin adalah gangguan lokal dari medan magnet bumi dan/atau ionosfer di wilayah tekanan tektonik, mengakibatkan efek cahaya yang diamati dari rekombinasi radiasi ionosfer di ketinggian rendah dan tekanan atmosfer yang lebih besar (aurora). Namun, efek ini belum pernah terlihat atau diamati pada semua kejadian gempa bumi dan belum diverifikasi secara eksperimental.[11]
Lihat pula
Pencairan tanah - Fenomena perubahan tanah menjadi cair akibat guncangan gempa bumi
Awan gempa - Fenomena kontroversial terkait dengan gempa bumi
^Thériault, Robert; St-Laurent, France; Freund, Friedemann T.; Derr, John S. (2014). "Prevalence of Earthquake Lights Associated with Rift Environments". Seismological Research Letters. Seismological Society of America. 85 (1): 159–78. doi:10.1785/0220130059. ISSN0895-0695. Ringkasan – Seismological Society of America (January 2, 2014).